Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Sepulang kerja, Rose berdiri di depan lemari pakaian kecilnya, menatap kosong ke arah deretan pakaian yang menggantung di sana. Ia memegang sebuah gaun sederhana berwarna biru pastel, lalu meletakkannya kembali. Di sebelahnya, ada gaun hitam klasik yang mungkin terlalu formal. Di sisi lain, ia tidak ingin terlihat terlalu santai. Pikirannya penuh kebingungan.
“Kenapa aku menerima undangan ini?” gumamnya sambil menarik napas dalam.
Rose tahu Dylan adalah sosok penting di perusahaan, tapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa acara makan malam keluarganya akan melibatkan banyak tamu penting. Tadi siang, Dylan dengan santai menyebut bahwa makan malam itu juga menjadi ajang pertemuan bisnis kecil, dengan beberapa rekanan keluarga Eleanor yang turut hadir. Rose langsung merasa gugup.
Merasa tak punya pilihan, ia akhirnya menghubungi teman lamanya, Clara, yang bekerja sebagai penata gaya. Tak lama kemudian, Clara muncul di apartemen Rose dengan membawa koper besar penuh pilihan pakaian.
“Jadi, kau diundang ke acara makan malam keluarga bosmu? Wow, ini menarik!” Clara terkekeh sambil mengeluarkan beberapa gaun elegan dari kopernya.
“Jangan membuatku semakin gugup, Clara,” keluh Rose. “Aku sudah cukup panik.”
Clara menepuk bahunya dengan senyum lembut. “Tenang saja, aku akan memastikan kau tampil sempurna. Kalau acara itu formal, aku punya gaun ini.” Ia mengangkat sebuah gaun panjang berwarna merah anggur dengan potongan sederhana tapi anggun. “Atau ini, gaun hitam tanpa lengan dengan aksen mutiara.”
Rose menatap gaun-gaun itu, ragu-ragu. “Aku tidak mau terlihat mencolok. Tapi aku juga tidak ingin terlihat terlalu sederhana.”
Clara tersenyum penuh pengertian. “Kalau begitu, ini pilihannya.” Ia mengeluarkan gaun berwarna biru dongker dengan potongan A-line, dihiasi renda halus di bagian leher dan lengan panjang transparan. Gaun itu terlihat sederhana, tapi tetap elegan.
Rose mengangguk, akhirnya merasa yakin. “Kurasa ini yang paling cocok. Terima kasih, Clara.”
Setelah bersiap, Rose berdiri di depan cermin, merasa sedikit lebih percaya diri. Rambutnya disanggul sederhana dengan beberapa helai dibiarkan tergerai, dan riasan tipis di wajahnya memberikan kesan natural. Ketika ia melihat pantulan dirinya, ia tidak bisa menahan senyum kecil.
Malam itu, Dylan datang menjemput Rose. Ketika ia melihat Rose keluar dari apartemennya, Dylan terdiam sejenak. Matanya menelusuri sosok Rose, lalu ia tersenyum hangat.
“Kau terlihat cantik,” ujar Dylan singkat, tapi tulus.
Rose merasa wajahnya memerah. “Terima kasih. Anda juga tampak… rapi,” balasnya, mencoba mengalihkan rasa malunya. Dylan mengenakan setelan jas hitam dengan dasi berwarna biru senada dengan gaun Rose.
Perjalanan menuju tempat makan malam cukup hening. Rose merasa canggung, tapi Dylan mencoba mencairkan suasana dengan beberapa percakapan ringan. Setibanya di rumah besar keluarga Dylan, Rose merasa takjub. Bangunan megah dengan lampu kristal yang menyala terang di dalamnya membuatnya merasa seperti memasuki dunia lain.
Saat mereka melangkah masuk, Rose segera menyadari bahwa ini bukan sekadar makan malam keluarga biasa. Ruangan itu dipenuhi tamu berpakaian formal, sebagian besar tampak seperti tokoh penting. Ia bahkan mengenali beberapa wajah yang pernah ia lihat di berita bisnis. Rasa gugupnya kembali menyerang.
“Dylan, kau akhirnya datang!” Ny. Eleanor muncul dengan senyuman lebar. “Dan ini Rose, ya? Oh, kau tampak luar biasa, sayang. Aku tahu kau akan cocok untuk acara ini.”
Rose tersenyum sopan, meskipun hatinya ingin melarikan diri. “Terima kasih, Bu Eleanor.”
Ny. Eleanor merangkul Rose dengan lembut. “Ayo, ikut aku. Ada beberapa orang yang ingin aku perkenalkan padamu.”
Rose melirik Dylan dengan sedikit panik, tapi Dylan hanya mengangguk, memberinya kepercayaan diri untuk mengikuti ibunya. Sepanjang malam, Rose berusaha bersikap tenang meskipun ia merasa seperti ikan kecil di tengah kolam besar. Ia bertemu banyak orang yang berbicara tentang bisnis, politik, dan budaya, topik yang jauh dari kesehariannya. Namun, setiap kali ia merasa kewalahan, Dylan selalu ada di dekatnya, memberikan senyuman menenangkan atau menyelipkan komentar ringan untuk membantunya merasa lebih nyaman.
Di akhir malam, saat tamu mulai berpamitan, Ny. Eleanor menghampiri Rose lagi. “Kau menangani malam ini dengan sangat baik, Rose. Aku bisa melihat kau bukan hanya seorang pekerja keras, tapi juga punya keberanian. Dylan beruntung punya seseorang sepertimu di dekatnya.”
Rose tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata Ny. Eleanor membuat hatinya berdebar, tapi ia tidak yakin apakah itu pujian biasa atau sesuatu yang lebih.
