[Sampul digambar sendiri] Pengarang, penulis, penggambar : Hana Indy
Jika ada yang menganggap dunia itu penuh dengan surga maka, hanyalah mereka yang menikmatinya.
Jika ada yang menganggap dunia penuh dengan kebencian maka, mereka yang melakukannya.
Seseorang telah mengatakan kepada lelaki dengan keunikan, seorang yang memiliki mata rubah indah, Tian Cleodra Amarilis bahwa 'dunia kita berbeda, walau begitu kita sama'.
Kali ini surai perak seekor kuda tunggangnya akan terus memakan rumput dan berhagia terhadap orang terkasih, Coin Carello. Kisah yang akan membawa kesedihan bercampur suka dalam sebuah cerita singkat. Seseorang yang harus menemukan sebuah arti kebahagiaan sendiri. Bagaimana perjuangan seorang anak yang telah seseorang tinggalkan memaafkan semua perilaku ibundanya. Menuntut bahwa engkay hanyalah keluarga yang dia punya. Pada akhirnya harus berpisah dengan sang ibunda.
-Agar kita tidak saling menyakiti, Coin-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Indy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Nona Muda
...“Seorang pahlawan kecil meraih tangan besar. Akan tumbuh menjadi apa kelak sebuah harapan selalu terkabulkan pada setiap ulang tahun gadis itu. Namun, kini hanyalah kini yang tinggal kenangan.” - Surai....
Tidak akan pernah menduga jika gadis yang dia ikuti lebih memilih menciptakan bumbu masaknya sendiri. Masih berkutat dengan dapur sederhana panti asuhan. Coin hanya melihat seorang.
“Kamu benar-benar tidak bisa memasak,” ejeknya.
“Yah, maafkan aku.”
“Jika boleh tahu, matamu kenapa?”
Coin menyentuhnya. “Ah, ini aku terjatuh dan tertusuk ranting kayu.”
Silvia hampir menyelesaikan masakannya. “Jangan berbohong.”
“Kalaupun aku mengatakannya apakah kamu percaya?”
Silvia berhenti ketika mengambil kotak bertuliskan garam. Melihat raut wajah Silvia berubah masam segera Coin hampiri gadis itu.
“Bubuk ini sudah tercampur.” Silvia memperlihatkan bubuk garam. Seakan ada bubuk lain putih bersih bercampur. Dengan ide isengnya Silvia mencampur pada bahan makanan miliknya barang sedikit.
“Bau besi,” lirih Coin.
Mendengar suara langkah kaki menuju dapur segera buang makanan yang sudah tercampur dengan bau besi. Menaruh di piring cepat makanan milik mereka tanpa bumbu apa pun.
“Kalian sudah selesai makan?” Nona Zeta berjalan menuju ke arah mereka dan mengambil gelas yang ada di atas rak.
“Belum, kami baru saja selesai membuatnya,” jawab Silvia.
“Bolehkah aku mencobanya?” tanya Nona Zeta.
“Boleh.”
Mengernyitkan kening ketika mencoba masakan itu. “Apakah kalian tidak menambahkan garam?”
“Tidak,” jawab Silvia.
“Padahal itu garam sangat enak. Tuan Bond yang sering membawanya dari pantai langsung. Dia bilang harganya murah.”
Coin tertawa. “Apakah hanya karena murah?”
“Haha, aku rasa tidak. Mungkin juga karena enak. Tapi Tuan Bond selalu mengatakan jika itu murah dan enak.”
“Padahal sedikit aneh baunya.” Silvia menceletuk.
“Tidak,” geleng Nona Zeta. “Baunya sangat enak.”
Silvia dan Coin hanya tersenyum lalu mengangguk. Menatap sendu pada kepergian Nona Zeta.
...*...
Sedikitnya keraguan. Ada banyak kebimbangan. Ada juga keberanian yang tampak pada kedua langkah kaki kecil sekarang. Berharap akan ada malam tenang, nyatanya hanya ada berisik.
