Permintaan Rumi untuk mutasi ke daerah pelosok demi menepi karena ditinggal menikah dengan kekasihnya, dikabulkan. Mendapatkan tugas harus menemani Kaisar Sadhana salah satu petinggi dari kantor pusat. Mereka mendatangi tempat yang hanya boleh dikunjungi oleh pasangan halal, membuat Kaisar dan Rumi akhirnya harus menikah.
Kaisar yang ternyata manja, rewel dan selalu meributkan ini itu, sedangkan Rumi hatinya masih trauma untuk merajut tali percintaan. Bagaimana perjalanan kisah mereka.
“Drama di hidupmu sudah lewat, aku pastikan kamu akan dapatkan cinta luar biasa hanya dariku.” – Kaisar Sadhana.
Spin off : CINTA DIBAYAR TUNAI
===
follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CLB ~ Mau Kemana?
Ukuran ranjang tidak begitu besar, cuaca dingin dan selimut tipis membuat pasangan yang terlelap itu saling mencari kehangatan dengan memeluk satu sama lain. Tanpa mereka sadari sudah saling mendekap setelah sempat drama tidur saling memunggungi dan guling sebagai pembatas. Nyatanya guling sudah tergeletak di lantai.
Sudah pagi dan terdengar aktivitas, membuat mereka terjaga. Sama-sama mengerjap dan langsung terbelalak mendapati wajah terlihat sangat dekat.
“Aaaa.” Rumi berteriak sekaligus mendorong Kaisar yang belum sadar sepenuhnya, tidak lupa dengan tendangan maut membuat pria yang baru sehari menjadi suaminya terjungkal dan terjatuh ke lantai.
“Rumi!”
“Ngapain peluk-peluk, saya sudah bilang bapak tidur di bawah aja.”
Sambil meringis Kaisar perlahan berdiri dan mengusap bokongnya. Tidak menduga kalau Rumi memiliki tenaga luar biasa. Padahal tubuhnya kecil, tapi tenaganya berhasil menghempas tubuh Kaisar.
“Kita tidur dan tidak sadar saling memeluk, ingat SALING MEMELUK. Bukan hanya kamu yang saya peluk, tapi sebaliknya. Nggak mungkin juga saya peluk kamu dalam keadaan sadar, apa pula yang bisa dipegang.” Kaisar mengambil air mineral yang semalam diantar, kembali duduk di kursi kayu menjauh dari Rumi. Mana tahu gadis itu kembali memberikan jurus, bisa-bisa dia keluar kamar babak belur.
“Ish, dasar ca-bul.”
“Ambilkan ponsel saya di mobil!” titah Kaisar lalu kembali menenggak air mineralnya.
“Bapak nyuruh saya?”
“Nggak kok, salah dengar kali. Saya ‘kan nyuruh nyamuk.” Berusaha sabar, Kaisar menunjukan wajah biasa saja. “Kamu bawahan saya, wajar kalau saya memberi perintah. Mana mungkin saya minta Pak Djarot. Saya mau cuci muka dulu.”
Rumi melayangkan tinju ke udara saat Kaisar meninggalkan kamar, mulutnya bergumam mengikuti ucapan Kaisar.
“Enak banget main perintah. Pantesan aja jomblo, mana ada perempuan yang mau sama laki-laki yang kasar. Nggak ada manis-manisnya. Ck, ya Tuhan aku memang butuh sandaran, tapi sandaran hidup bukan sandaran kursi kayak dia.”
Saat kembali ke kamar, Kaisar menunggu dengan bersila di atas ranjang sambil memeluk tubuhnya. Bahkan sesekali ia bergidik. Sebenarnya Rumi tidak ingin peduli, tapi sudah cukup masalah yang mereka dapatkan. Tidak ingin mendapatkan masalah baru kalau terjadi sesuatu pada Kaisar.
“Bapak kenapa?” tanya Rumi.
“Cepat hubungi Medi, minta dia kemari segera dan selamatkan aku dari sini!” teriak Kaisar.
“Hah, selamatkan Bapak?”
