Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Manis
Setelah perjalanan panjang yang menyenangkan di pantai, suasana malam terasa lebih damai. Di dalam mobil, El dan Al sudah tertidur lelap, kelelahan setelah seharian bermain dan menikmati suasana pantai. Netha melirik kedua anak itu melalui kaca spion, melihat mereka terlelap dengan wajah polos penuh kebahagiaan. Sebuah senyuman lembut menghiasi wajahnya. Meski lelah, hatinya merasa hangat melihat anak-anaknya begitu bahagia.
Sesampainya di rumah dinas, Sean dengan hati-hati membuka pintu mobil dan mengangkat Al yang tertidur. Sementara itu, Netha melakukan hal yang sama dengan El. Mereka berjalan perlahan ke kamar anak-anak untuk memastikan mereka tidak terganggu. Setelah membaringkan si kembar di ranjang masing-masing, Netha mulai melepas sepatu mereka dan mengganti pakaian mereka dengan baju tidur yang bersih. Sean berdiri di dekat pintu, mengamati setiap gerakan Netha dengan penuh perhatian.
Setelah selesai, Netha membetulkan selimut mereka dengan lembut dan menundukkan kepala untuk mencium kening masing-masing anaknya. "Tidur yang nyenyak, ya, sayang," bisiknya pelan.
Sean, yang melihat hal itu, merasa terharu. Ia jarang melihat momen seperti ini karena di masa lalu, Netha lama kurang menunjukkan perhatian seperti ini pada El dan Al. Kini, ia menyadari bahwa Netha yang sekarang sudah jauh lebih peduli dan penuh kasih. Sean pun mendekati si kembar, membenarkan posisi selimut mereka, dan dengan canggung mengikuti apa yang dilakukan Netha: mencium kening anak-anaknya.
Netha tersenyum kecil melihat tingkah Sean, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Mereka kemudian meninggalkan kamar si kembar, berjalan pelan menuju ruang tengah. Sean tampak gelisah, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tetapi ia ragu bagaimana memulainya. Ia memandangi Netha yang terlihat santai duduk di sofa, memeluk bantal sambil menikmati suasana tenang di rumah.
"Eh, Netha," Sean akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar ragu.
"Hm?" Netha menoleh, sedikit mengangkat alis.
"Malam ini... kamu bisa menginap di sini? Maksudku, ini sudah malam, dan kamu pasti lelah. Lagipula, kita kan suami istri," katanya, berusaha terdengar santai, meski jelas ia gugup.
Netha mengernyit sedikit. "Tapi... hanya ada satu kamar di sini, kan?"
Sean mengangguk. "Ya, hanya satu kamar. Tapi, bukankah itu wajar? Kita tidur berdua di ranjang yang sama. Aku... aku janji nggak bakal bikin kamu merasa nggak nyaman."
Netha terlihat ragu. Meski ia adalah istri sah Sean, hubungan mereka selama ini tidak terlalu dekat. Namun, ia menyadari bahwa Sean tampaknya sungguh-sungguh ingin memperbaiki hubungan mereka, dan ia sendiri juga ingin mencoba memberi kesempatan pada keluarga kecil mereka.
"Baiklah," jawab Netha akhirnya, meski dengan nada sedikit canggung. "Tapi aku mau mandi dulu."
Sean tersenyum lega, bahkan matanya terlihat sedikit berbinar. "Silakan, aku akan menyiapkan semuanya," katanya cepat, lalu beranjak untuk mengganti selimut di kamar mereka.
Netha menuju kamar mandi dengan langkah santai. Setelah seharian di pantai, ia memang merasa tubuhnya lengket dan perlu segar kembali. Di kamar mandi, ia melepas pakaiannya dan membasuh tubuhnya dengan air hangat. Ia menatap bayangannya di cermin sesaat, memikirkan banyak hal—terutama tentang hubungannya dengan Sean yang terasa seperti babak baru dalam hidupnya.
Setelah selesai mandi, ia menyadari bahwa ia tidak membawa pakaian ganti. Dengan sedikit enggan, ia mencari sesuatu di lemari Sean dan menemukan sebuah kemeja putih polos yang cukup besar. Kemeja itu panjangnya hampir menutupi pahanya. Meski kebesaran, kemeja itu cukup nyaman dipakai, dan ia tidak terlalu memikirkan penampilannya saat ini.
Selesai berpakaian, Netha mencuci bajunya yang kotor dan menaruhnya di pengering untuk memastikan besok bisa dipakai lagi. Setelah itu, ia duduk di ranjang, memainkan ponselnya sambil menunggu Sean selesai mandi. Tak lama, Sean keluar dari kamar mandi dengan pakaian santai, terlihat lebih kasual dari biasanya. Namun, pandangan Sean langsung tertuju pada Netha yang sedang duduk di ranjang dengan kemeja kebesaran miliknya.
Sean berhenti sejenak di ambang pintu, merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Netha tampak begitu cantik, meskipun hanya mengenakan kemeja putih sederhana. Rambutnya yang masih sedikit basah menambah pesonanya.
"Eh... sudah siap?" tanya Sean, mencoba terdengar normal meski suaranya sedikit bergetar.
Netha mengangguk tanpa banyak bicara, lalu meletakkan ponselnya di meja samping tempat tidur. Ia menatap Sean sejenak, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.
"Aku mau ngomong," katanya akhirnya.
Sean duduk di sampingnya, sedikit cemas. "Tentu. Apa yang ingin kamu bicarakan?"
