Bagaimana jika orang yang kamu cintai meninggalkan dirimu untuk selamanya?
Lalu dicintai oleh seseorang yang juga mengharapkan dirinya selama bertahun-tahun.
Akhirnya dia bersedia dinikahi oleh pria bernama Fairuz yang dengan menemani dan menerima dirinya yang tak bisa melupakan almarhum suaminya.
Tapi, seseorang yang baru saja hadir dalam keluarga almarhum suaminya itu malah merusak segalanya.
Hanya karena Adrian begitu mirip dengan almarhum suaminya itu dia jadi bimbang.
Dan yang paling tak di duga, pria itu berusaha untuk membatalkan pernikahan Hana dengan segala macam cara.
"Maaf, pernikahan ini di batalkan saja."
Jangan lupa baca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Sudah dua hari kepulangan Hana dari rumah sakit keadaannya sudah mulai membaik. Memar dan lecet di kakinya sudah mengering, pun dengan luka di keningnya.
Namun tidak dengan Jay, Pria bertubuh pendek itu masih demam tinggi tak mau makan. Sampai-sampai Mak Romlah mendatangkan seorang bidan desa untuk mengecek keadaannya.
"Kak Hana mau kemana?" tanya Ros, gadis itu baru keluar dari kamarnya dengan rambut basah khas selesai mandi, ia merasa heran melihat Hana sudah rapi.
"Akak nak tengok Abang Jay. Mak Cik Romlah Kate, Abang Jay masih demam. Kesian!"
"Ibu juga mau ke sana." Ibu yang akan berangkat ke perkebunan belakang rumahnya itu pun mengurungkan niatnya, melepaskan caping, penutup kepala terbuat dari bambu meletakkan di atas meja makan.
Sementara Ros hanya mengangguk sambil memilin ujung rambutnya yang basah, lalu membuang beberapa tetes air itu sembarangan.
"Kamu nggak ikut Ros?" Ibu berbalik menilik anak gadisnya yang tampak acuh saja.
"Enggak ah, emaknya itu kalau ngomong bikin Ros emosi. Mending gak usah nengokin daripada gak ikhlas." jawabnya.
"Tapi yang sakit ini Jay! Itu juga karena habis nganterin kalian berdua ke rumah sakit. Masak nggak di tengokin sama sekali." cecar ibu.
"Ya udah, Ros tengok dari luar rumah. Toh jendelanya bang Jay mengarah ke teras kan?" Rosa melangkah lebih dulu, lalu duduk di teras sudut rumahnya.
"Adik mu itu lho, kalau berantem selalu terdepan. Padahal udah besar, udah dewasa. Harusnya lebih sabar dan legowo."
Hana hanya tersenyum mendengar omelan sang ibu mertua. Tentu dia sudah hafal akan perangai sang adik. Kalau sudah marah, maka memaafkan adalah hal terberat baginya.
Hana meraih bingkisan yang ia rangkai sendiri, untuk di bawa ke rumah Mak Romlah sebagai buah tangan.
"Assalamualaikum Romlah." sang ibu mengucap salam lebih dulu, sebelum menginjakkan kakinya ke teras rumah Mak Romlah itu.
Perempuan bertubuh gempal itu kemudian keluar. Wajahnya tak ramah, ia mengangkat kedua alisnya dengan sinis, memandangi kedua orang yang baru datang.
"Assalamualaikum Mak Cik. Maafkan Hana datang menganggu. Hana nak ucapkan terimakasih dan maaf kepade Abang Jay yang sudah tolong Hana kemarin. Harap Mak Cik tak berkeberatan akan kedatangan kami."
Hana berkata dengan lembut dan sopan sambil memperlihatkan bingkisan yang sudah di tata rapi itu kepada pemilik rumah. Tangan kecilnya menyerahkan dengan pelan.
Wajah Mak Romlah yang tadi berkabut kesal dan enggan menerima, mendadak berubah cerah. Selain ucapan Hana yang terdengar halus, bingkisan yang di balut plastik bening itu juga tampak menggiurkan. Ada bermacam-macam roti kering, kue, buah dan susu di dalamnya. Mak Romlah segera mempersilahkan mereka berdua masuk.
"Tidak keberatan lah, ayo mari masuk!" ajaknya, membuka pintu lebar-lebar.
"Di terima ye Mak Cik, Hana tak pandai buat kue, jadilah Hana belikan kat kedai, Mane tahu Abang Jay dan Mak Cik suke." Hana memberikan dengan sopan.
"Terimakasih Hana, harusnya tidak perlu repot-repot." ucapnya segera meraih bingkisan yang lumayan banyak isinya dengan tersenyum senang.
Keduanya di bawa Mak Romlah ke ruang tengah, dimana Jay sedang duduk menyandar, dan ternyata dia tidak sendiri, ada seorang teman sesama supir angkot sedang bertamu.
"Kak Hana!" Jay terkejut, namun juga senang. Ia membenahi duduknya.
"Maaf, Hana baru sempatkan tengok Abang." Hana menangkup tangan di dada, tersenyum kepada dua orang di hadapannya.
