Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.
Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.
Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.
Apakah Elara dan Orion mampu m
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Jejak dalam Kegelapan
Hutan mati di depan Elara terasa seperti labirin tanpa ujung. Pepohonan yang telah mengering berderak tertiup angin, menciptakan melodi suram yang menggema di antara bayangan-bayangan kelam. Kakinya terus melangkah, meskipun rasa lelah mulai menyerang. Dalam genggamannya, tablet itu bersinar redup, memberikan arahan menuju Eden, harapan terakhir bagi umat manusia.
Namun, setiap langkah terasa semakin berat. Luka-luka kecil di tubuhnya mulai terasa perih, napasnya memburu. Elara tahu, dia tidak bisa berhenti. Keheningan di sekitarnya justru membuatnya semakin gelisah. Mutan-mutan itu mungkin masih memburu dari belakang, dan para anarkis tidak akan menyerah begitu saja.
“Orion…” gumamnya pelan, menghapus keringat yang membasahi dahinya. Tidak ada kabar darinya sejak mereka berpisah. Pikiran buruk terus menghantuinya, tapi dia berusaha untuk tetap fokus. "Dia pasti masih hidup," yakinnya pada diri sendiri.
Tiba-tiba, tablet di tangannya berbunyi, menampilkan tanda peringatan merah. “ANOMALI TERDETEKSI DI DEPAN.”
Elara menghentikan langkahnya, menajamkan pendengarannya. Suara gemerisik terdengar samar dari arah barat, diikuti oleh geraman rendah yang menggetarkan tanah di bawah kakinya. Dia berjongkok di balik batang pohon besar, mencoba mengintip tanpa menarik perhatian.
Di kejauhan, dia melihat sesuatu bergerak. Awalnya samar, tapi kemudian sosok besar itu muncul dari balik kabut—seekor mutan raksasa dengan tubuh sebesar bangunan kecil. Kulitnya menghitam, penuh dengan tonjolan-tonjolan aneh, dan matanya bersinar merah seperti bara api. Di tangannya, dia membawa puing logam besar yang diayunkan seperti senjata.
Elara membeku. Mutan ini berbeda dari yang lain. Lebih besar, lebih mengerikan, dan lebih pintar. Dia tahu tidak ada gunanya mencoba melawannya. Tapi sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, tablet di tangannya berbunyi lagi. “KOORDINAT MENGARAHKAN KE LOKASI TERDEKAT.”
Itu berarti dia harus melewati mutan itu.
"Astaga…," desisnya pelan. Elara memeriksa senjatanya. Hanya ada tiga peluru tersisa. Itu tidak cukup, bahkan untuk membuat makhluk sebesar itu teralihkan. Tapi dia tidak punya pilihan. Dia harus menemukan cara untuk menghindarinya.
---
Sementara itu, Orion bergerak tertatih-tatih melalui reruntuhan di tepi hutan. Tubuhnya penuh luka, tapi semangatnya tidak padam. Dia tahu Elara ada di suatu tempat di depan, mungkin dalam bahaya yang sama seperti dirinya. Pikirannya berputar cepat, merencanakan langkah selanjutnya.
Di langit malam, dia melihat bayangan drone yang masih berkeliaran. Mereka belum menyerah. Orion meraih granat asap dari kantongnya dan dengan cepat melemparkannya ke udara. Asap tebal menyebar, menyembunyikan jejaknya dari pandangan mata-mata mesin itu. Tapi dia tahu, ini hanya solusi sementara.
Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Orion menyelinap ke balik reruntuhan, memegang pisau di tangan kanannya. Ketika salah satu anarkis muncul, dia langsung menyerang, menusukkan pisau itu ke leher musuh sebelum suara teriakan bisa keluar. Dia mengambil senjata dari tubuh anarkis itu dan bergerak cepat ke arah lain.
Namun, dia tidak bisa berlama-lama. Dia harus menemukan Elara sebelum musuh-musuh ini menemukan keduanya. Dengan susah payah, dia mengikuti tanda-tanda di tanah—jejak kaki yang samar dan bekas-bekas peluru yang tertanam di batang pohon. Itu hanya bisa berarti satu hal: Elara baru saja melewati tempat ini.
