Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari-hari Yang Berat, Pernikahan Salma
Sore itu, aku pulang dengan wajah murung. Saat motorku melaju memasuki halaman rumah, aku melihat ibuku sudah menunggu di depan pintu. Begitu aku turun dari motor, ia langsung menghampiriku dengan penuh semangat.
“Kamu ke mana saja? Kok baru pulang? Bagaimana lamaranmu ke Salma, berhasil? Ibu sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat ke rumah Salma,” ucap Ibu dengan antusias.
Aku memang sudah bercerita pada Ibu tentang rencanaku melamar Salma beberapa hari sebelumnya. Rencananya, aku akan datang bersama Ibu untuk melamar Salma secara resmi ke orang tuanya setelah mendapatkan jawabannya. Namun, kini semua rencana itu tinggal kenangan yang tak mungkin terwujud.
“Salma sudah dilamar oleh pria lain, Bu,” ucapku lirih, menahan tangis.
“Yang benar kamu?” tanya Ibu terkejut.
Aku hanya mengangguk pelan, tak mampu berkata apa-apa. Melihat wajahku yang penuh kesedihan, Ibu langsung memelukku erat.
“Yang sabar, ya, Nak,” ucap Ibu sambil menangis bersamaku.
Dalam pelukan Ibu, aku tak lagi mampu menahan air mataku. Semua kesedihan yang sejak tadi kutahan kini tumpah. Aku menangis sesenggukan, seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Sore itu, aku habiskan waktu menangis di pelukan Ibu, mencoba menerima kenyataan pahit yang harus kuhadapi.
Seminggu berlalu setelah perpisahanku dengan Salma. Hari-hariku terasa hampa. Meski aku tahu keputusan ini adalah yang terbaik, hatiku tetap saja berat menerima kenyataan. Kabar tentang rencana pernikahannya sudah sampai ke telingaku. Namun tetap saja, ketika Ibu memberikan undangan berwarna emas, perasaan sakit itu kembali menyeruak.
Perlahan, kubuka undangan itu. Nama Salma tertulis di sana, bersanding dengan nama Afif, lelaki yang kini menjadi pilihannya. Hatiku remuk. Perasaan ikhlas, kecewa, dan kehilangan bercampur menjadi satu.
“Kalau kamu nggak mau datang, nggak apa-apa. Jangan maksain diri. Takutnya nanti kamu nggak akan kuat ngelihat Salma bersanding sama pria lain,” ucap Ibu menatapku penuh simpati.
“Iya, Bu. Aku juga nggak tahu bakal datang atau nggak,” jawabku sambil meletakkan undangan itu di meja.
Hari-hari berikutnya, pikiranku terus dibebani oleh pertanyaan: haruskah aku datang ke pernikahannya? Di satu sisi, aku merasa tak sanggup melihatnya bahagia dengan orang lain. Namun, di sisi lain, menghadiri pernikahannya mungkin cara terbaik untuk menutup lembaran lama. Melihat Salma bahagia di pelaminan bisa menjadi pukulan terakhir yang membuatku menerima kenyataan sepenuhnya.
Akhirnya, di hari pernikahan itu, aku menguatkan hati. Dengan mengenakan pakaian terbaik, aku melangkahkan kaki menuju gedung tempat acara berlangsung. Setiap langkah terasa berat, seolah ada beban yang menahanku. Saat tiba di ruangan, mataku langsung mencari sosok Salma. Ia berdiri di pelaminan, mengenakan gaun putih yang membuatnya terlihat begitu anggun. Di sampingnya, Afif tersenyum bangga, menggenggam tangannya erat. Mereka tampak sangat serasi.
Dengan senyum yang kupaksakan, aku menghampiri mereka. “Selamat, Salma,” ucapku pelan, suaraku sedikit bergetar.
“Terima kasih sudah mau datang di pernikahanku,” jawabnya dengan senyum lembut.
Mata kami bertemu sebentar. Aku melihat matanya yang mulai memerah. Setetes air mata jatuh perlahan membasahi pipinya. Ingin rasanya aku menghapus air matanya, tapi aku tersadar bahwa aku tak lagi memiliki hak untuk melakukannya. Dengan hati yang remuk, aku berjalan ke samping dan menyalami Afif.
