Seorang wanita muda, Luna, menikah kontrak dengan teman masa kecilnya, Kaid, untuk memenuhi permintaan orang tua. Namun, pernikahan kontrak itu berubah menjadi cinta sejati ketika Kaid mulai menunjukkan perasaan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. y, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jarak yang Tak Terlihat
Dua minggu berlalu sejak Luna mulai bekerja. Hidupnya perlahan menemukan ritme baru, meskipun hubungan antara dirinya dan Kaid tetap terasa dingin. Mereka menjalani pernikahan kontrak ini seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap—berbagi ruang, tapi tidak pernah benar-benar saling menyentuh hati.
Namun, pagi itu sesuatu terasa berbeda.
Ketika Luna melangkah keluar dari kamarnya, ia melihat Kaid duduk di ruang tamu, mengenakan pakaian santai—sesuatu yang sangat jarang ia lakukan. Biasanya, pria itu sudah pergi sebelum matahari terbit, menyibukkan dirinya di kantor.
“Kamu tidak ke kantor hari ini?” tanya Luna, mencoba menyembunyikan rasa penasarannya.
Kaid mengangkat pandangan dari buku yang sedang ia baca. “Aku mengambil cuti.”
Luna mengernyit. “Cuti? Bukankah kamu selalu bilang pekerjaanmu tidak pernah bisa ditinggalkan?”
Kaid hanya mengangkat bahu. “Kadang, bahkan aku butuh waktu untuk bernapas.”
Luna hampir tidak percaya. Pria yang duduk di depannya ini tampak begitu santai, jauh dari citra Kaid yang dingin dan sibuk. Ia ingin bertanya lebih banyak, tetapi memutuskan untuk tidak memperpanjang percakapan.
“Aku mau pergi bekerja,” kata Luna akhirnya.
“Berhenti sebentar.”
Langkah Luna terhenti di ambang pintu. Ia menoleh, menatap Kaid yang kini berdiri, menyisipkan buku yang ia baca ke rak di belakang sofa.
“Aku ingin kita makan malam bersama nanti,” katanya tanpa ekspresi.
Luna terdiam, mencoba mencari tahu apa maksud di balik permintaan itu. Namun, ia hanya mengangguk. “Baik. Aku akan pulang lebih awal.”
Hari itu di kantor, Luna merasa sulit berkonsentrasi. Pikirannya terus-menerus melayang ke permintaan Kaid. Sejak awal pernikahan mereka, Kaid tidak pernah mengajaknya melakukan sesuatu yang terasa… personal. Semua interaksi mereka selalu bersifat formal dan dingin.
“Mbak Luna?”
Suara Farah, bosnya, mengembalikan Luna ke dunia nyata. Luna buru-buru menatap laptopnya, mencoba terlihat sibuk.
“Ya, Bu Farah?”
Farah mendekat, melipat tangannya di dada. “Laporan yang saya minta sudah selesai?”
“Oh, belum, Bu. Tapi hampir selesai. Saya akan menyerahkannya sebelum jam makan siang,” jawab Luna cepat.
Farah mengangguk kecil, lalu berjalan pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Luna mendesah pelan. Ia tidak suka caranya bekerja terganggu oleh pikiran tentang Kaid. Namun, ia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang tumbuh di dalam dirinya.
Malam itu, Luna pulang lebih awal seperti yang ia janjikan. Ketika ia masuk ke rumah, ia dikejutkan oleh aroma masakan yang memenuhi udara.
“Kaid?” panggilnya, berjalan menuju dapur.
Di sana, ia menemukan Kaid sedang memasak. Pria itu mengenakan kaus polos dengan celana jeans, terlihat jauh lebih santai dibandingkan biasanya. Luna hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Kamu masak?” tanyanya dengan nada terkejut.
Kaid menoleh, mengangkat wajan dari kompor. “Kenapa? Tidak boleh?”
Luna menggeleng, masih mencoba mencerna pemandangan itu. “Aku hanya tidak menyangka. Biasanya kamu terlalu sibuk untuk melakukan hal seperti ini.”
