NovelToon NovelToon
Beri Aku Waktu 40 Hari Mas

Beri Aku Waktu 40 Hari Mas

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Yuri_Pen

Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hari Ke-10

Hari ke -10 

Sabtu. Hari ini adalah kesempatanku untuk mengunjungi Halimah di kampung halamannya Kuningan. Kota kuda yang masih asri alamnya. 

Ku pacu mobil dengan kecepatan 70-80 km/jam, melewati tol Cikampek-Palimanan. Aku bersyukur jalanan masih lenggang. Padahal jika telat sedikit saja, kemacetan mempersulit perjalananku. Sebab hari libur adalah hari yang ditunggu setiap orang untuk menghabiskan waktu terbaiknya bersama keluarga. Sehingga jalanan akan penuh oleh mobil dan terjadilah kemacetan.

Keluarga? Apa kedepannya aku akan memiliki keluarga kecil yang rukun lagi? Seperti kemarin, ketika belum ku ucapkan kalimat demi kalimat yang menorehkan luka. 

Sepanjang jalan pepohonan yang rindang berjejer rapih, angin berembus seirama dengan gerakan pohon yang meliuk-liuk. Rabb, begitu agung ciptaan-Mu. 

Ci limus, ku parkirkan mobil, membeli buah-buahan dan makanan lain sebagai oleh-oleh untuk mertua dan anak istriku.

Suasana masih segar, padahal jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Berbeda sekali dengan udara perkotaan yang sesak dengan banyaknya asap kendaraan. Belum lagi limbah asap yang mengepul dari corong ke corong setiap pabrik yang memiliki brandnya tersendiri.

Aku melewati toko bunga, mungkin baiknya ku beli beberapa tangkai atau mungkin serangkai bunga cantik untuk Halimah. Pasti dia senang melihatnya. 

Sepuluh menit ku tempuh kembali perjalanan, menyusuri jalan-jalan pedesaan. Meski jalannya cukup kecil, namun masih bisa muat untuk satu jalur mobil, dan lawan jalur jalan motor. Hanya saja bila para petani menjemur padinya di pinggir jalan, mungkin akan sedikit menghambat laju kendaraan.

Tak sabar rasanya bertemu dengan Limah dan Jingga. Entah mengapa, seperti ada rindu yang menggebu. 

Akhirnya sampai di rumah mertuaku. Ku parkir kan mobil di halaman luas yang belum di perbaiki.  Meskipun masih tanah, halaman ini rapih dan bersih. Tidak ada kotoran ayam dan kotoran lainnnya.

Kuambil semua bawaan untuk Limah dan Jingga, juga untuk ayah mertuaku. Mungkin lebih tepatnya bakal calon mantan ayah mertua. Tidak-tidak, aku ingin jadi menantunya saja. 

Ku ketuk pintu beberapa kali, namun belum juga ada yang menyahut panggilanku. Kenapa rumah sepi? 

Ku edarkan pandangan ke setiap penjuru. Limah selalu senang menanam bunga dimana pun ia berada. Setiap tanaman selalu tertata rapih dan terlihat segar di tangannya.

"Om, jangan pulang dulu! Main lagi sama Jingga, ya!" Samar kudengar suara menggemaskan yang tak asing di telingaku. Anakku? 

"Jingga, Sayang. Ayah datang, Nak!" Aku memburunya, lalu merentangkan kedua tangan ingin memeluk. Namun ia malah beringsut mundur ke belakang Halimah. 

Aih, kenapa Jingga seperti ketakutan begitu? Apa Limah sudah menceritakan yang tidak tidak denganku? 

Halimah, Jingga, Bapak, dan ... Siapa laki-laki ini? Aku belum pernah melihatnya ketika berkunjung ke rumah bapak mertua.

"Assalamu'alaikum, Pak, bagaimana kabarnya?" Kucium tangan Bapak mertuaku takzim. 

"Waalaikumsalam, eh ko Ridwan kesini gak bilang dulu? Alhamdulillah sekarang udah agak mendingan." Bapak merangkul bahuku. 

"Hehe, iya, Pak. Sengaja aku datang tanpa memberi tahu. Ingin memberi surprise untuk Jingga." Ku tatap Jingga yang seperti tidak merasa senang dengan kedatanganku. Dia malah sibuk bercanda dengan lelaki asing itu. 

"Bagaimana kabarnya, Dik?" Aku menatap Halimah yang sedang memerhatikan Jingga dan lelaki itu.