Beberapa pengawal kini masuk ke dalam ruangan satu per satu. Lalu membawa seorang gadis yang akan dipakai malam ini.
Silvia memiliki kamar yang berbeda dengan Coin. Namun, sepertinya gadis itu memiliki setidaknya kepintaran untuk kabur. Malam ketika dirinya dibawa ke ruang yang dia tahu sebagai ruang penyimpanan alat berkebun. Lampu padang jingglang mengalahkan siang.
Silvia menggunakan tepung yang sudah dia genggam sejak tertidur awal tadi. Meninggalkan jejak untuk Coin berlari keluar. Coin mengikuti ke mana langkah lelaki itu membawa Silvia.
“Gudang itu bukan sembarang gudang.”
Coin bersembunyi di kandang kuda. Ternyata Surai selalu terjaga saat malam tiba. Pantas saja jika kuda itu selalu mengantuk pada siang hari. Ringkikan kuda terdengar. Coin buru-buru mengusap kuda itu agar tenang.
Entah bagaimana ada pemikiran lain di dalam otaknya.
Coin sengaja membuka pintu kuda, dan membiarkan Surai lepas. Kuda itu dengan beraninya menembus kebun dengan kaki lemahnya berlari selayaknya kuda pada umumnya.
Untuk pertama kalinya dia meraung, meringkik, bahkan menggigit lelaki yang membawa Silvia pergi.
Coin segera berlari. Teriakan dua pemuda yang ketakutan menjatuhkan tubuh Silvia kasar jatuh di tanah. Coin berhenti ketika melihat tangan Silvia untuk menghentikannya. Dengan segera Coin masuk ke dalam rumah dan membiarkan apa yang terjadi malam itu.
...***...
Tepukan keras tangan dengan meja mewarnai ruangan sempit. Sudah lewat pagi hari ketika persiapan sudah dilakukan. Tuan Poppin bergerak maju.
“Soal! Kuda sialan itu!”
Hanya begitulah amarah dari ilmuan yang sedang meracik obat tadinya. Melihat ada sekelebat bayangan membuat lelaki itu melirik tajam. Phoen masih bermain dengan Lelaki Bermata Rubah.
Ditariknya tudung lelaki bernama Tian dengan paksa. Membaringkan lelaki itu dalam meja yang biasa dia gunakan. Semenjak Tian dibebaskan, Tian bebas untuk menjelajahi ruangan itu bersama Phoen. Salah satu alasan Tian untuk bisa membebaskan dan menyelamatkan setidaknya beberapa orang yang masih memiliki harapan hidup.
Hanya satu yang belum Tian tahu.
Dimana letak mereka yang sudah direkayasa?
Tian enggan melawan ketika lelaki itu mulai mengambil darah Tian. “Jika aku tidak mendapatkan gadis itu maka kamu yang akan aku gunakan!”
Tian menyeringai. “Lakukan sesukamu.”
Tian dibiarkan keluar. Melemparkannya tubuh Tian kasar oleh Tuan Poppin. Bagaikan sampah perlakuan yang dia terima. Phoen sedikit marah melihat Tian diperlakukan kasar. Dia hendak menerobos kaca ruangan itu ketika Tian menghentikannya.
“Tidak apa, Phoen.”
Melirik jam dinding menunjukkan pukul 3 pagi. Seharusnya para anggota ilmuan gila lainnya sudah pergi. Mereka juga seperti Idris yang merupakan dokter di suatu rumah sakit.
Kesempatan emas bagi Tian. Segera dia melangkahkan kaki. Bekerja sama dengan Phoen untuk menjaga setiap lorong. Lelaki itu hanya menuruti perkataan Tian. Memasuki ruang demi ruang. Menguak satu per satu.
Tian berhenti ketika melihat ada jendela yang entah mengarah ke mana.
