Berawal dari kesalahan yang Faiz Narendra lakukan di masa lalu, membuat hidup Keluarga Narendra terancam bahaya.
Berbagai teror, dan rentetan penyerangan dilakukan secara diam-diam, oleh pelaku misterius yang menaruh dendam kepadanya.
Namun bukan hanya pelaku misterius yang berusaha menghancurkan Keluarga Narendra.
Konflik perebutan pewaris keluarga, yang dilakukan oleh putra sulungnya, Devan Faiz Narendra, yang ingin menjadikan dia satu-satunya pewaris, meski ia harus membunuh Elvano Faiz Narendra, adik kandungnya sendiri.
Sedangkan Elvano yang mulai diam-diam menyelidiki siapa orang yang meneror keluarganya. Tidak sengaja dipertemukan, dengan gadis cantik bernama, Clarisa Zahra Amanda yang berasal dari keluarga sederhana, dan kurang kasih sayang dari ayahnya selama hidupnya.
Ayah Clarisa, Ferdi tidak pernah menyukai Clarisa sejak kecil, hanya karena Clarisa terlahir sebagai anak perempuan. Ferdi lebih menginginkan bayi laki-laki untuk meneruskan keturunannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laksamana_Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
"Kak Devan" ucap Elvano yang melihat kakak kandungnya Devan Faiz Narendra, yang tiba-tiba datang dan melakukan protes tidak setuju, jika Elvano ikut bergabung di perusahaan Narendra Grup
"Ayah, Devan tidak setuju jika Elvano ikut bergabung di perusahaan ini" protes Devan.
"Mengapa kamu tidak setuju?" tanya Faiz bingung.
"Karena dia masih muda ayah, dan kau bocah, bukannya kamu hari ini kuliah hah?" tanya Devan menatap tajam Elvano.
"Kak, aku ingin belajar mengurus perusahaan Narendra Grup. Aku ingin ikut membantu membesarkan bisnis keluarga kita" balas Elvano
"Elvano, kamu masih terlalu muda untuk terlibat dalam urusan bisnis yang serius. Lebih baik fokus kuliah dulu dan belajar ilmu yang memadai"ujar Devan
"Tapi kak, aku yakin aku bisa melakukannya. Aku ingin belajar dari bawah, mengetahui bagaimana mengelola perusahaan dengan baik" ujar Elvano bersungguh-sungguh.
"Aku tidak ingin hanya jadi pewaris, tapi juga menjadi pemimpin yang mampu menjalankan perusahaan dengan baik" lanjutnya
"Tapi Elvano, bisnis bukanlah hal yang mudah. Aku sudah menjalankan perusahaan ini selama bertahun-tahun, dan aku tahu betapa sulitnya menjaga perusahaan tetap stabil" ucap Devan.
"Aku mengerti kak, tapi aku ingin membuktikan kemampuanku. Aku ingin membantu mengembangkan bisnis kita dan membuat nama keluarga kita semakin besar di dunia bisnis" jawab Elvano yang masih bersikukuh keras.
"Yak, kamu tidak mengerti. Bisnis tidak hanya soal membuat nama, tapi juga soal tanggung jawab. Aku tidak ingin kamu terlalu terbebani dengan semua ini. Lebih baik fokus pada pendidikanmu dulu" ujar Devan.
"Tapi aku..."
"Sudah, Elvano. Aku tidak bisa terus mendengarkan ini. Kalau kamu tetap bersikeras pada keputusanmu, lebih baik kamu pergi dari sini" usir Devan.
"Devan, apa-apaan kamu ini mengusir adikmu didepan ayah" ucap Faiz emosi.
"Maaf ayah, tapi ini yang terbaik" jawab Devan.
"Kak, kamu tidak serius kan?" tanya Elvano merasa tidak percaya.
"Hmm, aku serius Elvano. Aku tidak ingin kamu terlalu terpengaruh dengan keinginanmu sendiri. Aku tahu kamu masih muda dan belum siap untuk menghadapi tekanan bisnis yang sebenarnya" balas Devan menatap dingin Elvano
"Oke kak, kalau itu keputusanmu. Aku akan pergi dari sini" ucap Elvano.
Elvano pun pergi dari rumah mereka dengan hati yang pahit. Ia merasa kecewa dengan sikap kakaknya yang tidak mendukung keinginannya.
Namun, dia tetap bersikeras untuk belajar mengurus perusahaan Narendra Grup meskipun harus melawan kakaknya sendiri.
**************
Ferdi berjalan pulang kerumah sambil megerutu kesal, langkah kakinya berat seperti dituntun oleh amarah yang menyala-nyala di hatinya.
Hari ini, segala sesuatu terasa begitu berat dan menyebalkan baginya. Ia baru saja habis kena omel oleh bosnya yang kasar dan angkuh.
Dengan wajah yang memerah oleh kemarahan, Ferdi memasuki rumahnya dengan langkah yang berat. Tanpa ragu, ia menendang pintu rumahnya dengan keras.
Bruak
"Astagfirullah" kaget Wulan, istri Ferdi yang sedang memasak di dapur.