“Kadang-kadang aku juga butuh suasana berbeda,” balas Kaid santai. “Duduklah. Aku hampir selesai.”
Luna menurut, duduk di meja makan yang sudah ditata dengan rapi. Ketika Kaid akhirnya menyajikan makan malam, ia merasa seolah-olah sedang berada di restoran mewah.
“Apa ini?” tanya Luna, memandang sepiring pasta dengan saus krim yang tampak lezat.
“Fettuccine Alfredo. Aku belajar membuatnya saat kuliah di luar negeri,” jawab Kaid sambil duduk di seberangnya.
Luna mencicipi masakan itu dan terkejut. “Ini enak!”
Kaid tersenyum kecil, tetapi tidak berkata apa-apa. Mereka makan dalam keheningan, tetapi keheningan itu tidak lagi terasa canggung seperti biasanya.
Setelah makan malam selesai, Luna tidak tahan untuk tidak bertanya.
“Kenapa tiba-tiba berubah seperti ini?” tanyanya sambil menatap Kaid.
Kaid menatap balik, tetapi ada sesuatu di matanya yang sulit dibaca. “Aku hanya berpikir kita perlu mencoba menjalani pernikahan ini dengan cara yang lebih… wajar. Setidaknya untuk sementara.”
Luna mengernyit. “Wajar? Maksudmu apa?”
Kaid menghela napas. “Luna, aku tahu hubungan ini jauh dari sempurna. Tapi aku tidak ingin kita terus-menerus saling menghindar. Kita punya waktu setahun, jadi kenapa tidak mencoba membuatnya lebih mudah untuk kita berdua?”
Luna terdiam. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons. Bagian dari dirinya ingin menolak, mengatakan bahwa semua ini hanyalah sandiwara. Tetapi bagian lain dari dirinya—bagian yang lebih dalam—merasa bahwa ada sesuatu yang tulus dalam ucapan Kaid.
“Baik,” akhirnya ia berkata. “Kita bisa mencoba.”
Hari-hari berikutnya, Luna mulai melihat sisi lain dari Kaid. Ia bukan lagi pria dingin yang hanya peduli pada pekerjaannya. Kadang-kadang, ia bahkan menunjukkan selera humor yang selama ini tersembunyi.
Suatu malam, saat mereka menonton film bersama di ruang tamu, Luna tanpa sadar tertawa keras melihat adegan lucu. Kaid, yang duduk di sebelahnya, ikut tersenyum.
“Aku tidak tahu kamu bisa tertawa seperti itu,” katanya sambil menatap Luna.
Luna memutar bola matanya. “Semua orang bisa tertawa, Kaid. Kamu hanya jarang melihatku melakukannya.”
Kaid menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, “Aku suka melihatmu tertawa.”
Kata-kata itu membuat Luna terdiam. Ia tidak tahu apakah itu hanya basa-basi atau sesuatu yang lebih. Tapi ada kehangatan dalam cara Kaid mengatakannya yang membuat pipinya sedikit memerah.
Namun, di balik semua perubahan ini, Luna tahu ada batas yang tidak bisa mereka lewati. Pernikahan mereka tetaplah kontrak. Dan di balik setiap momen manis, ada kenyataan pahit yang terus menghantui mereka.
Suatu malam, Luna mendengar Kaid berbicara di telepon di ruang kerjanya.
“Aku tahu, Ayah. Ini hanya sementara. Setelah setahun, semuanya akan selesai,” kata Kaid dengan suara yang terdengar tegas.
Luna berdiri di luar pintu, tidak sengaja mendengar percakapan itu. Kata-kata Kaid mengingatkannya pada kenyataan yang selama ini ia coba lupakan.
Setelah setahun, mereka akan berpisah. Tidak peduli seberapa baik hubungan mereka sekarang, semuanya hanyalah sementara.
Luna kembali ke kamarnya dengan hati yang berat. Ia tahu ia tidak boleh berharap terlalu banyak. Tetapi entah kenapa, setiap kali ia melihat Kaid, ia merasa hatinya mulai berubah, meskipun ia tidak ingin mengakuinya.