Ceritanya berkisar pada dua sahabat, Amara dan Diana, yang sudah lama bersahabat sejak masa sekolah. Mereka berbagi segala hal, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, semuanya berubah ketika Amara menikah dengan seorang pria kaya dan tampan bernama Rafael. Diana yang semula sangat mendukung pernikahan sahabatnya, diam-diam mulai merasa cemburu terhadap kebahagiaan Amara. Ia merasa hidupnya mulai terlambat, tidak ada pria yang menarik, dan banyak keinginannya yang belum tercapai.
Tanpa diketahui Amara, Diana mulai mendekati Rafael secara diam-diam, mencari celah untuk memanfaatkan kedekatannya dengan suami sahabatnya. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka mulai retak. Amara, yang semula tidak pernah merasa khawatir dengan Diana, mulai merasakan ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya. Ternyata, di balik kebaikan dan dukungan Diana, ada keinginan untuk merebut Rafael dari Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06
Senja mulai berganti malam ketika Liana tiba di rumah Amara. Amara menyambutnya dengan pelukan hangat, tapi Liana segera menyadari ada sesuatu yang salah.
Liana melirik ke dalam rumah
"Mana Rafael? Dan, siapa itu yang duduk di sofa? Jangan bilang dia Diana?"
Amara hanya mengangguk pelan, sementara Liana menghela napas panjang.
Liana dengan nada ketus
"Jadi ini orang yang kau ceritakan? Orang yang katanya ‘teman’ tapi seenaknya tinggal di rumahmu? Hebat juga nyalinya."
Amara menarik tangan kakaknya, mencoba menenangkan.
"Kak, tolong... jangan buat keributan."
Liana menatap Diana yang sekarang berdiri di ruang tamu, tersenyum tipis.
Diana:
"Ah, ini pasti kakak Amara. Senang bertemu. Aku sering dengar cerita tentangmu."
Liana tersenyum sinis
"Oh, ya? Aku juga sering dengar cerita tentangmu. Sayangnya, semua cerita itu... tidak terlalu menyenangkan."
Wajah Diana berubah sedikit tegang, tapi ia tetap berusaha menjaga sikapnya.
---
Saat makan malam, suasana meja terasa tegang. Liana sengaja melontarkan komentar pedas, membuat Diana semakin tidak nyaman.
Liana melirik piring Diana
"Diana, kau makan banyak juga, ya. Tidak heran kau betah di sini. Makanan gratis, tempat tinggal gratis... semuanya serba nyaman."
Diana meletakkan garpunya perlahan, berusaha tersenyum meskipun hatinya panas.
"Aku hanya membantu Amara, tidak lebih."
"Membantu? Dengan tinggal di sini selama berminggu-minggu? Hebat sekali caramu ‘membantu.’ Mungkin aku juga harus belajar darimu."jawab nya dengan senyuman sinis
Amara yang duduk di samping Rafael mencoba menyela, tapi Liana mengangkat tangannya, menghentikannya.
Liana menatap Diana
"Diana, aku hanya ingin memastikan kau tidak lupa siapa pemilik rumah ini. Kau tamu di sini, bukan tuan rumah."
Rafael mencoba menenangkan situasi.
"kak, cukup. Diana sudah banyak membantu Amara selama aku sibuk bekerja."
Liana tersenyum dingin
"Benarkah, Rafael? Kalau begitu, mungkin aku yang salah. Tapi, aku rasa ‘membantu’ tidak perlu dilakukan dengan cara menempel terus, kan?"
Diana terdiam, wajahnya memerah. Ia merasa tidak tahan lagi dengan sindiran Liana.
---
Malam itu, Diana mendekati Rafael di ruang kerja. Ia mengetuk pintu pelan sebelum masuk.
"Rafael, aku perlu bicara."
"Ada apa, Diana? Kenapa wajahmu terlihat tegang?"ucap nya bingung
Diana berpura pura sedih
"Aku hanya ingin tahu... apa aku salah tinggal di sini? Sepertinya kehadiranku tidak diterima oleh semua orang."
Rafael menatap Diana dengan bingung.
"Maksudmu?"
Diana menghela napas
"Liana. Dia terus menyindirku sejak tiba di sini. Aku merasa seperti orang asing di rumah ini."
Rafael menyandarkan tubuhnya ke kursi, terlihat bingung.
"Diana, Liana memang seperti itu. Dia hanya terlalu protektif terhadap Amara."
Diana berusaha menahan air mata
"Protektif? Tapi caranya sangat kasar. Aku merasa tidak dihargai."
Rafael menghela napas panjang, lalu menatap Diana.
"Aku mengerti perasaanmu, tapi aku tidak bisa melakukan apa apa. Liana bukan orang sembarangan. Kau tahu dia pengusaha muda terkenal dan punya reputasi kuat. Jika aku melawan, itu hanya akan memperburuk keadaan."
Diana menggigit bibirnya, merasa kesal karena Rafael tidak membelanya.
