NovelToon NovelToon
Alastar

Alastar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Bita_Azzhr17

Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31. Satu Meja, Dua Impian

Lapangan basket SMAGA mulai lengang, cahaya senja menerangi lantai yang mulai basah oleh keringat para pemain. Latihan sore itu berakhir dengan sorakan kemenangan kecil dari anggota tim yang semakin percaya diri menghadapi kompetisi minggu depan.

Alastar, masih mengenakan jersey bernomor punggung 10, berjalan pelan menuju ruang ganti. Keringat membasahi tubuhnya, dan rambutnya yang basah tampak menempel di dahinya. Tas olahraga tergantung di bahunya, sementara teman-temannya sibuk bercanda dan saling menggoda di belakangnya.

“Star, lo nembak gue tadi di lapangan, sumpah sakit banget!” celetuk Andi sambil tertawa.

“Kalau nggak tahan, mending jangan main basket,” balas Alastar sambil mengangkat bahu, melangkah lebih cepat.

Saat tiba di ruang ganti, ia membuka lokernya untuk mengambil ponsel dan handuk. Sebuah pesan masuk di layar ponselnya langsung menarik perhatiannya.

“Narendra, ini ayah. Berapa lama lagi kamu lari dari rumah? Kamu pikir semua bisa selesai begitu saja? Pulang malam ini, atau aku yang datang mencarimu.”

Tangan Alastar membeku sejenak. Tatapannya terpaku pada layar. Detak jantungnya terasa lebih cepat, dan napasnya mulai terasa berat. Ia menggenggam ponselnya erat, mencoba mencerna pesan itu.

Sudah enam bulan sejak ia terakhir kali berbicara dengan ayahnya, apalagi pulang ke rumah. Keputusan untuk tinggal di apartemen adalah bentuk pelariannya dari tekanan di rumah, namun ternyata bayangan itu terus mengejarnya.

“Star, lp nggak ganti baju?” tanya Farel, salah satu timnya, yang baru saja masuk ke ruang ganti.

Alastar tersentak. Ia cepat-cepat mematikan layar ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku. “Iya, bentar,” jawabnya datar sambil mengambil handuk.

****

Setelah mengganti pakaian, Alastar keluar dari ruang ganti. Di luar, ia menemukan Kayana sedang duduk di bangku dekat lorong, menunggu. Gadis itu tampak santai, memainkan ujung rambutnya sambil melihat layar ponselnya.

“Lo masih di sini?” tanya Alastar, mencoba terdengar biasa.

Kayana mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. “Gue tahu lo bakal butuh gue, jadi gue tunggu.”

Alastar menghela napas panjang, kemudian berjalan ke arah Kayana. Ia duduk di sampingnya, meletakkan tas di lantai. “Ayah gue ngirim pesan barusan,” katanya pelan.

Kayana langsung memperhatikan wajah Alastar. Ia mengenal betul ekspresi itu campuran antara lelah, marah, dan sedih yang selama ini Alastar simpan rapat-rapat.

“Apa dia bilang?” tanya Kayana lembut.

Alastar membuka ponselnya, menunjukkan pesan tersebut pada Kayana. Gadis itu membaca pesan itu dengan seksama, dan napasnya tertahan sejenak.

“Lo nggak mau pulang?” tanya Kayana setelah membaca pesan itu.

Alastar menggeleng pelan. “Gue nggak siap, Kay. Gue nggak tahu harus bilang apa ke dia. Setiap kali gue denger suaranya, rasanya kayak gue nggak cukup baik, kayak gue selalu salah.”

Kayana terdiam, mencoba mencerna kata-kata Alastar. Ia tahu ini bukan pertama kalinya Alastar merasa seperti itu.

“Lo udah makan? Kalau belum, gue traktir dulu sebelum kita ngomongin ini,” kata Kayana mencoba mencairkan suasana.

Namun, Alastar tetap diam, menatap kosong ke lantai. “Gue nggak tahu harus ngapain, Kay. Kadang gue mikir, mungkin gue emang salah. Mungkin gue emang nggak cukup buat dia.”

Mata Kayana melembut. Ia meraih tangan Alastar, menggenggamnya erat. “Star, lo bukan cuma cukup. Lo lebih dari cukup. Kalau dia nggak bisa liat itu, itu masalah dia, bukan masalah lo.”

Alastar menoleh, menatap Kayana dengan mata yang mulai memerah. “Gue cuma pengen dia ngerti. Tapi kayaknya itu nggak mungkin, ya?”

Kayana tersenyum tipis. “Nggak ada yang nggak mungkin, Star. Tapi lo juga nggak perlu maksa diri lo sekarang. Kalau lo belum siap, nggak apa-apa. Kita cari cara bareng-bareng.”

Alastar mengangguk pelan. Kata-kata Kayana selalu berhasil membuatnya merasa lebih tenang, meski hanya sedikit.

****

Matahari mulai meredup di langit Kota Malang, memberi warna jingga yang hangat. Seusai sekolah, Kayana menarik tangan Alastar menuju parkiran, memaksanya untuk ikut tanpa banyak penjelasan.

"Kay, mau ke mana sih?" Alastar bertanya, sedikit bingung dengan semangat gadis itu.