Saat Dylan mengantarnya pulang, ia berkata dengan nada lembut, “Rose, terima kasih sudah datang malam ini. Aku tahu ini bukan hal yang mudah bagimu.”
Rose tersenyum kecil. “Saya harus berterima kasih pada Anda. Kalau bukan karena Anda, saya mungkin sudah lari dari acara tadi.”
Dylan tertawa kecil. “Kau hebat, Rose. Lebih dari yang kau sadari.”
Kata-katanya menggantung di udara, meninggalkan Rose dengan perasaan hangat sekaligus kebingungan. Mungkinkah perhatian Dylan padanya bukan sekadar basa-basi? Atau mungkin, ia hanya terlalu banyak berharap?
***
Setelah malam makan malam itu, Rose menjadi bahan pembicaraan di keluarga besar Dylan. Keesokan harinya, Dylan mendapat beberapa pesan dari bibinya, sepupunya, dan bahkan beberapa kolega keluarga yang hadir di acara tersebut. Semua memuji Rose.
"Rose benar-benar anggun. Dia pintar membawa diri, Dylan. Kau beruntung," tulis salah satu bibinya.
"Dia jauh lebih ramah dan menyenangkan dibandingkan dengan orang-orang yang biasanya kau bawa ke acara keluarga," tambah sepupunya.
Dylan membaca pesan-pesan itu dengan ekspresi yang sulit ditebak. Alih-alih merasa bangga, ada rasa tidak nyaman yang merayap di hatinya. Ia tahu Rose tidak meminta perhatian sebesar itu, tapi melihat bagaimana semua orang begitu terkesan padanya membuat Dylan merasa seolah kehilangan kendali atas situasi.
Di sisi lain, Rose menjalani harinya di kantor seperti biasa, meski ia tidak bisa mengabaikan bahwa beberapa rekan kerja mulai membicarakannya secara diam-diam. Malam sebelumnya, salah satu tamu undangan yang bekerja di bidang media bisnis mengunggah foto Rose dan Dylan di acara itu. Foto itu viral di lingkaran kecil kantor, memunculkan berbagai spekulasi.
“Rose,” panggil Dylan dari pintu ruangannya. Suaranya terdengar lebih tegas dari biasanya.
Rose mengangkat kepala dari layar komputernya. “Ya, Pak?”
“Bisa ke ruanganku sebentar?”
Rose segera bangkit dan mengikuti Dylan. Begitu pintu tertutup, Dylan langsung menatapnya dengan ekspresi serius.
“Bagaimana menurutmu soal makan malam kemarin?” tanyanya, tanpa basa-basi.
Rose merasa pertanyaannya agak aneh, tapi ia tetap menjawab dengan jujur. “Itu cukup menegangkan, tapi saya bersyukur semuanya berjalan lancar. Keluarga Anda sangat ramah.”
Dylan mengangguk, meskipun wajahnya masih tampak kaku. “Kau tahu, mereka sangat terkesan padamu.”
Rose tersenyum kecil. “Benarkah? Itu hal yang baik, bukan?”
Namun, Dylan justru menghela napas berat, membungkukkan tubuhnya sedikit ke depan, kedua tangannya menopang meja. “Masalahnya, Rose, ini bukan hal yang sederhana. Keluargaku suka berekspektasi terlalu banyak. Sekarang, mereka akan berpikir bahwa kau adalah… seseorang yang lebih dari sekadar karyawan.”
Rose tertegun. “Saya tidak mengerti, Pak. Apa saya melakukan sesuatu yang salah?”
Dylan menggeleng cepat. “Bukan itu maksudku. Kau tidak salah. Hanya saja… Aku tidak ingin mereka memaksakan sesuatu padamu.”
Rose menatap Dylan dalam-dalam, mencoba membaca pikirannya. “Saya rasa itu tidak akan menjadi masalah jika Anda menjelaskan bahwa saya hanya karyawan Anda.”
Dylan terdiam sesaat, lalu menatap Rose dengan mata yang lebih lembut. “Itulah masalahnya, Rose. Mereka sudah membentuk opini, dan sekali itu terjadi, sulit mengubahnya. Aku tidak ingin kau merasa terbebani.”
Rose mengangguk perlahan, meskipun ada sesuatu di dalam dirinya yang tidak bisa ia pahami sepenuhnya. “Saya akan berusaha menjelaskan posisi saya jika diperlukan. Tapi terima kasih sudah memikirkan kenyamanan saya, Pak Dylan.”
Percakapan itu selesai, tapi pikiran Dylan terus bergulat sepanjang hari. Di satu sisi, ia merasa kesal karena keluarganya terlalu cepat menilai, tapi di sisi lain, ia tidak bisa menyangkal bahwa perhatian yang diberikan Rose di acara itu membuatnya merasa lebih berarti.
Malam harinya, Dylan mendapat telepon dari ibunya, Eleanor.
“Dylan, aku tahu kau selalu ingin menjaga jarak dari urusan keluarga. Tapi aku ingin kau berpikir ulang soal Rose,” kata ibunya dengan suara lembut.
“Bu, Rose hanya karyawan,” jawab Dylan cepat.
Eleanor tertawa kecil. “Kau yakin itu? Dylan, kau terlihat berbeda saat bersamanya. Aku mengenalmu lebih baik dari siapa pun. Mungkin ini saatnya kau berhenti menutup diri.”
Dylan tidak langsung menjawab. Kata-kata ibunya bergema di kepalanya, tapi ia masih enggan mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.
Sementara itu, Rose, yang tidak tahu apa-apa soal percakapan itu, mencoba melanjutkan hidupnya dengan normal. Namun, ia mulai merasa bahwa hubungannya dengan Dylan telah berubah—entah ke arah mana, ia masih belum bisa memastikannya.