"Kamu harus menikah dengan Seno!"
Alea tetap diam dengan wajah datarnya, ia tidak merespon ucapan pria paruh baya di depannya.
"Kenapa kamu hanya diam Alea Adeeva?"
hardiknya keras.
Alea mendongak. "Lalu aku harus apa selain diam, apa aku punya hak untuk menolak?"
***
Terlahir akibat kesalahan, membuat Alea Adeeva tersisihkan di tengah-tengah keluarga ayah kandungnya, keberadaannya seperti makhluk tak kasat mata dan hanya tampak ketika ia dibutuhkan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Bianca tidak datang sendiri, dia membawa Arka dan Raya bersamanya. Begitu turun dari mobil, Bianca melihat Eyang Elaine bersama yang lain sedang bercengkrama di depan ruang IGD. Bianca lantas mempercepat langkahnya menjadi setengah berlari menghampiri Eyang Elaine dan yang lain.
"Eyang, bagaimana keadaan Alea?" tanya Bianca, ekspresi wajahnya terlihat khawatir.
Di belakangnya menyusul Arka dan Raya turut menghampiri.
"Alea baik-baik saja, dia sedang istirahat !" jawab Eyang ramah.
"Syukurlah!" Bianca menghembuskan nafas dengan mimik wajah lega. "Lalu di mana Alea sekarang, Eyang?"
Bianca memperhatikan sekeliling, semua keluarga Ravindra berada di luar berarti Jelita sedang sendirian sekarang. Dalam hati Bianca tersenyum, benaknya berpikir keluarga Ravindra tidak terlalu peduli dengan Alea untuk itu mereka membiarkan Alea seorang diri.
'Ternyata mereka tidak sepeduli itu pada Alea!' batinnya senang.
"Ada di dalam!" jawab Eyang seraya menunjuk ke arah pintu IGD.
Bianca mengangguk mengerti, ia lalu berbalik menghadap Arka dan Raya yang berdiri di belakangnya.
"Pa! Ma! Alea masih belum di pindahkan ke ruang rawat inap, mau melihatnya sekarang?"
"Iya, ayo!" Arka menjawab antusias, pura-pura lupa kalimat menohok yang pernah dilontarkan Eyang Elaine kepadanya.
Arka dan Raya hanya mengangguk kecil ketika melewati Eyang Elaine dan yang lain, mereka masih segan untuk berinteraksi lebih dan hanya mengandalkan Bianca.
"Eyang ikut ke dalam dulu," pamit Eyang pada anak dan cucunya lalu pergi menyusul rombongan Arka.
"Demamnya sudah turun!" Bianca menyentuh kening Alea yang sudah tidak lagi panas.
"Syukurlah!" Arka dan Raya berujar lega.
"Alea pribadi yang keras kepala, tidak mau mendengarkan saran dan nasehat orang lain, bahkan sama Papa, Oma dan Mama pun Alea sering membantah!" Bianca berucap pelan seraya memandang Eyang Elaine dengan raut wajah merasa bersalah.
"Benarkah? ... Eyang tidak tahu!" Eyang bertanya terkejut.
Bianca mengangguk seraya memberi kode pada Arka dan Raya untuk mengiyakan.
"Apa yang dikatakan Bianca benar, Nyonya. Saya minta maaf jika nanti Alea kesulitan beradaptasi dengan keluarga Ravindra karena sikapnya yang sedikit liar!" Arka berucap sangat meyakinkan.
Eyang Elaine terdiam, mimik wajahnya terlihat sedang berpikir keras. Tak lama kemudian ia mendongak menatap mereka bertiga bergantian.
"Tidak apa-apa, saya akan mendisiplinkannya sesuai aturan keluarga Ravindra!" ucap Eyang tegas.
Bianca menunduk, bibirnya mengulum senyum kebahagiaan. Rencananya menghasut keluarga Ravindra agar tidak memperlakukan Alea dengan baik bermodalkan cerita palsu sepertinya membuahkan hasil. Terlihat dari reaksi Eyang dan kalimat yang diucapkannya, Bianca tidak menyangka mempengaruhi keluarga Ravindra ternyata begitu mudah.
