Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perkara kating
"Muka kau macam lesu nampaknya, Rain."
Rain membuka matanya yang terpejam beberapa saat.
"Bukan lesu lagi. Lihat aja kantong matanya. Hitam. Ini namanya mayat hidup."
Rain berdecak mendengar ocehan teman-temannya. Tidak bisa kah ia beristirahat sejenak? Semalaman ia tidak bisa tidur gara-gara hantu Ghio.
"Rain begadang, ya? Tugas kita gak sebanyak itu padahal."
"Bisa diam gak kalian bertiga?" tanya Rain kesal. "Gue mau istirahat sebentar, nih." Lantas Rain mulai merebahkan kepalanya di atas meja gambar.
Mina, Taro, dan Bonar, ketiga teman Rain, saling menatap.
Bonar berbisik. "Diam! Rain dalam mode riting." Tapi, suaranya terdengar keras. Maklum, orang Batak memang memiliki suara yang keras.
"Riting apa, Bon?" tanya Mina.
"Itu, dikit-dikit marah," jawab Taro.
"Kok, Lo bisa tahu, Ta?"
Taro menyengir. "Diajarin Bonar. Hehe…"
"Anak didik Bonar ini," kata Bonar sambil merangkul bahu Taro. "Kau mau ku ajari?" tanya Bonar dengan logat khas-nya.
"Berisik Lo, Bonar." Rain bersuara tanpa mengangkat kepalanya.
Mina yang duduk di samping Rain, menggeleng. "Gak. Kapan-kapan aja," bisiknya.
Akhirnya, mereka bertiga hanya bisa bercerita dengan suara pelan. Mereka tidak ingin mengganggu Rain.
Berkali-kali Bonar refleks bicara keras. Hal itu mengundang tatapan tajam dari Rain.
"Awak tak bisa bicara pelan-pelan begini. Lama-lama, habis napas ku," keluh Bonar.
Taro menepuk punggung Bonar sambil cekikikan. Melihat Bonar menderita seperti itu menurutnya menyenangkan.
Rain tiba-tiba mengangkat kepalanya.
"Gak ngomong aku, Rain. Jangan pula kau tengok aku." kata Bonar sambil mengangkat dua jari.
"Gak jadi tidur. Kalian bertiga berisik."
"kok, gue ikutan," kata Mina keberatan.
"Yang berisik si Bonar, nih." Taro menunjuk Bonar.
"Weh, kau pun ribut nya kau. Ketawa-ketawa kau dari tadi, ya. Jangan pula kau salahkan aku," kata Bonar tidak terima.
"Udah. Gak usah saling nuduh. Kalian bertiga sama aja," kata Rain sambil duduk tegak. Gagal sudah niatnya untuk istirahat.
Semalam, ia benar-benar tidak bisa tidur nyenyak. Beberapa kali ia terbangun dari tidurnya gara-gara bermimpi. Semalam, Rain bermimpi ditatap oleh mata Ghio yang dingin. Saat Rain mencoba kembali untuk tidur, ia hanya bisa tidur sebentar. Karena setelah itu, ia kembali bermimpi lagi. Dalam mimpinya yang kedua, Rain benar-benar jatuh dari rooftop. Dalam mimpinya, Ghio tidak menolongnya.
Mungkin, karena semalam Rain terlalu memikirkan kejadian itu, sehingga terbawa ke dalam mimpinya.
Ketika Rain mencoba untuk tidur kembali, sayangnya matanya tidak bisa diajak kompromi. Rain tidak bisa lagi tidur. Akhirnya, sepanjang malam Rain hanya bisa duduk seperti mayat di atas kasur.
"Kok, Rain bilang gitu? Mina gak ikutan, ya," kata Mina dengan wajah memelas.
Rain memutar bola matanya. Kenapa ketiga temannya ini tidak bisa diajak kerja sama? Ia hanya ingin istirahat sebentar. Tidak bisa kah mereka melihat Rain tenang sebentar?
"Jangan lah kau marah, Rain." Bonar mencoba membujuk Rain. "Kalau kau ma-"
"Nama gue Rain. Bacanya, R-e-i-n! Bukan R-a-i-n," koreksi Rain.
"Salah lagi aku."
"Emang cowok selalu salah," kata Mina.
"Cewek selalu benar." Taro melanjutkan.
"Emang dia yang salah. Ngeja nama Rain aja gak bisa," kata Mina.
"Iya-iya. Tau aku itu salah. Tak usah lah kalian berdua melebih-lebihkan. Kau pun Mina, suka kali kau menyudutkan aku."