"Alhamdulillah baik, Mas." Ada kebiasaan yang berbeda. Ia tidak lagi mencium tanganku ketika aku datang. Padahal cium tangan selalu ia lakukan ketika aku datang dari mana saja. Dulu. 

"Ayo masuk, Wan! Kasian kamu capek." Bapak berjalan lalu membuka pintu yang tadi terkunci.

"Ini bunga untukmu, Dik." Kuserahkan serangkai bunga mawar, melati semuanya indah. Eh, maksudnya sekumpulan bunga yang sudah disusun. Entah apa saja. Aku laki-laki, sudah pasti tidak tahu nama-namanya satu persatu.

"Alhamdulillah, kamu tahu aja di sini ada yang meninggal, Mas." Ia segera meraih bunga dari tanganku.

Ada yang meninggal? Apa hubungannya dengan bunga yang kubawa? Aku menatapnya heran. Ia buru-buru masuk ke dalam rumah, dan kembali keluar membawa keresek hitam.

"Mau ngapain, Dik?" Aku masih menatapnya dengan heran.

"Ini, Mas. Tadi ada tetangga yang meninggal. Nyari bunga kemana-mana sepertinya sekarang belum pada berbunga dan bermekaran. Untungnya kamu datang bawa bunga," jawabnya polos sambil tangannya sibuk memetik kelopak-kelopaknya lalu dimasukkan keresek. 

Ya ampun, aku beli itu mahal, Limah! Kenapa malah kamu bawa ke makam? 

"Tapi kan, Dik. Itu bunga, buat kamu. Bukan buat di makam." Aku berucap lirih. Sedih rasanya ketika tangannya begitu lihai memetik kelopak demi kelopak dari tangkainya.

"Buat aku kan? Yaudah terserah aku dong mau diapain." Dia masih fokus merusak bunga-bunga cantik itu.

"Selesai." Ia tersenyum. Miris. 

"Mas duduk dulu, ya! Aku mau antar ini. Kasian keluarga yang ditengok pasti masih sibuk nyari bunga tabur." Aku hanya mengangguk lemah. Dicegah pun sudah tidak mempan. Bunga itu sudah terlanjur rusak di tangannya.

Kulihat Jingga masih sibuk dengan laki-laki asing itu. Siapa dia sebenarnya? Bahkan dia memalingkan anakku dari ayahnya sendiri.

"Jingga sayang, Ayah bawa mainan, loh." Kubawa boneka kecil yang ku beli kemarin. Lalu tangan kananku menyodorkannya kepada Jingga.

"Makasih Ayah." Ragu-ragu Jingga mengambil boneka dari tanganku. Aku mengangguk dan tersenyum.

"Om, main boneka ini, yuk!" Jingga menggenggam tangan lelaki itu erat, lalu mengajaknya pergi tanpa sepatah kata pun.

Aish, harusnya dia main sama ayahnya, kan? Padahal aku sudah bersiap-siap untuk bermain dengannya.

Dari pada melamun di teras, aku bergegas masuk ke dalam rumah untuk melihat kondisi bapak. Terlihat bapak sedang duduk sembari menepuk-nepuk remot televisi. Sepertinya chanelnya sulit dipindahkan entah remot nya yang mulai rusak.

"Bagaimana kondisinya, Pak?" Aku menyodorkan kue-kue kesukaan bapak yang tadi ku beli di Ci limus.

"Alhamdulillah, baik Wan." Ia masih fokus menatap televisi.  

"Katanya saturasi oksigen bapak sempat melemah, ya?" tanyaku sembari berusaha meminta remot dari tangannya.

"Iya, alhamdulillah kemarin sudah dapat pinjaman tabung oksigen dari kerabat dekat," jawabnya. Remot televisi ini sudah dipenuhi dengan karet untuk bungkus makanan.  

"Alhamdulillah … Bapak sakit apa?" Aku wanti-wanti. Takutnya bapak kena wabah pandemi yang belum menemukan kata selesainya ini. Wabah covid 19 ini memang menyerang saluran pernafasan. Sehingga kebanyakan pengidapnya mencari tabung oksigen untuk membantu pernafasan yang lemah.

"Bapak hanya sesak nafas, Wan. Kemarin di cek dokter, katanya karena bapak pecandu rokok. Jadi ya, sekarang kena dampaknya, hehe." Bapak setegar Limah. Masih bisa tersenyum walau raga dan jiwanya mungkin tidak baik-baik saja.