"Gue kan udah bilang, mau traktir lo makan. Udah, ikut aja," jawab Kayana sambil tersenyum kecil, senyumnya itu cukup untuk membuat Alastar tidak banyak protes.

Ada Frasha yang melihat mereka dari jauh, meski dengan pandangan datarnya.

Beberapa saat kemudian, motor Alastar berhenti di depan sebuah restoran bernama Taman Indie River View Resto. Lokasinya yang berada di pinggir sungai memberi nuansa damai, dengan suara gemericik air dan lampu-lampu gantung yang berkelap-kelip.

"Serius kita makan di sini?" tanya Alastar, menatap bangunan restoran yang terasa seperti dunia lain dari kehidupannya yang biasa.

"Kenapa? Lo nggak suka tempatnya?" Kayana balik bertanya sambil melipat tangannya.

"Bukan gitu, cuma... ini terlalu bagus buat traktiran anak SMA."

Kayana terkekeh. "Udah, masuk aja. Jangan banyak ngomong."

Mereka memilih meja di dekat sungai, dengan pemandangan air yang mengalir tenang. Angin sepoi-sepoi meniup rambut mereka, menciptakan suasana yang begitu nyaman. Kayana memesan makanan, sementara Alastar hanya diam memperhatikan pemandangan di depannya.

"Nggak nyangka, lo punya selera tempat makan yang kayak gini," komentar Alastar setelah beberapa saat.

Kayana tersenyum. "Kadang, gue juga butuh tempat yang beda, Star. Tempat yang bisa bikin gue lupa sama semua kekacauan di rumah."

Perkataan itu membuat Alastar sedikit tersentak. Ia menatap Kayana, melihat raut wajahnya yang sedikit melembut.

"Mungkin kita lebih mirip daripada yang gue pikir," ujar Alastar pelan.

Makanan mereka datang. Sepiring nasi goreng kampung untuk Alastar dan sepiring ayam bakar madu untuk Kayana. Mereka mulai makan dengan perlahan, menikmati setiap gigitan dalam suasana yang tenang.

"Jadi, cita-cita lo apa, Star?" tanya Kayana tiba-tiba, memecah keheningan.

Alastar mengangkat alisnya. "Kenapa nanya gitu?"

"Ya, gue penasaran aja. Lo kan jago basket, apa mau jadi atlet profesional?"

Alastar menggeleng, sedikit tersenyum. "Enggak. Basket cuma pelarian. Sesuatu yang bisa bikin gue lupa sama rumah."

Kayana mengangguk pelan, mencoba memahami. "Jadi, apa cita-cita lo sebenarnya?"

Alastar menatap sungai di depannya, matanya sedikit menerawang. "Gue pengen bangun rumah."

"Rumah? Maksud lo jadi arsitek?"

"Bukan," jawab Alastar, suaranya lebih pelan. "Gue pengen bangun rumah yang atapnya aman, yang nggak bocor kalau hujan. Rumah yang bukan cuma ada perabotan, tapi juga ada kehangatan di dalamnya."

Kayana terdiam. Kata-kata Alastar begitu sederhana, tapi menyentuh hatinya. Ia tahu persis apa yang dimaksud Alastar.

"Lo tahu, Kay," lanjut Alastar, "rumah itu nggak cuma soal tempat tinggal. Rumah itu tempat lo pulang tanpa rasa takut. Tempat lo bisa jadi diri sendiri."

Kayana menunduk, menatap piringnya yang sudah kosong. "Gue ngerti, Star. Gue juga pengen punya rumah kayak gitu. Rumah yang nggak penuh dengan suara teriakan atau tangisan."

Mereka terdiam lagi, membiarkan suasana sekitar berbicara untuk mereka. Angin yang berhembus, suara air yang mengalir, semuanya seperti memberikan ruang untuk mereka merenung.

"Gue yakin kita bisa, Star," ujar Kayana akhirnya, suaranya penuh keyakinan. "Suatu hari nanti, kita bakal punya rumah yang kita impikan. Rumah yang bener-bener jadi tempat pulang."

Alastar tersenyum tipis, senyum yang jarang sekali terlihat di wajahnya. "Lo selalu optimis, ya. Kadang gue iri sama itu."

"Dan lo selalu keras kepala," balas Kayana sambil tertawa kecil.

Mereka menyelesaikan makan malam dengan percakapan ringan, membicarakan hal-hal kecil yang membuat mereka lupa sejenak tentang dunia di luar sana. Malam itu, di meja kecil di pinggir sungai, mereka menemukan sedikit ketenangan yang selama ini jarang mereka rasakan.

****

Saat mereka keluar dari restoran, Alastar menatap Kayana sejenak sebelum menghidupkan motor. "Kay, makasih," ucapnya tulus.

Kayana tersenyum. "Untuk traktirannya?"

"Untuk semuanya," jawab Alastar singkat, tapi penuh makna.

Kayana tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sebelum naik ke motor. Dalam perjalanan pulang, mereka berdua tidak banyak bicara, tapi ada perasaan hangat yang tumbuh di antara mereka. Seolah-olah, mereka berdua mulai percaya bahwa meskipun mereka berasal dari keluarga yang rusak, mereka masih bisa membangun sesuatu yang utuh bersama-sama.

1
lgtfav
👍
lgtfav
Up terus thor
lgtfav
Thor semangat👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!