Ia segera mematikan kompor, dan terburu-buru menuju ruang tamu, yang dimana ada suaminya yang sedang duduk dengan raut muka kesal, sembari memijat pelipisnya.
"Mas?" panggil Wulan berjalan mendekati Ferdi, dan berganti tangan Wulan yang memijat pelipis Ferdi dengan lembut.
"Hmm" gumam Ferdi memejamkan mata, merasakan sensasi pijatan istrinya yang cukup mengurangi rasa sakit kepalanya.
"Mas, kenapa kok pulang-pulang marah begitu? Apa ada masalah?" tanya Wulan dengan lembut dan berhati-hati, karena ia tau kalau suaminya tempramental.
"Gak ada" balas cuek Ferdi, membuat Wulan menghela nafas ,dan tidak ingin bertanya lebih lanjut.
Dirinya hanya fokus memijat pelipis dan pundak suaminya, sambil berpikir mungkin saja suaminya lelah bekerja seharian.
"Sudah cukup, aku mau makan" ucap Ferdi bangun, berjalan menuju meja makan.
"Bentar aku siapin" ujar Wulan bergegas menyiapkan semua makanan di meja.
"Cuma ini?" tanya Ferdi ketika melihat piring makanan yang cuma ada nasi, sayur lodeh, tahu dan tempe.
"Maaf mas cuma ada ini saja" jawab Wulan. Ferdi yang marah mendengar jawaban istrinya, membalikan kasar meja makan, dan membuat piring-piring dan gelas berjatuhan.
Pranggg
"Astagfirullah" kaget Wulan menutup telinganya.
"Udah aku bilang, aku gak suka makanan kayak gitu" kesal Ferdi.
"Maaf mas, tapi uang belanja yang mas kasih sudah habis, dan cuma itu yang bisa aku beli dan masak" ujar Wulan merasa takut melihat raut marah suaminya.
"Ck, dasar istri nyusahin, bisanya cuma minta-minta. Kamu gak tau apa aku capek seharian kerja, dan kamu seenaknya minta-minta uang aku hah!" marah Ferdi.
"Uang kamu? Kamu bilang uang kamu mas? Gak salah? Itu nafkah yang harus kamu kasih ke aku. Uang suami uang istri juga, lagi uang itu untuk keluarga kita juga kan mas? Biaya sehari-hari dan sekolah anak kita." Ujar Wulan membuat Ferdi....
Plakk
"Argh" ringis Wulan ketika pipinya di tampar Ferdi.
"Diam gak usah banyak protes!" geram Ferdi menujuk wajah istrinya.
"Makanya jadi istri jangan cuma berleha-leha di rumah, main handphone dan goyang-goyang gak jelas. Kerja sana biar tau rasanya capek kerja seharian!" lanjutnya dan meninggalkan dapur sembari menendang kursi di sampingnya
Bruak
Wulan menutup matanya, hatinya terasa hancur. Ia tidak pernah mengharapkan perlakuan buruk seperti ini dari suaminya. Mereka telah menikah selama 19 tahun dan semakin hari semakin jauh dan terpisah.
Ferdi yang dulu pernah ia cintai, kini menjadi sosok yang kasar dan tidak memperhatikan perasaannya.
Sambil menahan tangis, Wulan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya yang basah oleh air mata. Ia mencoba menguatkan hati dan memikirkan bagaimana cara mengatasi masalah ini.
Apa yang salah dengan pernikahan mereka? Apakah semua ini adalah kesalahannya? Pikiran Wulan terbang jauh ke masa lalu, di mana segalanya tampak begitu indah dan damai.
Ferdi adalah pria yang penyayang dan perhatian, mereka saling mendukung dan menghargai satu sama lain. Namun, ketika mereka memiliki anak pertama, semuanya berubah.
Anak pertama mereka adalah seorang gadis kecil yang cantik dan manis. Namun, Ferdi merasa kecewa karena ia selalu menginginkan seorang anak laki-laki untuk meneruskan nama keluarganya.
Hal ini membuatnya merasa kecewa dan kesal, sehingga ia mulai menjauhi Wulan dan anaknya. Semenjak saat itu, Ferdi mulai sibuk dengan pekerjaannya dan sering pulang larut malam.
Tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah terabaikan, sehingga Wulan merasa kesepian dan terlantar.
Meskipun mencoba memahami kondisi suaminya, Ferdi semakin hari semakin egois dan melupakan keluarganya.
Di sisi lain, Wulan harus berjuang untuk mengatur keuangan keluarga sendirian. Uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan anak dan keluarga, Ferdi gunakan untuk kebutuhan pribadinya. Ia seringkali berpesta dan berjudi, bahkan menyawer biduan dangdut di tempat hiburan malam.
"Ayah, ampun yah, jangan!!" teriak seorang gadis yang menangis membuat Wulan yang sedang melamun terkejut, dan segera menghampiri asal suara gadis tersebut.
Saat sampai disana Wulan terkejut ketika melihat Ferdi sedang...
gak bisa berkata kata banyak