Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Sang Juragan
Bidan Warti mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan pertanyaan langsung itu. Ia menyandang tas kecilnya dan menatap pria kurus itu dengan penuh selidik. "Pria mana yang kamu maksud?" tanyanya hati-hati, meski ia sudah bisa menebak siapa yang dimaksud.
"Orang yang Airin bawa pulang dari sungai! Katanya dia buta dan terluka. Tapi siapa dia sebenarnya? Dari mana asalnya?" desak pria itu, wajahnya memerah karena rasa penasaran yang jelas-jelas menguasainya.
Bidan Warti menghela napas, mencoba menjaga ketenangan. "Kalau kamu tahu dia terluka, itu berarti dia perlu istirahat, bukan dibahas seperti ini. Lagipula, siapa dia atau dari mana dia berasal, itu urusan Airin, bukan urusanmu."
Pria kurus itu mendengus frustrasi. "Tapi Bu Warti, bagaimana kalau dia berbahaya? Bagaimana kalau—"
"Sudah cukup, Supar!" potong Bidan Warti dengan nada lebih tegas. "Kamu terlalu banyak berandai-andai. Kalau kamu benar-benar peduli, doakan saja dia cepat sembuh. Sekarang, minggir! Aku lelah dan ingin masuk ke rumah."
Supar membuka mulutnya, seakan ingin membantah, tapi akhirnya ia hanya bisa menggumam tidak jelas sambil mundur perlahan. Bidan Warti melangkah masuk ke rumahnya, meninggalkan pria itu berdiri di halaman, masih dengan rasa penasaran yang membakar dirinya.
Bidan Warti menutup pintu rumahnya dengan sedikit hentakan, kemudian meletakkan tas kecilnya di atas meja. Sambil melepas kerudungnya, ia menggerutu pelan namun penuh rasa kesal.
"Si Supar itu pasti sudah lari ke juragan Wongso," gumamnya sambil mengibas-ngibaskan kerudung di tangannya. "Dasar tua bangka nggak tahu malu! Putri sulungnya saja lebih tua dari Airin, eh dia malah ngejar-ngejar gadis sepolos Airin."
Ia berjalan ke dapur, menuang segelas air untuk menenangkan pikirannya, namun omelannya masih terus keluar. "Istri sudah tiga, anak sudah berderet, tapi masih juga cari daun muda. Apa nggak puas? Mau apa lagi coba? Emangnya masih kuat bobol gawang apa?"
Bidan Warti mendecak, mengingat bagaimana Wongso selama ini terus mengintai Airin dengan alasan-alasan tak masuk akal, bahkan menyingkirkan semua pria yang mendekati Airin. Ia menggelengkan kepala, merasa prihatin pada Airin yang terus saja diganggu. "Kasihan anak itu. Wongso benar-benar keterlaluan. Dasar tua bangka bau tanah tak ingat umur! ABG tua! Kalau saja aku punya cara buat bikin dia kapok..."
Ia duduk di kursi dengan napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tapi kekesalan di hatinya terhadap Wongso belum sepenuhnya mereda.
Di sisi lain, setelah gagal mendapatkan informasi dari Bidan Warti, Supar berlari tergesa-gesa menuju gudang padi seperti dugaan Bidan Warti. Hingga akhirnya ia tiba di gudang, berlari di antara deretan karung padi yang menumpuk di gudang besar milik Wongso. Napasnya tersengal, keringat bercucuran di wajah tirusnya. Ia berhenti di depan seorang pria paruh baya bertubuh tambun yang tengah duduk santai di kursi rotan, mengipasi dirinya dengan topi anyaman.
"Juragan... Juragan Wongso!" panggil pria kurus itu sambil membungkuk, kedua tangannya bertumpu pada lututnya, berusaha mengatur napas.
Wongso mengangkat alisnya, menatap pria kurus itu dengan malas. "Apa lagi, Supar? Jangan bilang kau datang hanya untuk minta uang rokok," ujarnya dengan suara berat.
"Bukan itu, Juragan!" jawab Supar cepat. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Tadi saya dengar kabar dari orang-orang di jalan. Airin menemukan seorang pria muda buta terdampar di pinggir sungai tadi pagi. Dia membawanya ke rumahnya."
Mata Wongso yang semula sayu kini menyipit tajam. Ia menurunkan topi anyamannya perlahan, tubuhnya yang tambun bergerak sedikit ke depan, menunjukkan minat pada laporan itu. "Pria muda, katamu?" tanyanya dengan suara berat, hampir berbisik tapi penuh ancaman. "Dan Airin membawanya ke rumahnya?"
"Iya, Juragan," Supar mengangguk cepat, menunduk takut. "Untuk memastikannya, saya mengintip di rumah Airin. Saya melihat, pria yang ditemukan Airin itu brewok, gondrong tapi... wajahnya tampan juragan."