Netha menghela napas panjang, lalu menoleh ke arah Sean. "Aku tahu selama ini kita nggak pernah benar-benar dekat. Tapi, aku ingin mencoba. Bukan hanya demi El dan Al, tapi juga demi kita sendiri. Aku nggak tahu bakal berhasil atau nggak, tapi aku mau mencoba."
Sean tertegun, lalu perlahan tersenyum. "Aku juga ingin mencoba, Netha. Aku tahu aku bukan suami yang sempurna, tapi aku akan berusaha lebih baik. Demi kamu dan anak-anak."
Netha tersenyum tipis, meski di hatinya masih ada sedikit keraguan. Namun, melihat kesungguhan Sean, ia merasa ada harapan bahwa keluarga ini bisa berjalan lebih baik dari sebelumnya.
"Baiklah," kata Netha singkat, lalu ia menarik selimut dan merebahkan diri di ranjang. Sean mematikan lampu utama, meninggalkan lampu kecil yang cukup redup untuk membuat suasana lebih nyaman.
Malam itu, meski mereka tidur di ranjang yang sama, Sean menjaga jarak, memberi ruang yang cukup untuk Netha. Dan di sisi lain, Netha merasa sedikit lebih nyaman, setidaknya ia tahu bahwa Sean benar-benar ingin memperbaiki hubungan mereka.
Setelah malam yang panjang, Netha terlihat sangat lelah. Ia berbaring di sisi ranjang dengan posisi nyaman dan tak butuh waktu lama baginya untuk tertidur pulas. Napasnya terdengar teratur dan tenang, menandakan bahwa ia sudah benar-benar masuk ke dalam alam mimpi.
Setelah memastikan bahwa Netha benar-benar telah tertidur lelap, dengan nafas yang teratur dan wajah yang damai, Sean membuka matanya perlahan. Ia menoleh ke arah Netha yang tertidur di sebelahnya. Dengan bantuan lampu redup, wajah Netha tampak begitu damai. Sean tidak bisa menahan diri untuk tidak menatapnya. Ia menyusuri wajah Netha dari atas hingga bawah, dari rambutnya Netha yang masih terlihat berserakan diatas bantal, dan wajahnya yang polos tanpa riasan terlihat begitu cantik. Sean tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan setiap detailnya.
Matanya menyapu dari atas kepala Netha hingga ujung kakinya yang tertutup selimut. Dalam hati, Sean mencoba meredam pikirannya yang mulai berkelana ke hal-hal yang tak seharusnya. Namun, sisi 'pria' yang ada di dirinya tak bisa disangkal. Otak Sean seakan memberontak, memunculkan bayangan bayangan yang membuatnya tersenyum kecil sendiri.
Ia mendekat, menatap wajah Netha dari dekat. Dengan lembut, ia menundukkan kepala dan mencium kening istrinya. Bibirnya menyentuh kulit lembut itu, kemudian mengucapkan kata-kata yang sudah lama ingin ia sampaikan. “terima kasih Netha, kamu membuatku ingin menjadi pria yang lebih baik. Aku ingin kita bahagia bersama” bisiknya pelan.x
Pandangan Sean kemudian tertuju pada bibir pink alami milik Netha. Bibir yang pernah ia kecup meskipun hanya sekali dan dalam situasi yang tak terduga. Ia masih ingat betapa gugupnya saat itu tetapi kenangan itu kini muncul dengan rasa manis yang berbeda. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari bibir itu.
Bibir itu tampak begitu menggoda di bawah cahaya lampu. Sean ingat betul bagaimana rasanya mencium bibir itu dulu, meski hanya satu kali dan terjadi karena insiden yang memalukan. Hatinya kini berdebar lebih cepat, dan rasa penasaran yang lama terpendam muncul kembali.
"Ah, cuma sekali aja..." gumamnya sambil menelan ludah, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Dengan gerakan pelan agar tidak membangunkan Netha, Sean mencondongkan tubuhnya. Ia mengecup bibir pink itu dengan sangat cepat. Sentuhan singkat itu membuatnya tersenyum kecil. "Manis," pikirnya. Namun, rasa itu ternyata tak cukup. Ia kembali mengecup bibir Netha, kali ini sedikit lebih lama. Setiap kali ia melakukannya, ia merasa semakin sulit untuk berhenti.
Sean akhirnya melumat bibir istrinya dengan lembut, memastikan agar tetap pelan sehingga Netha tidak terbangun. Tangannya bahkan hampir ingin menyentuh pipi Netha, tapi ia berhasil menahan diri.
"Astaga, Sean! Hentikan sebelum dia bangun!" pikirnya panik. Sean Mau narik nafas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia berbaring kembali di sisi Netha.
namun, sebelum ia benar-benar merebahkan diri , Sean memutuskan untuk memeluk Netha. Iya menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya dengan hati-hati. Kelegaan dan kenyamanan melingkupinya . Ia tahu bahwa mungkin Neta akan marah jika menyadari hal ini besok pagi, ia sudah memikirkan alasan.
“Kalau dia tanya aku bilang aja aku pikir ini guling,” katanya dalam hati berusaha menenangkan pikirannya yang penuh rasa bersalah sekaligus bahagia.
Sean memejamkan matanya, tapi senyuman masih terukir di wajahnya. Dalam pelukan hangat itu, Iya akhirnya merasa cukup tenang untuk tidur.
"Selamat malam, istriku," ucapnya sekali lagi, kali ini dengan penuh kelembutan, sebelum ia benar-benar terlelap dalam kebahagiaan yang sederhana itu.