Terikat Janji Dalam Kegelapan
Hujan mengguyur deras, menyelimuti malam dengan gemuruh petir dan angin yang menderu. Kaivan, dengan tangan kokoh menggenggam kemudi, berusaha fokus meski jarak pandang terbatas oleh guyuran air yang menghantam kaca mobil. Wajahnya yang rupawan nyaris tak terlihat, tersembunyi di balik rambut gondrong dan brewok tebal yang basah oleh keringat dingin.
"Sialan... jalan ini bahkan lebih buruk dari yang kuduga," gumam Kaivan sambil mengatur napasnya yang berat. Ia melirik arlojinya sejenak sebelum kembali memusatkan perhatian pada jalan sempit di depan.
"Kenapa harus malam ini, sih?" gumamnya, berharap mencapai tujuan sebelum jalanan semakin tak bersahabat.
Namun, tiba-tiba, dari arah berlawanan muncul sebuah mobil dengan kecepatan tinggi, nyaris tak terkendali. Lampu depannya menusuk kegelapan, melesat lurus ke arah Kaivan.
"Apa-apaan ini?! HEY!! Sial! Pelankan, bodoh!" teriak Kaivan sembari membanting setir. Tapi terlambat.
"BRAKKKK!!!"
Tabrakan keras terjadi. Tubuh Kaivan terhempas ke arah kemudi. Mobilnya terguncang hebat sebelum terjun bebas ke sungai yang meluap, ditelan arus deras bercampur lumpur dan sampah.
Dari mobil yang menabrak Kaivan, seorang pria berwajah dingin keluar membawa payung hitam. Ia melihat ke arah sungai dimana mobil Kaivan terjatuh. Ia nampak menghubungi seseorang. "Bos, saya sudah menabraknya hingga ia dan mobilnya jatuh ke sungai. Saya rasa, dia tak akan selamat."
Sementara itu Kaivan tersadar beberapa detik kemudian. Air mulai membanjiri mobil. Kepanikannya memuncak.
"Tidak! Aku harus keluar dari sini!" gumamnya. Ia meraih sabuk pengaman yang tersangkut, menarik dengan sekuat tenaga hingga akhirnya terlepas.
Air kini telah mencapai dadanya. Ia mendorong pintu, tapi tak bergerak. Dengan sisa tenaga, Kaivan menghantam kaca mobil menggunakan siku. Satu hantaman, dua hantaman. Pada pukulan ketiga, kaca pecah. Air seketika menyerbu masuk, Kaivan berusaha menarik tubuhnya keluar.
"ASTAGA!!" seru Kaivan saat tubuhnya terseret arus yang deras. Ia berusaha berenang, tapi sungai ini bukan air biasa. Lumpur, dahan, bahkan sampah rumah tangga mengalir bersamanya.
Di tengah usahanya untuk bertahan, kilatan petir menyinari sebuah batang pohon besar yang hanyut ke arahnya.
"Tidak mungkin... pohon sebesar itu?! Sial! Aku harus pergi dari sini!" Kaivan meronta melawan arus. Air menghantam wajah dan tubuhnya, mengaburkan penglihatannya.
Pohon itu semakin dekat, berputar seperti raksasa yang tak terhentikan.
"Arghhh!! Tidak!!" Kaivan berteriak, memaksakan tubuhnya bergerak ke samping. Tapi arus terlalu kuat. Ia terseret lebih dekat ke arah batang pohon yang berputar.
Dengan panik, Kaivan meraih sesuatu, ranting kecil yang tersangkut di tebing sungai. Ia menarik tubuhnya, namun ranting itu rapuh.
"Jangan patah... jangan patah...!" desahnya putus asa.
Tepat saat ranting itu patah, batang pohon besar menghantam Kaivan. Ia terhempas ke dalam pusaran sungai, mati-matian berusaha menyelamatkan diri, hingga akhirnya kehilangan arah dan kesadaran. Suara air dan petir menjadi satu-satunya saksi perjuangannya.
***
Mentari bersinar cerah setelah semalam hujan deras disertai kilat dan petir. Airin, gadis tercantik di desanya, berjalan ke arah sungai dengan membawa ember kecil yang digenggam erat. Langkahnya ringan, menyusuri jalan setapak yang masih basah oleh sisa hujan semalam. Di pinggangnya tergantung jala kecil buatan tangan neneknya, alat sederhana yang sering ia gunakan untuk menangkap ikan kecil di tepi sungai.
Setibanya di sana, Airin melongok ke dalam air keruh yang mulai tenang. Arusnya tak lagi mengamuk seperti semalam, tetapi beberapa ranting dan daun masih hanyut terbawa. Airin meletakkan ember di tanah, menggulung ujung celana kulotnya agar tak basah, lalu turun ke pinggir sungai dengan hati-hati.
"Setelah hujan deras semalam, pasti banyak ikan kecil terperangkap di tepian," gumamnya sambil memeriksa akar-akar pohon yang menjulur ke sungai. Jemarinya yang lentik dengan cekatan menggerakkan jala kecil itu, mencoba menangkap ikan-ikan yang berenang lambat di sela-sela akar.
Sebuah senyum tipis terulas di wajahnya ketika seekor ikan kecil bersisik perak masuk ke dalam jalanya. "Ah, lumayan untuk sarapan," bisiknya senang. Airin memasukkan ikan itu ke dalam ember dan melanjutkan pencariannya.
Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. Matanya menangkap sesuatu yang tersangkut di akar besar tak jauh darinya. Bukan ikan, melainkan sesuatu yang lebih besar dan aneh, sesosok tubuh manusia.
Airin terpaku. "Apa itu?" gumamnya dengan suara hampir tak terdengar. Jantungnya berdegup kencang. Ia melangkah mundur, tetapi rasa ingin tahu dan sisi kemanusiaannya memaksa dirinya untuk tetap berdiri di tempat. Sambil menahan napas, ia memicingkan mata, mencoba memastikan bahwa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi akibat pantulan cahaya di air.
Airin mengusap matanya, memastikan apa yang dilihatnya bukan khayalan. Namun, bayangan itu tetap sama, sesosok tubuh pria yang tersangkut di akar besar tak jauh darinya. Wajahnya tertutup lumpur, dan tubuhnya setengah terendam air keruh. Jantung Airin berdebar kencang. Ketakutan menyelimutinya, tetapi ia tak bisa beranjak.
"Astaga... manusia?!" bisiknya dengan napas tercekat. Ia berdiri terpaku, matanya tak bisa berpaling dari sosok tersebut.
Ketika aliran sungai yang tenang memutar tubuh pria itu sedikit, Airin melihat ada luka di pelipisnya. Sosok itu tak bergerak, tetapi ada sesuatu yang mendorongnya untuk memastikan. "Apakah dia masih hidup? Ya Tuhan ... apa yang harus aku lakukan?" gumamnya lirih sambil menggigit bibir, mencoba menenangkan gemetar di tangannya. Ia memandang sekitar, berharap ada orang lain yang lewat, tetapi hutan di sekitarnya hanya diam. Suara gemericik air dan kicau burung terdengar seakan mengejek keberadaannya yang sendirian.
Dengan mengumpulkan keberanian, Airin melangkah mendekat. "Semoga dia masih hidup," bisiknya dengan doa yang ia panjatkan di dalam hati.
Airin menahan napas saat sampai di dekat sosok itu. Tangannya yang gemetar menyentuh bahu pria tersebut. "Hei... apa kau mendengarku?" panggilnya lirih. Tidak ada jawaban.
Ia mencoba menggoyangkan tubuh pria itu sedikit, lalu menempelkan dua jari di lehernya. Airin terkejut mendapati denyut nadi yang lemah tetapi ada. Matanya melebar, perasaan lega bercampur panik.
"Masih hidup!" Airin bergumam dengan suara bergetar. Ia berpikir sejenak, ia tak mungkin meninggalkan pria ini di sini untuk mencari bantuan. Bisa saja nanti pria ini terhanyut lagi saat ia tinggalkan. Airin menarik napas panjang, lalu menggigit bibirnya, menatap tubuh besar pria itu dengan ragu.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu di sini," gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Dengan tenaga dan keberanian yang ia miliki, Airin mulai menarik tubuh pria itu ke arah daratan, meski arus sungai sesekali menghalangi.
Airin berhasil menyeret tubuh pria itu ke tepi sungai. Napasnya tersengal, keringat bercucuran meski udara pagi masih dingin. Ia berlutut di sampingnya, menepuk pipi pria itu dengan lembut. "Hei... bangun, tolong sadarlah," katanya panik, berusaha tidak membiarkan rasa takut menguasainya.
Ia memeriksa pernapasan pria itu lagi. Masih ada, meski lemah. Airin mengusap wajahnya yang basah oleh lumpur, berharap tetesan air di kulitnya dapat sedikit menyegarkan. "Ayolah, kamu tidak boleh mati di sini!"
Perlahan, pria itu mulai menggeliat. Airin menahan napas, matanya melebar saat melihat kelopak mata pria itu berkedut. Kemudian, sepasang mata yang redup terbuka, meski pandangannya tampak kosong.
"Kamu sudah sadar? Bagaimana rasanya? Apa kamu terluka parah?" tanya Airin cepat, tubuhnya sedikit condong ke depan.
Pria itu mengerang pelan, mencoba mengangkat tangan, tetapi tubuhnya terlalu lemah. "Di mana aku?" gumamnya dengan suara serak, hampir tak terdengar.
"Kamu di pinggir sungai. Aku menemukanmu tersangkut di akar pohon. Kamu masih ingat apa yang terjadi?" tanya Airin sambil menggenggam tangan pria itu, mencoba memberinya rasa tenang.
Pria yang tak lain adalah Kaivan, yang baru sadar, meraba-raba udara dengan tangannya. Kepalanya bergerak, matanya terbuka lebar, tetapi tak memandang Airin. "Gelap... kenapa gelap sekali? Lampu... mana lampunya?"
"Lampu?"
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
sum mia
hadir kak Nana.... maaf kemarin menghilang dan gak nongol lagi . in syaa Allah akan terus lanjut hadir dan selalu menunggu up selanjutnya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
2024-11-28
5
abimasta
adakah yg mengingat kaivan anak siapa?
2024-11-28
1
Dwi Winarni Wina
Hadiiiiir dan nyimak kak Nara maaf ya baru mampir novelnya bagus bagus menarik....
2024-12-08
1