“Bukankah ini bawah tanah. Tidak mungkin memiliki jendela.”
Tian segera menengok jendela itu. Menurutnya akan menuju sebuah pemandangan. Ternyata, menuju sebuah ruangan gelap. Ada pasang mata yang menatap Tian di dekat jendela.
“Gakhs!” Tian spontan menutup mulutnya. Lantai dua dari pintu utama. Beruntungnya tidak ada yang akan mendengar mengingat ruangan ilmuan gila itu ada dilantai satu.
Tian menenangkan degup jantungnya. Phoen langsung menuju ke arahnya dan mendekat tubuh Tian. “Tidak apa-apa. Aku hanya kaget tadi ada hewan terbang.”
Tian menarik pintu besi itu, tidak terkunci tentu saja. Phoen juga penasaran dengan mengintip sedikit ruangan gelap. “Phoen. Kamu di sini. Jika ada orang maka ketuk pintu ini tiga kali.” Tian mencontohkan ketukan. Phoen mengangguk patuh.
Mengambil nafasnya banyak-banyak. Akan sesuatu yang mungkin tidak akan Tian tahu. Seberapa mengerikannya di dalam nanti.
Ada banyak yang tidak Tian ketahui di dalam ruangan itu. Siapakah yang mengintip jendela tadi? Kini tidak ada sepasang mata yang nampak. Tian mendekat pada saklar lampu. Setidaknya akan ada ditembok dekat pintu. Nyatanya tidak ada.
Auman sudah didengar Tian.
Serigala? Atau apa itu?
Degup jantungnya melonjak naik. Tian sedikit takut. Bukan karena mereka hewan buas, namun mereka yang sudah direkayasa sehingga dihilangkan syaraf hidupnya.
Deru nafasnya sendiri dia dengar. Hanya itu sekarang yang ada.
Kaki becek menginjak sesuatu. Tian enggan menengok ke bawah. Takut jika itu adalah darah atau semacamnya. Menghentakkan kakinya barang sedikit keras. Suara cipratan air yang khas. Tian kemudian melirik ke bawah. Dalam gelapnya bayangan air itu nampak seperti mata yang menyorot kepadanya.
Tian tidak bergerak. Dia takut. Sungguh seperti keluar dari sangkar.
Tidak berani bergerak. Sangat ketakutan. Jemarinya basah karena keringat.
Enggan bergerak. Begitu merinding romanya. Setelahnya mata itu semakin melebar.
Tian menarik nafasnya cepat. Menghentakkan tangannya hingga ruangan yang gelap menjadi cahaya kehijauan asri menyinarkan seluruh sampai sudut ruangan. Tian menggunakan gerbang perlindungan diri untuk menghalau segala jenis musuh dan mereka yang menjadi hewan.
Ratusan. Bukan. Sedikit menyentuh ribuan dia lihat pasang mata yang menatap kepada dirinya. Semua itu adalah hasil percobaan. Mereka bebas, liar, dan selalu berada dalam ruangan tanpa cahaya.
Tidak ada yang bermain bergerak dalam dinding Tian. Perlahan memerhatikan mereka semua. Jika dibilang manusia juga bukan. Mereka adalah para hewan yang diambil DNA dan digabungkan sama seperti yang dilakukan pada Phoen.
Beruntungnya jika Tian selalu bersahabat dengan mereka.
Tian sempat menyapa mereka semua. Selayaknya masih memiliki tingkah seperti hewan pada umunya. Beruntungnya mereka tidak dibuat seperti anak yang Tian lihat di lantai tiga. Mereka hanya hewan yang dibiarkan hidup liar dalam kurungan menjijikkan itu.
Satu hal yang membuat Tian paling marah ketika melihat seorang anak berada di ujung ruangan. Diberi seperti oksigen untuk bernafas. Anak perempuan itu selama sangat kesakitan. Berada di dalam air.
“Ara.” Baca sebuah papan nama kecil ditempelkan di sudut kaca aquarium.