“Selamat, semoga kalian bahagia,” ucapku singkat. Namun, di dalam hati, aku menahan rasa marah. Aku membencinya karena telah merebut Salma dariku. Tapi aku tahu, aku tak boleh menunjukkan itu.
Di tengah acara, aku bertemu dengan banyak teman lama, termasuk teman-teman Salma. Kami berbincang sebentar, meski pikiranku masih tertuju pada Salma yang beberapa kali terlihat mengusap air mata dengan tisu di tangannya. Saat aku sedang berbincang, tiba-tiba aku merasakan tangan seseorang menarikku dari belakang. Itu ayah Salma.
“Sebaiknya kamu pergi dari sini! Sebelum pernikahan anakku hancur gara-gara kamu,” ujarnya dengan nada penuh amarah.
“Apa maksud Bapak? Saya datang hanya karena memenuhi undangan, sebagai seorang teman. Itu saja. Tidak ada niat buruk sama sekali,” jawabku mencoba menahan diri.
“Sudahlah, jangan banyak alasan. Pergi saja kamu dari sini!” katanya sambil menyeretku ke luar gedung.
Sesampainya di luar, ia mendorongku hingga aku jatuh tersungkur. Aku menatapnya tajam. Ingin rasanya aku melawan, tapi aku menahan diri.
“Apa? Kamu mau menantang saya? Berani sekali kamu! Untung saja anakku tidak menikah dengan seorang berandalan seperti kamu,” ucapnya penuh hinaan.
“Tolong jaga ucapan Bapak. Saya masih menghormati Bapak sebagai orang yang lebih tua. Jangan buat saya kehilangan respect,” balasku, menahan amarah.
“Pergi kamu! Dasar tidak sopan!” bentaknya sambil menyuruhku untuk pergi.
“Aku akan pergi dari sini! Tapi cara Bapak mengusir saya dengan cara hina seperti ini sangat tidak dapat saya terima,” ujarku dengan perasaan penuh amarah.
“Terus, kamu mau apa? Orang miskin kayak kamu memang pantas diperlakukan hina seperti ini,” ucapnya semakin menyolot.
“Saya memang miskin. Tapi setidaknya saya tahu bagaimana caranya untuk menghargai seseorang. Tidak seperti Bapak, yang bisanya hanya merendahkan orang lain,” ucapku sambil meludah di hadapannya.
Ayah Salma yang sudah sangat emosi langsung berlari ke arahku lalu memukul wajahku dengan keras. Aku yang juga sudah terbawa emosi hendak membalasnya. Tapi dua satpam tiba-tiba datang dan memisahkan kami. Aku mencoba memberontak dan melepaskan diri, namun tetap tidak bisa. Hingga akhirnya aku mulai pasrah dalam dekapan satpam yang mendekapku dari belakang.
“Sudah! Jangan ribut di sini! Mas, lebih baik pergi dari sini,” kata salah satu satpam padaku.
Aku pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan terhina dan penuh amarah. Di perjalanan pulang, aku menyesali keputusanku untuk datang ke acara itu. Mungkin, seharusnya aku tetap berada di rumah, menyimpan rasa sakit ini sendiri, tanpa perlu menambah luka. Aku hanya bersyukur kejadian itu tidak dilihat oleh Salma. Jika Salma melihat kejadian itu, dia pasti akan membenciku.
Namun, di tengah perjalanan, aku mulai menyadari sesuatu. Pertemuan terakhir ini adalah cara Tuhan menunjukkan bahwa aku dan Salma memang tak ditakdirkan bersama. Aku harus mulai melangkah maju, menerima kenyataan, dan membuka hati untuk kehidupan yang baru.
Hari-hari berikutnya, aku berjanji akan berusaha keras untuk bangkit. Aku ingin mengisi waktuku dengan pekerjaan dan kegiatan yang selama ini kuabaikan. Meski rasa sakit itu belum sepenuhnya hilang, aku tahu bahwa waktu akan menjadi obat terbaik. Pelan-pelan, aku akan belajar menerima bahwa Salma adalah bagian dari masa laluku, bukan masa depanku.
Mungkin, suatu saat nanti, aku akan menemukan seseorang yang benar-benar ditakdirkan untukku. Seseorang yang bisa membuatku melupakan Salma sepenuhnya. Hingga saat itu tiba, aku akan terus berjalan, melangkah maju, meninggalkan semua kenangan pahit di belakangku.