"Nggak pa-pa. Abang malah khawatir kamu yang masih belum sembuh." jawabnya tersipu malu.
"Alhamdulillah udah sembuh Jay. Makasih ya, udah bantuin Hana dan Ros." sahut ibu, di balas senyum lebar oleh Jay.
Sementara teman Jay yang bertubuh kekar dan berkulit hitam manis itu nampak menganga memandangi Hana yang anggun dan cantik.
"Agam! Ini Kak Hana yang baru saja awak ceritakan." kata Jay, berbicara dengan temannya yang berdarah Medan itu.
"I... Iya Jay." Agam mengulurkan tangan, namun Hana hanya menangkup tangannya di dada seperti tadi.
"Alamak! Mimpi apa aku semalam. Tiba-tiba mendapat senyuman dari bidadari."
Hana dan ibu mertuanya hanya menahan senyum.
"Jangan berani-berani Kau! Tak ingat kah apa yang baru saja aku ceritakan?" Jay menyikut lengan kekar Agam.
"Ingat lah." sahut pria asal Medan itu, tersenyum sopan kepada Hana dan ibunya.
Tak lebih dan tidak kurang, lima belas menit kemudian keduanya berpamitan, tidak ingin menganggu Jay dan emak Romlah yang tidak tahu bagaimana isi hatinya, sejak tadi perempuan itu seperti enggan bicara.
"Gimana keadaan Bang Jay?" tanya Rosa. Mengayunkan kakinya yang menggantung di pagar pembatas antara rumahnya dan rumah Jay.
"Udah baikan kok, tinggal pucetnya doang." sahut ibunya. Langsung berlalu masuk ke dalam.
"Baguslah!" Ros berkata acuh.
"Huh... Pekare tak siage, batal lah rencana kite nak ambik kendaraan." Hana mendesah, duduk di kursi kayu, tak jauh dari Rosa. Ia memegangi luka di keningnya. Kasar dan masih belum kering sempurna.
Rosa memiringkan kepalanya sedikit, lalu menilik wajah sang kakak ipar yang cantik, walaupun luka di keningnya terlihat menganggu.
"Mending besok kak Hana periksa lagi ke rumah sakit. Sekalian nanti pulangnya beli mobil."
Hana menoleh adiknya, tampak berpikir sejenak. "Akak dah sembuh lah." jawabnya.
"Yang sembuh itu kan luarnya, gak tahu kan di dalamnya itu kayak masih basah, bonyok-bonyok begitu." ucapnya, menunjuk luka Hana. Spontan Hana pun meraba keningnya, merasai apakah benar demikian.
"Benangnya itu kok ada yang menjulur keluar?" tanya Rosa memprovokasi kakak iparnya lagi.
"Jangan buat akak takut lah.Tak Ade nyeri, tak Ade sakit. Cuma, sedikit gatal. Luke dah nak sembuh kan biase, kulit mengering perlahan." Hana menyangkal.
"Sebaiknya memang di periksa kak! Luka di kepala itu harus benar-benar di pastikan. Soalnya ini di atas mata kita banyak syaraf-syaraf penting!" ujar Ros lagi.
"Ye lah-ye lah, esok kite pegi." Hana pun menyerah. Berdebat dengan Rosa pun tak kan ada gunanya. Tak akan menang.
"Kak Hana sendiri lah. Ros ada janji sama seseorang." ucapnya dengan senyum-senyum aneh di wajahnya.
"Siape?" Hana menatapnya curiga. Hingga menyipitkan mata.
"Ada lah! Mau tahu aja." Rosa meninggalkan sang kakak ipar yang tak habis penasaran.
"Ustadz Yusuf ke?" Hana bergumam sendiri, lalu menggeleng. "Tak yakin." ucapnya lagi.
Hingga ke esokan harinya.
Dengan ragu Hana akan pergi seorang diri ke rumah sakit, susah payah ia membujuk Rosa, namun gadis itu kukuh untuk tidak ikut. Hana terheran-heran dengan adik iparnya tersebut, itu sungguh tidak biasa.
"Yakin tak nak ikut? Akak nak pergi belanje ni?" Hana merayunya lagi.
"Nggak ah." jawabnya enteng. Gadis itu berdiri dengan senyum manis di wajahnya mengantar Hana di depan rumah.
"Tak jadi lah. Akak merasa dah baik ni." Hana ingin kembali masuk kedalam namun Rosa mencegahnya.
"Kalau terjadi sesuatu, Ros tidak akan mau tanggung jawab." ucap Rosa dengan nada menggeram, terdengar menyeramkan.
Akhirnya Hana pasrah pergi seorang diri, walaupun sudah beberapa kali, namun entah kali ini rasanya aneh sekali. "Malasnye." gumam Hana ketika sudah ada di dalam mobil. Dia duduk dengan gelisah.
Berkali-kali ia memikirkan rasa gugup dalam perjalannya ini, dia pun bingung. Hingga akhirnya ia terdiam teringat akan sesuatu.
Seseorang yang akan dia temui lah sebenarnya membuatnya gelisah. "Awak tak tau, harus senang ataukah sedih?"
💞💞💞💞
#quoteoftheday..