***
Medi menarik nafasnya setelah mendengar penjelasan dari Rumi lalu menatap pasangan di hadapannya. Tidak pernah terbayangkan kalau kemarin status keduanya masih rekan kerja sekarang menjadi pasangan suami dan istri.
Hendak terbahak, tapi ia tahan. Khawatir Kaisar murka dan terbitlah Surat Pemecatan. Medi pun berdehem menghilangkan rasa ingin tertawanya.
“Hm,” gumam Medi sambil mengusap dagunya. Sedangkan Kaisar sejak tadi hanya bersedekap. Jangan tanya raut wajahnya, terlihat garang bagai bapak kost saat menagih uang sewa kamar yang telat berbulan-bulan.
“Jadi, semalam kalian ….” Medi membuat isyarat dengan kedua tangannya seakan orang bercium4n. “Atau sudah lebih dari itu?”
“Apaan sih, ini semua gara-gara bapak. Kalau Pak Kaisar ditemani laki-laki nggak akan dinikahkan,” sentak Rumi.
“Oh belum berhasil ternyata. Ya sudah, kita temui Pak Djarot.”
Rumi dan Kaisar sudah berganti pakaian ganti yang dibawakan oleh Medi. Berniat pamit pulang, nyatanya Kaisar menyampaikan ide yang semalam sudah dipikirkan masak-masak.
Tidak peduli dengan pria yang berbicara sambil berbisik, Rumi menunggu di depan ruangan.
“Bodo amat mereka mau bahas apa. Sama-sama aneh dan tidak jelas,” keluh Rumi.
Djarot ditemani seorang pria sudah tiba, Rumi berdiri dan mengangguk saat dilewati oleh kedua pria itu.
Sedangkan di dalam ruangan, Kaisar dan Medi sempat saling sikut agar segera bicara. Pria bersama Djarot adalah Prapto, sangat kebetulan karena mereka berdua seakan satu paket untuk proses izin yang dibutuhkan oleh Iniland Property.
“Pak Djarot dan Pak Prapto mungkin masih ingat dengan saya, beberapa kali kita bertemu. Meskipun hasilnya selalu nihil,” tutur Medi. “Mas Kaisar ini atasan saya dari Jakarta, mungkin kemarin sudah menjelaskan kalau proyek yang akan dibangun itu murni untuk kepentingan masyarakat.”
Kaisar kembali menjelaskan persentase bunga bagi masyarakat yang mengambil unit dari rumah tersebut.
“Sangat berbeda jauh dengan properti komersil. Perusahaan kami juga membuat proyek yang memang sifatnya komersil, biasanya di pusat kota dan target konsumennya adalah menengah ke atas.”
Djarot dan Prapto saling tatap, kemudian Prapto mengangguk pelan.
“Bawa surat yang harus saya tanda tangani ke kantor desa besok pagi. Djarot akan memberikan surat rekomendasi dan kalian bisa mulai pembangunan dengan segera. Gunakan tenaga kerja dari daerah sini jangan drop dari luar, jadi sama-sama menguntungkan semua pihak.”
“Oh, gampang itu bisa diatur,” sahut Medi.
Kaisar menghela lega.
“Pernikahan kalian jangan main-main. Sampai kalian bercerai dalam waktu dekat, pembangunan itu akan saya buat berantakan,” ancam Djarot.
“Tidak akan,” ujar Kaisar tidak ingin ada perubahan keputusan.
Akhirnya mereka pamit dan meninggalkan tempat itu. Sampai di mobil yang terparkir agak jauh, Rumi menghentikan langkah kedua pria itu.
“Kita mau kemana?” tanyanya.
“Terserah kalian, mau ke kantor, pulang atau bulan madu. Saya siap mengantar,” jawab Medi lalu terkekeh kemudian tergelak.
“Pak Medi sudah bosan bekerja di Iniland,” ucap Kaisar karena gelak tawa pria itu.
“Bukan, dia sudah bosan hidup,” cetus Rumi lalu membuka pintu mobil dan naik.
Brak.
‘Astaga, galaknya.’ Kaisar membatin sambil mengusap dada.
“Jadi kita mau kemana Pak?” tanya Medi kali ini serius meski dengan wajah menahan tawa.