Aku membuka holder box untuk membenarkan letak batu baterai nya. Ternyata bapak salah meletakkan kutubnya. Mungkin penglihatannya yang mulai buram, membuat ia kurang berkonsentrasi.  

"Ya Allah, semoga lekas membaik ya, Pak." Ku sodorkan remot yang sudah ku perbaiki. Bapak menerimanya sambil tersenyum. Ia langsung memindahkan channel tv yang disukainya.  

"Aamiin, makasih banyak. Sana istirahat di kamar, Wan! Kamu pasti cape habis perjalanan jauh," titahnya. Bapak adalah mertua terbaik menurutku. Tidak seperti di film-film. Mertua jahat lah, mertua ikut campur urusan rumah tangga anaklah, mertua yang sering menyindir lah dan tektek bengek lainnya.

Bapak lebih banyak diam ketika marah, tidak mengumbar kesalahan menantunya ke tetangga dan teman-temannya.

Aku memasuki kamar, kamar yang kecil, namun sangat rapih. Aroma khas yang tidak pernah berubah, juga tercampur udara segar dari jendela yang sengaja dibuka. 

"Mas, ini tehnya." Limah datang tiba-tiba dari balik gorden lawang kamar.

"Eh kamu udah pulang?" ucapku sumringah. Rasanya senang sekali bisa melihatnya kembali.

"Udah. Nganterin bunga doang," jawabnya cepat sembari meletakkan gelas di atas meja.  

"Oh iya, siapa laki-laki di depan, Dik? Sepertinya Jingga akrab sekali dengannya." Tanyaku hati-hati, padahal aku sudah cemburu dibuatnya.

"Oh, itu Rasyid abang sepupuku, Mas. Dia baru pulang setelah menyelesaikan S2 nya di Mesir," timpalnya tenang. Wajahnya yang teduh membuatku betah lama-lama memandangnya.  

"Oh, pantas saja baru lihat. Dimana rumahnya?" tanyaku lagi. Berharap Limah tidak segera pergi dari hadapanku jika ku berondong ia dengan berbagai pertanyaan.

"Di depan rumah ini." Deg, jangan-jangan dia main kesini setiap hari? 

"Dia selalu main dengan Jingga setiap hari. Alhamdulillah aku jadi gak repot mengerjakan pekerjaan rumah." Limah seperti menjawab pertanyaan yang kusimpan di benakku.

'Abang sepupu kan bukan mahrammu. Bahkan dia seperti menyukaimu, Dik' aku hanya membatin. 

“Oh begitu. Pantas saja ia terlihat sangat akrab dengan Jingga,” ucapku kesal. Limah tidak menanggapinya. Ia segera keluar dari kamar ini. Membiarkanku cemburu kepada lelaki yang merebut perhatian istri dan anakku.

***

"Mas, tidur di rumah Rasyid dulu, ya!" Limah membereskan barang-barangku yang tergeletak di meja.

"Loh kenapa gak di sini?" Aku menautkan sebelah alis kebingungan.  

"Sempit. Rumah ini gak luas. Mas di sana aja dulu!" Dia merapihkan tasku, lalu menyerahkan padaku.

"Ish, biasanya juga Mas di sini gak papa. Kenapa diusir gini?" tanyaku heran. Aku masih tidak terima jika harus keluar dari kamar ini.  

"Bawaan bayi. Ayo buruan keluar! Mas mau anak ini ileran, ingusan, gara-gara keinginannya gak dituruti?" Ya ampun, dia malah menyalahkan anakku yang di dalam perut. 

Ia mengelus perut buncitnya. Ingin sekali ikut memegangnya namun aku sungkan. Padahal itu adalah anakku sendiri.

"Buruan pergi!" Dia mendorongku ke luar.

"Eh ini ada apa? Dorong-dorongan ke luar gini." Bapak datang, syukurlah. Aku jadi bisa bermalam di sini. 

"Ini Mas Ridwan mau kenalan sama Bang Rasyid, Pak. Jadi mau tidur di sana." Aih, siapa juga yang mau kenalan sama orang nyebelin itu. Aku melototi Limah tanda tidak setuju. 

"Oh, yasudah sana buruan! Keburu malam nanti Rasyid sudah keburu tidur." Alamak, Bapak malah mendukung Limah yang menyuruhku tidur di rumah Rasyid.

"em, tapi--" Aku berusaha menghindar sebelum akhirnya  Limah memotong ucapanku dengan cepat.