Wajah Wongso berubah tegang. "Tampan, ya?" Ia tertawa kecil, namun tidak ada kehangatan dalam tawanya. "Tampan atau tidak, orang buta seperti itu tidak mungkin merebut Airin dariku."
Namun di balik tawa itu, perasaan tak nyaman merayap di hatinya. Selama ini ia selalu memastikan tak ada pria lain yang mendekati Airin, apapun caranya. Ancaman, pukulan, bahkan mempermalukan mereka di depan orang-orang desa. Semua dilakukan demi memastikan gadis itu hanya miliknya.
Ia berdiri dari kursinya, tubuh tambunnya bergerak dengan susah payah. "Tetap saja, aku tak suka ada pria lain di dekatnya." Ia terdiam sejenak, bibir tebalnya mengatup rapat. Lalu, dengan suara yang nyaris berbisik namun penuh ancaman, ia bertanya, "Dia masih di sana, di rumah Airin?"
Supar mengangguk takut-takut. "Iya, Juragan. Tadi masih disana."
Wongso mengepalkan tangan, wajahnya memerah karena amarah yang perlahan membara. "Hm, kita lihat siapa orang ini," gumamnya dingin. "Tak ada satu pun pria yang boleh mendekati Airin tanpa izinku."
"Jadi... apa yang harus saya lakukan, Juragan?" tanya Supar dengan gugup.
Wongso melirik sekilas, matanya menyala penuh otoritas. "Awasi mereka. Cari tahu siapa pria itu. Jika sampai magrib pria itu belum pergi dari rumah Airin, usir dia. Kalau perlu, aku sendiri yang akan mengusirnya."
Ia melangkah pergi, meninggalkan Supar yang tampak ketakutan. Dalam benaknya, hanya ada satu hal, Airin adalah miliknya, dan tidak ada seorang pun yang boleh mengubah itu.
"Siapkan mobil! Sekarang juga!" perintah Wongso dengan nada tinggi.
"I-iya, Juragan," Supar menjawab gugup sambil bergegas menuju parkiran gudang.
Wongso berhenti sejenak di depan pintu, mengatur napasnya yang berat. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam. "Airin memang keras kepala. Aku tak akan biarkan lelaki mana pun mendekatinya, apalagi tinggal di rumahnya," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Tak lama kemudian, suara menggerung mesin mobil terdengar. Wongso membuka pintu mobil dengan kasar dan masuk ke kursi penumpang depan. "Cepat antar aku pulang! Jangan lambat!" bentaknya pada Supar yang sudah duduk di belakang kemudi.
"I-iya, Juragan," jawab Supar sambil memacu mobil keluar dari halaman gudang.
Di sepanjang perjalanan, Wongso terus bergumam dengan nada dingin. "Kalau dia cuma pengembara yang kebetulan lewat, aku bisa usir dia baik-baik. Tapi kalau dia berani macam-macam... dia akan tahu akibatnya."
Supar melirik Wongso yang duduk di sebelahnya, keringat dingin membasahi dahinya. Ia tahu betul amarah Wongso sulit diredakan.
Mobil melaju cepat di jalanan desa yang berliku, meninggalkan jejak debu di belakangnya. Di dalam, Wongso duduk dengan wajah tegang, rahangnya mengeras menahan amarah. Ia tak sabar ingin segera tiba di rumah dan mengatur rencana.
Pikirannya dipenuhi amarah dan kecemburuan. Baginya, Airin adalah miliknya, haknya yang tak bisa diganggu gugat. Jika pria asing yang ada di rumah Airin itu menolak pergi, Wongso sudah bersiap mengambil tindakan. Ia akan memerintahkan anak buahnya untuk menyeret pria itu keluar, bahkan mengusirnya dari desa tanpa ampun.
Dengan tangan mengepal di atas lututnya, Wongso menggeram pelan. "Tak ada yang boleh mendekati Airin, apalagi pria asing itu. Kalau dia tak tahu tempatnya, aku sendiri yang akan mengajarinya."
Mendengar geraman Wongso, Supar melirik bosnya sekilas melalui kaca spion dalam mobil. Wajah Wongso yang memerah menahan amarah membuat Supar semakin gugup. la mengusap keringat dingin di wajahnya dengan sebelah tangan, sementara tangan lainnya tetap menggenggam erat setir, berusaha menjaga mobil tetap stabil di jalanan berliku.
Dalam hati, Supar hanya bisa mengutuk nasib pria buta yang kini berada di rumah Airin. "Apes sekali dia," batinnya. Wongso memang tak pernah memedulikan keadaan, entah pria itu buta atau tidak. Selama ada yang mendekati Airin, itu cukup untuk membangkitkan amarahnya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso