Devon merasa ia jatuh cinta pada gadis sebatang kara, setelah perjalanan cintanya dengan berbagai jenis wanita. Gadis ini anak jalanan dengan keadaan mengenaskan yang ia terima menjadi Office Girl di kantornya. Namun, Hani, gadis ini, tidak bisa lepas dari Ketua Genknya yang selalu mengamati pergerakannya. Termasuk pada satu saat, kantor Devon mengalami pencurian, dan terlihat di cctv kalau Hani-lah dalang pencurian tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang Adik
Saat sembuh... tak terasa usia Devon sudah 15 tahun.
Dan penolongnya, bernama Damaskus Prabasampurna. Seorang konglomerat pemilik rumah sakit di mana Devon dirawat. Sejak remaja Devon akhirnya dipekerjakan di tambang miliknya, lalu di perusahaannya, diajari cara mengelola keuangan, dibayari kuliahnya, ia juga diikutkan dengan berbagai kegiatan di luar sekolah dan kampus, pokoknya sesuatu yang bisa membuat Devon sibuk dan melupakan masa lalunya yang kelam. Dan Devon merasa berhutang budi kepada Prabasampurna.
Itulah sebabnya Devon bisa bekerja di sini dan diberikan jabatan setinggi ini.
Ini adalah keluarganya.
Kalau mau lepas dari sini, berarti kematian baginya.
“Kalau kamu tidak mau mati... kamu katakan sejujurnya. Semuanya.” Bisik Devon. “Siapa kamu sebenarnya?”
Hani meronta meminta dilepaskan.
Karena dengan posisi sekarang. Mustahil ia bisa bicara dengan bebas, apalagi mengakui sesuatu yang membutuhkan banyak tenaga.
Tapi Devon malah semakin mempererat cengkeramannya. Tangannya besar dengan jari-jari panjang.
Mudah sekali baginya untuk mematahkan tulang leher di tubuh gadis seringkih Hani.
Hani tidak bisa bernafas.
Tapi ia dipaksa bicara.
Alih-alih mengakui semuanya, Hani jelas lebih memikirkan cara supaya ia dilepaskan.
Maka, kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya hanya,
“Bang... to...long...” cekat Hani sambil mulai meneteskan air mata.
Keadaan itu malah membuat Devon tercengang.
Wajah ini... mimik muka ini.
Persis saat itu.
Saat seorang ibu meminta pengampunan. Di depan jasad bersimbah darah suami yang dicintainya, di depan anak-anaknya yang sudah dalam keadaan terikat dan menangis ketakutan.
Pak, tolong...
Tolong... setidaknya biarkan anak-anak saya hidup.
Ambil semuanya, silakan. Saya tidak akan menuntut.
Yang penting, anak-anak saya...
Kepala Devon langsung pusing.
Ia melepaskan cengkeramannya.
Hani langsung terjatuh ke lantai sambil berbaring. Ia menarik nafas perlahan dengan tangan gemetar karena jalur pernafasannya terasa sempit. Ia tersengal-sengal mengambil nafas.
Lalu ia mulai merangkak di lantai.
Rasanya semua tubuhnya mati rasa.
Akhirnya karena tak kuat... ia pun pingsan di sana.
**
Matahari pagi...
Hani terbangun karena itu. Sinar menyilaukan yang menerpa kelopak matanya.
juga suara desisan mentega.
Aroma manis langsung menggelitik hidungnya.
Perut gadis itu langsung bergemuruh.
Tapi… seketika ia langsung membuka matanya lebar-lebar.
“Astaga!” serunya panik.
Hari sudah pagi dan ia berada di tempat asing. Ini bukan rumahnya yang kumuh dan terbuat dari triplek usang!
“Farid…” gumamnya khawatir. Adiknya yang berusia 4 tahun, semalaman harus ia tinggal di gubuk! Tanpa makanan dan tanpa air!
“Pakaianku dimana? Bajuku? Sepatuku?” Hani panik. Ia turun dari ranjang dan menyadari kalau hanya mengenakan kemeja putih yang ukurannya sangat besar.
Dan ini dimana? Kenapa ruangan ini sangat besar?
“Cari apa?” suara yang sangat ia kenal. Suara berat yang langsung menggetarkan hati Hani.
Tapi kali ini Hani dalam keadaan panik.
Ada yang lebih penting dari pada keberadaan Devon, dan lebih penting dari pada kondisinya sekarang.
“Saya harus segera pulang!” seru Hani sambil mencengkeram lengan Devon.
“Kamu makan dulu.”
“Adik saya sendirian digubuk! Dia belum makan dan minum sejak kemarin! Air saya mana? Saya sengaja menampung air keran untuk dia minum!” jerit Hani.