"Mas Ridwan malu ke sana, Pak," jawab Limah sekenanya. Ia melirik Bapak seperti mengirimkan sebuah kode yang mulai ku mengerti.

"Yaudah sini bapak antar! " Bapak menarik tanganku gemas. Entah gemas karena aku lama memberi keputusan dan bergerak, entah seperti ada dendam yang terpendam. Aku tidak bisa mengimbangi langkah bapak yang cepat. Hampir saja kakiku tersandung tembok karena lajunya yang cepat.

Aih gagal lagi aku mau tidur di rumah. Padahal aku ingin sekali berbicara banyak dengan Limah. Tapi sedari tadi dia sibuk dengan prosesi pemakaman, dan ikut tahlilan. Tak ada kesempatan untuk aku mendekatinya. 

Juga Jingga yang sibuk bermain dengan Rasyid, dan juga teman-temannya. Tanpa mengajakku bermain juga. 

Bapak sedari tadi sibuk dengan tanaman dan ayam peliharaan nya. Dan aku? Seharian aku menghabiskan waktu sendiri. Padahal aku berada di dekat dengan mereka. Tujuanku kesini bukan sebatas tidur dan makan lalu tidur lagi. 

"Assalamu'alaikum, Rasyid. Buka pintunya!" Bapak mengetuk pintu dengan semangat. Ini semangat mengenalkan atau semangat mengusirku dari rumahnya? Aku tak bisa membedakan sekarang.

"Waalaikumsalam, Mang." Mang adalah sebutan paman di daerah Sunda. 

"Ini si Ridwan mau kenalan katanya. Jadi dia tidur di sini ya!" ujarnya bersemangat. Ia mendorongku pelan, aku maju satu langkah darinya.

"Owalah hehe. Iya boleh, maaf tadi aku tak sempat menyapanya. Jingga terus mengajakku main." Jawabnya ramah. Ia membuka pintu rumahnya lebar.

"Iya, gak apa." Aku tersenyum terpaksa. Sedikit memindai rupanya dari atas ke bawah.

"Yaudah bapak tinggal dulu, ya. Yang akur kalian! Assalamu'alaikum." Bapak berbalik badan lalu hilang di balik pintu. Meninggalkanku bersama seseorang yang masih asing bagiku.

"Waalaikumsalam," jawab kami bersamaan. setelah bapaknya pergi, aku dipersilakan duduk di kursinya. 

"Enak juga rumahmu, Bro." Aku duduk di kursi empuk berwarna merah sesuai perkataannya.

"Ya begitulah," timpalnya. Ia membawa segelas air dan beberapa cemilan lalu menghidangkannya di meja.

Ku edarkan pandangan ke semua penjuru ruangan. Rumah ini bersih dan setiap barangnya tertata rapi. Mungkin ia menyuruh pembantu untuk membersihkannya. Atau mungkin ia tinggal dengan ibunya. Aku terus berfikir sambil melihat sekeliling.

"Maaf ya jadi ngerepotin." Padahal batinku ingin dia tidak menerimaku, dan aku kembali ke rumah Limah. 

"Santai aja kali. Kayak sama siapa aja," jawabnya terkekeh.

"Limah sepupumu?"  Aku tak mau lama berbasa-basi.

"Yap. Adik sepupuku lebih tepatnya. Orangtua Halimah itu adiknya orangtuaku." Dia menjelaskan sembari membuka tutup toples camilan, lalu memberiku isyarat untuk mencobanya.

"Oh begitu," jawabku sambil mengambil satu kerupuk dari toples.

"Berapa hari di kota ini?" tanyanya sambil menatapku. Kami belum berkenalan, tapi satu sama lain seolah sudah saling mengetahui identitas diri.

"Mungkin besok sore pun pulang." Aku meminum air darinya. Segar. Dari tadi rasanya aku kehausan, entah mengapa aku enggan untuk minum.  

"Oh gitu. Pasti sibuk ya orang kota?" Ia mengambil rengginang lalu memakannya santai.

"Enggak juga. Hanya ada kerjaan biasa," kilahku.

"Yaelah itu sama aja sibuk." Dia terkekeh, seperti tidak terima dengan argumentasi ku

Kami sama-sama terdiam untuk beberapa saat. Tapi sejauh ini, aku tidak melihat orangtuanya keluar dari kamar atau ruangan lainnya. Apa ia hidup sendirian di sini? Kenapa rumahnya bisa serapi ini? Berbeda jauh denganku yang tidak faham tentang cara merawat rumah.