---
Kembali ke hutan, Elara berusaha memutar rute untuk menghindari mutan besar itu. Tapi setiap kali dia mencoba bergerak, makhluk itu seolah bisa mendeteksi keberadaannya. Geramannya yang dalam dan langkah kakinya yang mengguncang tanah membuat Elara gemetar. Dia tahu dia harus menemukan cara untuk mengalihkan perhatiannya.
Matanya tertuju pada puing-puing kecil di sekitarnya—potongan logam, kayu, dan sisa-sisa mesin yang sudah berkarat. Dia menyusun rencana sederhana. Mengambil salah satu potongan logam, dia melemparkannya sejauh mungkin ke arah lain.
Denting logam yang jatuh menarik perhatian mutan itu. Dengan gerakan lambat tapi mengintimidasi, makhluk itu berbalik ke arah suara tersebut. Elara mengambil kesempatan itu untuk bergerak, menyelinap di antara pepohonan tanpa membuat suara sedikit pun.
Namun, baru beberapa langkah, kakinya menginjak ranting kering. KRETAK!
Mutan itu langsung berbalik. Matanya yang merah menyala menatap tajam ke arah Elara. Tanpa berpikir panjang, dia berlari sekuat tenaga, mencoba menjaga jarak dari makhluk itu. Tapi langkah-langkah besar mutan itu dengan cepat menyusulnya. Pohon-pohon tumbang, tanah bergetar setiap kali makhluk itu bergerak.
"Harus ada jalan keluar!" pikir Elara panik. Dia melihat sebuah jurang kecil di depan, dengan pohon tumbang yang membentang sebagai jembatan. Tanpa ragu, dia melompat ke atas pohon itu, menyeimbangkan dirinya di atas batang yang licin. Tapi mutan itu terlalu besar untuk melintasi pohon. Dengan raungan marah, makhluk itu menghantam batang pohon itu dengan tangannya yang besar.
Pohon itu mulai retak. Elara melompat ke sisi lain tepat sebelum batangnya jatuh. Dia berguling di tanah, tubuhnya penuh luka, tapi dia berhasil lolos. Mutan itu menggeram marah, tapi akhirnya berhenti mengejar.
---
Orion mendengar raungan itu dari kejauhan. Dia tahu itu bukan suara biasa. Dengan langkah cepat, dia menuju ke arah suara tersebut. Ketika dia sampai di area tersebut, dia menemukan tanda-tanda pertempuran—jejak kaki besar, pohon tumbang, dan darah di tanah.
“Elara,” bisiknya, matanya mencari-cari dengan cemas. Dia mengikuti jejak itu, semakin dalam ke dalam hutan, hingga akhirnya dia melihat sosok yang dia cari.
“Elara!” panggilnya.
Elara, yang hampir pingsan karena kelelahan, menoleh dengan mata berkaca-kaca. “Orion!” Dia berlari ke arahnya, langsung memeluknya erat. “Kau masih hidup…”
“Kita berdua masih hidup,” jawab Orion sambil memeriksa tubuh Elara untuk memastikan dia tidak terluka parah. “Tapi kita belum aman. Mereka masih mengejar kita.”
“Aku tahu,” jawab Elara sambil mengangkat tablet. “Eden… hanya beberapa kilometer lagi dari sini. Tapi jalannya tidak akan mudah.”
“Kapan terakhir kali mudah?” Orion tersenyum lemah. “Ayo, kita harus bergerak sebelum mereka menyusul.”
Mereka melanjutkan perjalanan bersama, saling menopang di tengah gelapnya hutan. Tapi di belakang mereka, suara langkah kaki lain mulai terdengar—bukan hanya dari mutan, tapi juga dari para anarkis yang kembali menemukan jejak mereka.
Perjalanan menuju Eden kini bukan hanya soal bertahan hidup. Itu adalah perlombaan dengan maut, dan mereka tahu, satu kesalahan kecil bisa berarti akhir dari segalanya.