Diana dengan nada lebih tajam
"Jadi, kau hanya akan membiarkan dia terus mempermalukanku? Rafael, aku tinggal di sini untuk membantumu dan Amara. Apa itu tidak berarti apa apa?"
Rafael hanya bisa terdiam. Ia tahu posisinya sulit. Liana memang terkenal tegas dan tidak segan segan melindungi Amara dengan segala cara.
---
Pagi itu, Amara bangun lebih awal dari biasanya. Setelah menyerahkan semua urusan rumah tangga kepada Bi Jum, ia lebih sering menghabiskan waktu untuk memikirkan apa yang harus ia lakukan dengan situasi rumah tangganya. Ia tahu tentang hubungan Rafael dan Diana, tetapi memilih berpura-pura demi menjaga harga dirinya. Hari ini, ia memutuskan untuk lebih tegas namun tetap tenang.
Amara turun ke ruang makan dan menemukan Diana sudah duduk bersama Rafael di meja makan. Keduanya terlihat berbicara akrab. Diana tersenyum sambil sesekali menyentuh lengan Rafael, pemandangan yang membuat hati Amara bergejolak. Namun, ia menahan emosinya dan mendekati meja dengan langkah tenang.
Amara tersenyum tipis
"Selamat pagi. Tumben sudah rapi, Diana. Kau tidak punya rencana hari ini?"
Diana menoleh, sedikit terkejut dengan nada santai Amara. Ia segera menguasai diri dan tersenyum.
Diana tertawa kecil
"Ah, tidak, Amara. Hari ini aku hanya ingin bersantai. Lagipula, rumah sewaanku masih dalam renovasi."
Amara duduk, menatap Rafael dengan pandangan penuh arti.
"Renovasi? Sudah berapa lama sebenarnya renovasi itu? Sepertinya cukup lama untuk membuatku bertanya tanya."ucap nya dengan nada yang di buat bingung
Diana menelan ludah. Ia tahu Amara mungkin mencurigai sesuatu, tetapi ia tetap berpura pura tidak terganggu.
"Iya, renovasinya memang cukup memakan waktu. Pemilik rumah bilang akan selesai bulan depan."jawab nya dengan sedikit gugup
Saat itu, Liana masuk ke ruang makan dengan ekspresi santai, tetapi pandangan matanya tajam menilai situasi. Ia sudah lama mendengar cerita Amara tentang Diana dan Rafael. Liana memutuskan untuk membantu adiknya dengan caranya sendiri.
Liana dengan nada santai
"Oh, Diana, kau masih di sini? Kukira kau sudah punya tempat tinggal lain. Bukankah lebih baik mencari tempat sewa sementara daripada merepotkan Amara?"
Diana tersentak mendengar sindiran itu, tetapi ia tetap menjaga senyumnya.
Diana tersenyum tipis
"Ah, kak, kau benar. Tapi Amara tidak keberatan, kan?"
Liana tertawa kecil, nada suaranya penuh sindiran.
"Tidak keberatan? Amara itu terlalu baik untuk bilang tidak, kau tahu itu."
Rafael, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara, mencoba menenangkan situasi.
"kak, Diana hanya sementara di sini. Tak perlu mempermasalahkannya."
Namun, Liana tidak berhenti.
Liana menatap Rafael tajam
"Tentu saja, sementara. Tapi, kau tahu, Rafael, seorang sahabat yang baik biasanya tahu batasannya. Tidak seharusnya dia tinggal terlalu lama di rumah pasangan sahabatnya, apalagi membuat suasana jadi canggung."
Diana mulai merasa terpojok, tetapi ia tetap berusaha mempertahankan sikapnya.
"Aku rasa aku tidak mengganggu siapa pun. Kalau ada yang merasa terganggu, aku minta maaf."
Amara mendengar tersenyum dingin
"Tentu saja, Diana. Aku hanya berharap kau tahu kapan waktunya untuk melanjutkan hidup di tempat lain. Aku yakin, renovasi rumahmu tidak akan memakan waktu selamanya."
Diana diam, merasa sindiran itu semakin menusuk. Ia melirik Rafael, berharap mendapat dukungan, tetapi Rafael hanya menghindari tatapan Diana.
Liana dengan nada sinis
"Ya, kau benar, Amara. Orang dewasa harus tahu kapan saatnya pergi. Kalau tidak, apa kata orang lain nanti?"
Suasana menjadi tegang. Diana merasa seperti terjebak dalam serangan halus dari Amara dan Liana.
Diana tersenyum terpaksa
"Baiklah. Aku akan mempertimbangkan untuk mencari tempat tinggal sementara lain. Maaf kalau aku membuat kalian tidak nyaman."
Amara menjawab dengan nada dingin
"Itu keputusan yang bijak, Diana."
Amara dan Liana saling bertukar pandang, tahu bahwa ini baru permulaan. Mereka akan memastikan Diana tidak bisa lagi memanfaatkan keadaan untuk mendekati Rafael..