"Kami akan pulang bersama ke kota." Aku membuka suara. Berharap ia faham, bahwa Limah dan Jingga adalah milikku dan akan kembali kubawa menuju kota.

"Emang Limah mau? Setahuku dia sangat senang di sini," katanya yakin. Ia menegak air di botol minum berwarna hitam.

"Benarkah?" sergahku tak percaya. Kukira Limah di sini hanya menghindari ku saja, dan ingin segera kembali ketika urusannya selesai.

"Ya. Dia sering ikut pengajian sama teman-teman lamanya, ia juga mengajar ngaji di Mushola sini. Aku sering melihatnya tertawa bersama Jingga. Seperti bahagia sekali." Kukira Limah akan sedih, nyatanya dia bahagia. Lagi-lagi pikiranku salah terhadapnya.

"Jangan sia siakan dia, bro! Andai aku bukan sepupunya, sudah ku nikahi dia sedari dulu." Aku hampir saja tersedak mendengar ucapannya.

"Apa maksudmu?" pekikku. Rasa-rasanya tak pantas bila ada seorang lelaki meminta seorang istri di hadapan suaminya secara terang-terangan.

"Kamu adalah alasanku tak pulang dari Mesir dulu.” Ia menghela napas panjang. “lalu aku melanjutkan studi ku sampai S2 di sana," imbuhnya.

"Apa kau menyukai, Limah?" Dadaku memanas mengatakannya, namun bagaimanapun aku penasaran meski dari sorot matanya sudah terlihat jelas jawabannya.

"Ya. Bahkan sedari kecil aku sudah menyukainya. Sayangnya di keluargaku seperti tak boleh menikah dengan sepupu sendiri." Ia menunduk, seolah begitu sedih dengan keputusan takdir yang tidak memihak kepadanya. 

"Jangan dekati dia lagi!" Aku mulai terpancing emosi, tanpa mau memahami kesedihannya.

"Santai, Bro. Intinya jangan sia siakan dia, ya. Kalau kata Allah melalui kalamnya Al-Qur'an,

"Dan perlakukan mereka (para istrimu) dengan cara yang baik. Kemudian apabila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah. Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (Q.S. An-nisa:19) 

Ibnu Katsir - berkata:

“Dan Firman Allah Swt “Dan perlakukan lah mereka (para istri) dengan baik”, maksudnya adalah baikkan lah perkataan-perkataan kalian kepada mereka, per indah lah perbuatan dan keadaan kalian sesuai dengan kemampuan kalian, sebagaimana engkau menyukai hal itu darinya (menginginkan istri untuk berbuat yang sama), maka berbuatlah dengan seperti itu," tuturnya panjang lebar. Sesekali ia tersenyum kepadaku, membuatku segan kepadanya.  

Aku tertampar. Sangat tertampar dengan ayat ini. "Dan apabila kamu tidak menyukainya maka bersabarlah! Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." 

Ya Rabb, ampuni hamba! 

“Jadi sampai sini kamu paham, kan?” Ia menepuk bahuku.

“Carilah perempuan lain, Bro!” ucapku. Aku kebingungan berbicara apa. Bahkan tentang isi hatiku sendiri aku tidak faham.

Rasyid hanya terdiam lalu ia menunjukkan sebuah kamar yang akan ku tempati nantinya. Benar dugaanku. Ia tinggal sendirian, atau mungkin ke betula orangtuanya sedang pergi sejenak.

Dari segi kerapian ia menang, dari segi keilmuan akupun masih kalah. Aku khawatir endingnya dialah pemenangnya.

1
Sarifah aini eva rrgfwq
lanjut trus donk jgn pke sambung jdi putus2 bcany
YURI_PEN: Hallo kak terima kasih sudah mau membaca Novelku. biar gak ketinggalan setiap episode nya yuk jangan lupa follow dan bantu suport aku untuk terus berkarya.... Terima kasih
total 1 replies
Becce Ana'na Puank
Luar biasa
Fushito UwU
Duh, kehidupan karakternya keren bingits!
YURI_PEN: Yuk bantu Follow akun ini biar aku bisa lebih semangat menulisnya dan ikuti terus kisah Halimah☺️
total 1 replies
Celia Luis Huamani
Bukan sekadar cerita, tapi pengalaman. 🌈
Beerus
Kereen! Seru baca sampe lupa waktu.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!