Tian merogoh saku kanannya. Sebuah buku kecil seukuran telapak tangan. Dia mencari sebuah ringkasan surat Coin. Ara adalah nama teman Coin pertama kali. Jika benar maka, gadis itu selamat setelah satu jam berlalu.
Bisa dibilang ilmuan ini sangat pintar.
Suara tiga ketukan membuat Tian menoleh. Dari balik sana Phoen sepertinya menyadari jika ada manusia yang akan datang. Tian mengirimkan sinyal untuk Phoen terbang dan seakan bermain dengannya.
Ada dua orang yang lewat. Yang dia tahu salah satunya ada Idris. Tian mengintip dari balik jendela. “Lelaki itu Idris. Dan yang satunya yang terluka diserang oleh Phoen.”
Tian tidak mendengar percakapan mereka, namun, lirikan Idris jelas menuju ke arahnya.
Tian diam saja ketika manik mereka bertemu sesaat.
Tidak lama Idris mengajak ilmuan itu untuk pergi dan meninggalkan Tian. Menyadari jika subuh akan segera datang, Tian membuka pintu. Terkejut bukan main melihat Idris berada di balik pintu dengan tangan bersedeku.
“Kamu mengintip." Seperti seekor anjing yang tertangkap basah. "Untuk apa kamu masuk ke dalam ruangan ini?"
“Satu-satunya orang yang memiliki kewarasan adalah kamu, Dokter Idris.”
Tian mengangkat tangannya dan membiarkan Phoen untuk hinggap di ujung telapak tangannya. “Aku bisa membuat siapa saja menyerangmu. Jadi, mari bicarakan baik-baik.”
“Beraninya mengancam. Aku bisa melakukan apa yang tidak pernah kamu pikirkan.”
“Sedangkan aku bisa membuat semua penghuni di sini menghancurkan laboratorium ini sekarang.”
Idris terperangah dengan ancaman itu. Lelaki itu sejak awal menarik hatinya. Bagaimana bisa seorang anak mengobarkan pertarungan semacam ini?
“Kamu, sebenarnya apa yang kamu lakukan di sini beberapa hari ini?”
Tian mendecih. “Tuan Idris. Sudah aku bilang. Hanya kamu yang waras di sini.” Tian berjalan mendekat. Dicengkeram pelan dasi yang menggantung di leher Tuan Idris. Bergerak tangannya mengelus manja. “Akan aku tunjukkan betapa mengerikannya sesuatu yang tidak kamu ketahui, Tuan.”
Tangan Tian menuruni badan Idris, sedikit tersenyum ketika mengetahui lelaki itu memiliki badan bagus. Ditariknya tangan itu dan menuju ruangan yang baru saja dia lihat.
Dengan cahaya kehijauan yang menyilaukan mata Idris mampu dia lihat pemandangan yang luar biasa mengerikan. Sedangkan, Tian menungguinya di depan akuarium Ara.
“Jika kamu bisa menyelamatkannya mungkin gadis itu akan kembali normal.”
Idris menyentuh akuarium Ara. Yang dia tahu dari penelitian terakhir itu Ara mati dengan cara mengenaskan. Tetapi, dia masih bertahan dengan oksigen dalam air. Bahkan kaki dan tangannya kini bertumbuh selaput lendir.
“Bukankah dia sudah mati?”
“Sepertinya tidak mudah menjelaskannya.”
“Dia hanya disuntikkan DNA hiu.”
“Apa kamu yakin?”
Tian melirik ke dalam manik mata Idris. “Jika dia hanya disuntikkan seharusnya dia tidak bernafas dengan insang. Kamu ini dokter, Tuan. Setidaknya gunakan otakmu.”
Idris menepis segala pemikiran ya. Dia paling waras katanya. Apakah itu benar? Bahkan Idris sudah mati rasa sekarang.
Hanya diam yang bisa berikan jawaban.