Devon menarik nafas dan kembali keluar dari kamar.
lalu ia kembali dengan tumpukan baju bersih dan mengulurkannya ke Hani.
“Baju kamu sudah dicuci ulang. Untuk minum, kamu ambil di meja, ada air mineral 1 liter di sana. saya sudah masukan ke kotak bekal, beberapa kue untuk adik kamu.”
Hana mendengarkan sambil memakai bajunya. Ia sudah tidak ingat sopan santun. Kali ini ia buka semua dan ia pakai secepat kilat, tak peduli senu dis apa kondisinya.
ia merogoh kantong celananya dan mengernyit. “Uang saya mana? Ada 5000an di sana.”
“Uang kamu basah.” kata Devon sambil mengulurkan selembar uang berwarna merah ke depan Hani. “Pakai ini saja dulu.”
Hani mengernyit melihat uang di tangan Devon.
“Tidak bisa.” katanya.
“Ini pemberian, bukan hutang.”
“Abang tidak mengerti, saya tidak boleh terlihat menyimpan banyak uang! Berbahaya bagi kami!”
Devon mengernyit merasa bingung. “Maksudnya?”
“Saya minta 5000 saya!” Hani menadahkan tangannya.
“Masih dijemur di atas mesin cuci.”
“Oke.” Hani keluar dari kamar dan mencari letak mesin cuci. Saat ketemu, ia sambar uang yang masih basah, lalu ia ambil botol air mineral di atas meja dapur.
“Kue-nya,”
“Kalau boleh saya pinjam tas kresek.” kata Hani.
Devon mengambilkan tas kresek dari berbelanja di supermarket. Hani langusng memasukkan kue-kue itu ke dalam kresek.
“Saya pamit, terima kasih.” gumam Hani.
“Saya antar-”
“Tidak perlu. Bisa berbahaya bagi saya kalau ada orang seperti Abang di dekat saya.” kata Hani. “Saya akan dikira banyak uang, Ketua Genk akan mengambil semua yang saya punya, menggeledah barang-barang saya, bisa jadi ia juga mengancam adik saya. Abang tidak mengerti kehidupan di-jalanan.”
Hani keluar dari rumah Devon, lalu dengan waspada ia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak orang yang mengenalnya.
lalu ia membuka grendel pagar dan menyusup ke luar.
Devon hanya bisa menatap gadis itu sambil keheranan. Dan pria itu pun menggelengkan kepalanya.
“Tadi dia bilang… Ketua Genk? Maksudnya apa? Preman?!” gumam Devon.
**
Setengah berlari Hani menuju gubuknya. di pikirannya hanya ada Farid. Adiknya.
ia menyelusup ke gang-gang sempit, lalu melompat turun ke arah jembatan di antara selokan.
“Farid?” ia memanggil adiknya. sosok bocah kecil itu tak ada di mana pun.
“Fariiiid?” ia berteriak lebih kencang.
Hani masuk lebih dalam ke area bawah jembatan, menyusup ke antara rumah triplek di sekitarnya.
dan debar jantungnya tak karuan, saat melihat sesosok tubuh tergeletak di selokan.
adiknya.
baju biru kusamnya yang sudah hampir 3 bulan tak ganti, Hani jelas hapal. Ia yang mencarikan Farid baju itu di tumpukan sampah.
“Farid!!” serunya panik sambil menghampiri tubuh itu.
ia membalik tubuh adiknya yang ringkih. Wajah adiknya itu sangat pucat, dan tidak sadarkan diri.
Dengan gemetaran, berusaha menyingkirkan pikiran buruk, lalu ia tempelkan telunjuknya di hidung adiknya.
Panas, ada hembusan angin panas.
“Syukurlah Ya Tuhan…” pekik Hani. Ia menempelkan tangannya di dahi adiknya.
Tubuh Farid demam tinggi.
Itu sebabnya Hani nekat mencari pekerjaan. Farid sedang sakit.
“Farid, bangun, ini kakak…” lirih Hani sambil mengguncang-guncang tubuh adiknya. tapi tidak ada respon dari Farid.
wajah Farid pucat.
dan ada lebam di area keningnya.
“Ada apa ini?” desis Hani kebingungan.
Jadi tanpa pikir panjang, ia tarik Farid dari selokan, dan ia gendong di punggungnya.
ia akan ke puskesmas terdekat, mencari bantuan.
ia masih punya uang 5000 rupiah.
kalau perlu, ia akan pinjam dulu ke Ketua Genk.
apapun resikonya.
**
Hari hujan madam up yg melo2 gini sesuai dg cuaca
Tambah melo lg liati jemuran bakalan gak kering hari ini 😁😁
thanks banget ya thor udah up lagi 🥰🥰🥰