"Saya harap Eyang bisa lebih bersabar. Sejujurnya keluarga Wicaksana sebenarnya sangat menyayangi Alea, tapi Alea lebih suka bertindak seenaknya dan sulit dikendalikan. Memutuskan hubungan keluarga dengan kami tanpa berdiskusi lebih dulu, Alea membuat seolah-olah keluarga Wicaksana sangat jahat, padahal selama ini kami memperlakukannya dengan baik dan tidak membedakan kasih sayang kami antara Bianca dan Alea!" Raya menambahkan yang membuat Alea semakin terlihat gadis yang buruk.
Eyang menghela nafas panjang. "Kalian tenang saja, biar itu menjadi urusan kami yang paling penting cucu saya mendapatkan seorang istri."
Bianca maju mendekat dan berdiri di depan Eyang Elaine, perlahan kedua tangannya terulur meraih tangan Eyang dan menggenggamnya, sorot matanya sendu dan lembut.
"Bianca mohon, tolong Eyang bantu membujuk Alea agar tidak memutuskan hubungannya dengan kami. Bianca rasa jika Eyang yang berbicara Alea akan mendengarkan!" pintanya.
Eyang mendesah pelan lalu mengangguk sembari tersenyum ramah. "Eyang akan berusaha. Sulit menolak permintaan gadis baik dan manis seperti kamu," ucapnya disertai pujian.
Bianca tertawa kecil begitu juga Raya dan Arka. Dalam hati mereka berdua memuji kepiawaian Bianca dalam mengambil hati pemilik tahta tertinggi di keluarga Ravindra.
"Jika Eyang menganggap Bianca baik dan manis, bisakah Bianca menjadi cucu Eyang? ... Eyang bisa memanggil Bianca jika kesepian dan butuh teman bercerita, Bianca pasti datang. Lagipula ketika Alea menikah dengan Seno, otomatis kita juga menjadi saudara 'kan Eyang?" Bianca berucap dengan riang, tetapi diam-diam sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk seringaian karena melirik kelopak mata Alea yang perlahan terbuka.
"Tentu, tentu saja!" Eyang mengelus surai keemasan milik Bianca yang membuat gadis itu tersenyum.
Arka dan Raya saling pandang dengan raut puas, mereka tidak masalah jika Alea bersikeras memutuskan hubungan kekeluargaan mereka, toh masih ada Bianca yang masih bisa mereka andalkan.
"Alea, kamu sudah bangun?" Eyang bertanya ketika netranya tak sengaja menangkap Alea yang sudah membuka kelopak matanya sembari menatap ke arahnya dan Bianca dengan pandangan datar.
Alea hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, baik menjawab pertanyaan Eyang atau menyapa keluarganya.
"Alea, syukurlah kamu sudah sadar dan baik-baik saja." Bianca menjadi orang yang pertama kali menyapa dan menghampiri Alea di antara Arka dan Raya.
"Papa dan Mama sudah berulang kali mengingatkan untuk tidak selalu keluar rumah jika tidak ada hal penting, lihat hasilnya karena kamu bebal, tubuhmu kelelahan dan demam tinggi!" ucap Bianca lagi seperti seorang kakak yang tengah memarahi adiknya.
Alea hanya diam tak menjawab maupun memberi reaksi.
"Kalau sudah begini, kami terlihat tidak peduli dan tidak memperhatikanmu padahal kamu sendiri yang tidak mau mendengarkan kami. Di keluarga Ravindra nanti jangan bawa kebiasaanmu yang seperti ini ya, le."
Bianca kembali berbicara dengan lembut, seolah-olah sedang menasehati.
"Bianca, kamu baik sekali!" ucap Eyang Elaine.