Idris memegang tangan Tian, hendak Tian menariknya jika dia tidak melihat wajah Idris seakan memegang penyesalan tiada akhir. “Tian, apakah kamu terlahir istimewa?”
“Aku berasal dari Pulau Arash yang dibombardir oleh Sekte Uno. Aku adalah Putra Regen, Sang Penguasa Pulau. Dan tujuanku ke sini adalah meminta bala bantuan.” Tian mengetuk akuarium Ara membuat gadis keil itu mendongak dengan mata sepenuhnya memutih. "Aku juga tidak akan peduli dengan apa yang kamu lakukan dengan manusia. Tetapi, jika dengan hewan dan ras hewan, maka, seseorang harus bertanggungjawab."
Ketegasan yang dia miliki menyadarkan Idris sepenuhnya akan batas wajar seorang manusia.
“Putra Regen?” ujarnya tidak percaya.
Idris, ayahnya juga orang yang tinggal di kota lain adalah Ras Beta atau cendekiawan. Mereka biasnya memilki pengetahuan diluar nalar dan terus berkembang menciptakan hal baru. Aturan yang ada di Pulau Arahis adalah setiap ras tidak boleh menganggu ras lain. Jika Idris menjadikan Tian sebagai objek penelitian maka, kerajaan juga akan turun tangan.
“Jika kamu bisa bekerja sama maka, aku akan sangat berhutang budi. Aku berjanji memberikan perlindungan terhadap dirimu dengan kekuasaan yang aku miliki.
Idris mengerti kata itu. Merebut kembali Pulau Arash yang tertutup oleh dosa. Sejenak memikirkan penawaran menarik ini. Melihat bukti kekuatan Sang Penguasa Pulau sudah membuat dirinya yakin. Hanya pemikirannya yang belum selaras dengan hatinya.
...***...
Terbukanya matanya pada lampu temaram hampir menyerah jika malam itu seorang baik hati telah memindahkannya ke ranjang. Teriakan Coin bahkan gemuruh malam itu tidak didengar oleh siapa pun. Hanya dia sendiri.
Seakan berlari di kerumunan namun, dia sendiri yang dengar. Itu adalah mereka yang disebut dengan Barang Surga. Tanpa melakukan tes pun Coin sudah menduganya.
“Gadis yang pintar juga,” puji Silvia. Coin terbangun pada pagi menjelang siang.
...“Malam kekacauan kamu melakukan dengan Silvia membuat Idris dan slah seorang dokter datang ke laboratorium. Mereka membicarakan sesuatu yang tidak aku tahu. Tetapi, akan salah jika melunak sekarang. Coin, malam ini mungkin akan kekacauan lagi. Saat itu tiba, cobalah untuk mengacaukan makan malam.”...
Sebuah surat sudah dia terima pagi tadi.
Berburu menuruni tangga. Melihat Nona Zeta sedang menyiapkan makanan. “Garam yang dipakai apakah sama seperti yang dipakai pada makan malam?”
Coin berpura menuju dapur. Meneguk air putihnya dingin. Melihat garam uang berada di atas meja bumbu. Mengambilnya segera dan mencium baunya.
“Berbeda,” lirih Coin. Buru buru dia kembalikan ke tempat asalnya semula. Berlari ketika melihat Nona Zeta memanggil namanya untuk sarapan.
Dari balik semak dia melihat jendela dibiarkan terbuka. Seorang anak sudah mencurigai bumbu dapur. Lelaki jingglang ini kemudian meninggalkan tempat persembunyiannya sembari membawa garam.
“Mereka harus cepat disingkirkan.”
Mungkinkah jika dunia yang mereka impikan masih selayaknya negeri dongeng? Jikalau bukan, ada jalan diantara pihak yang tidak akan terlewati sekalipun di depan mata.
Karena dendam selalu berakhir dengan perkara keji.
...***...
...Bersambung......