Bianca mengulum senyum lalu berbalik menghadap ke arah Eyang. "Sesama saudara memang harus akur, Eyang. Aku hanya berusaha menjadi kakak yang baik, meskipun Alea ya ...." Bianca sedikit mencebik dengan ekspresi mengeluh.
"Selamat malam, Bapak, Ibu!"
Kedatangan seorang perawat menginterupsi obrolan mereka. Eyang dan Bianca yang memang berdiri di samping tiang infus segera menyingkir dengan cara bergeser untuk memberi ruang pada perawat yang hendak mendekat seraya memegang sebuah wadah ditangannya.
"Demamnya sudah turun, ya dan cairan infusnya juga tinggal sedikit. Bagaimana, Bu, apa ada keluhan lain?" Alea menggeleng.
Suster tersenyum lalu melepas jarum yang tertancap di atas telapak tangan Alea dengan hati-hati.
"Selesai!" serunya riang. "Pasien sudah boleh pulang ya!" ucap perawat tersebut sembari membereskan alat-alat medis yang sebelumnya digunakan oleh Alea dan mengumpulkannya pada satu wadah.
"Alea biar pulang bersama kami, Nyonya!" Kali ini giliran Arka yang bersuara.
Eyang Elaine terlihat enggan tapi dia mencoba bertanya pada Alea bagaimana keputusan gadis itu.
"Biar Alea kembali dan tinggal di rumah Papa sampai hari pernikahan tiba, Eyang!" ucap Alea lebih dulu.
Mendengar percakapan Bianca dan Eyang, sepertinya ia berubah pikiran untuk memutuskan hubungan keluarga dengan Wicaksana, rasanya terlalu mudah bagi mereka jika dirinya pergi begitu saja tanpa sedikit memberi mereka pelajaran atas perbuatan yang ia terima selama ini.
"Baiklah, Eyang menghormati keputusan Alea. Kalian bisa membawanya pulang!" tutur Eyang bijak.
Alea pasrah saat Arka memapah dan membantunya berjalan, sedikit memberi jarak dengan rombongan di depan.
"Papa senang kamu jadi anak penurut begini, Alea. Jangan banyak tingkah yang membuat keluarga Ravindra berprasangka buruk pada keluarga kita, setidaknya kamu harus membalas budi karena Papa telah mencarikan jodoh dari keluarga terpandang yang tidak mempermasalahkan statusmu yang hanya anak diluar nikah!" bisik Arka pelan yang hanya bisa di dengar Alea saja.
Melihat Alea yang tetap diam, Arka kembali bersuara dengan pelan dengan nada mengancam. "Katakan pada Seno kalau kamu batal memutuskan hubungan kekeluargaan dengan Wicaksana kalau kamu masih ingin Bi Ningsih tetap baik-baik saja!"
Alea menahan amarah dalam dirinya.
Tubuhnya masih lemas sehingga membuatnya enggan berdebat meski hatinya tentu saja merasakan sakit yang teramat sangat.
Setelah semua orang di kediaman keluarga Wicaksana menyebutnya sebagai anak haram kini Arka, ayah kandungnya sendiri mengatakan hal serupa dengan mulutnya.
Alea merasa sangat tidak adil, bukan dirinya yang minta dilahirkan tapi kenapa mereka memperlakukannya seolah-olah mengasingkan dan menganggap dirinya bersalah. Wajar jika kebencian perlahan tumbuh di hatinya untuk Arka, tidak ada lagi rasa hormat untuk pria itu dan ancaman Arka, Alea sangat membencinya.
Rombongan Seno melewati pintu keluar dan di sana, terlihat di luar keluarga Ravindra sudah menunggu.
Seno yang melihat rombongan Eyang Elaine mengerutkan keningnya saat melihat Alea yang tidak menolak saat di papah oleh Arka, padahal Ia tahu hubungan mereka tidak baik.
'Sebenarnya apa yang terjadi didalam?' batinnya bertanya-tanya karena heran.
"Cepat katakan!" Seno meremat lengan Alea meminta gadis itu berbicara.