"Lha, gue bicara fakta."
Rain menghela napas. Kenapa ia memiliki teman seribut mereka?
"Iya. Aku memang selalu salah di matamu."
"Eh. Lo jangan main mata-mata, dong. Sopan dikit, kek."
"Weh. Emang itu apa?" tanya Bonar sambil menunjuk kedua mata Mina.
"Mata," jawab Mina enteng.
"Ya udah."
"Tap-"
BRAK!!
"Astagfirullah!"
"Allahuakbar!"
"Buset!"
"Anj**"!"
"Bapak kau!"
Umpatan-umpatan berkeluaran dengan lancar. Mahasiswa dalam kelas itu diam seketika. Seluruh mata menatap Rain.
Rain yang ditatap seperti itu, mengerjap. Ia menatap sekeliling.
"Lanjut-lanjut. Jangan hiraukan kami," katanya kepada penghuni kelas itu.
Kelas yang awalnya sunyi, kini kembali gaduh. Komentar-komentar mulai keluar dari yang biasa hingga yang luar biasa.
Rain menggerutu dalam hati. Ia lupa jika ia masih berada di dalam kelas. Untung saja tidak ada dosen.
"Itulah kau, Rain. Seharusnya kau lihat dulu situasi dan kondisi, baru kau keluarkan jati diri kau," komentar Bonar.
Rain menatap datar.
"Masih untung jantung gue dilapisi baja kualitas terbaik. Galo gak, udah silaturahmi nih jantung ke lambung," kata Taro berlebihan.
"Lebay."
"Kenapa harus gebrak meja, sih, Rain. Kan bisa ngomong baik-baik." Kini Mina yang berkomentar. "Kasihan mejanya, kesakitan gara-gara Power of geplakan Lo."
"Ngomong sama kalian gak bisa baik-baik. Capek gue," kesal Rain, lalu berdiri. "Dah, ya. Gue keluar dulu, cari angin," katanya.
Mina langsung berdiri. "Mina ikut, hehe..."
"Dasar si paling ngekor," ucap Taro.
Mina membalas dengan menjulurkan lidahnya.
"Awak ikut juga. Bosan kali di kelas ini." Bonar ikut berdiri.
Taro berkedip cepat. "Lha? Masa gue tinggal sendirian. Kalau gitu, gue juga ikutan, deh."
"Dih, yang bilang orang ngekor. Ternyata dia juga sama. Munafik," ujar Mina.
"Lo?" Taro tidak bisa melanjutkan ucapannya. Ia tidak tahu harus bicara apa lagi saking kesalnya melihat Mina.
"Jangan ada yang ikut. Gue mau sendiri. Stress gue lama-lama sama kalian bertiga. Ribuuuutt aja kerjanya." Rain mendesah lelah. Ayo lah. Tenaganya masih belum terkumpul. Ia masih harus istirahat agar bisa membacot lebih lama.
Bonar menyenggol Mina dan Taro dengan kedua sikunya. "Dengerr," katanya.
"Lo juga." Taro, Mina dan Rain berucap serentak.
Bonar seakan tertekan batin, jiwa, dan raganya. Ia mengusap dadanya dramatis. "Apa salah dan dosaku?" gumamnya.
"Rain!"
Mereka berempat menoleh serempak.
"Ada kating yang nyariin, tuh," kata mahasiswi itu. Dia kawan sekelas Rain.
"Oke."
"Cie-cie, kating yang mana, tuh?"
"Gila. Diam-diam, Rain udah main di belakang."
"Kau ada pacar, Rain? Kating pula itu. Main kali kau, bah."
"Penasaran. Mina mau lihat, dong."
Rain menatap tajam teman-temannya. Kenapa tak ada satu pun temannya yang kalem? Semuanya seperti emak-emak rempong. Mulutnya lemes, seakan diminta untuk dilakban.
"Gue gak ada pacar. Mulutnya jangan asal ceplos." Rain menyipitkan matanya. "Dan, jangan ada yang ngikutin gue. Kalo gak, jangan harap lu bertiga bisa melihat mata hari besok," katanya, lalu keluar dari kelas. Tak lupa, Rain menutup pintu.
"Rain kalau lagi mode riting agak gimana-gimana gitu, ya. Kayak psikopat," kata Mina.
"Cepat kali kau tahu bahasaku. Sudah mulai paham kau, Min," kata Bonar.
"Gak juga. sekali ini aja. Mungkin otak gue agak geser gara-gara kaget dengar gebrakan Rain."
"Dari pada bahas itu, kita mending ngintip siapa kating yang panggil si Rain," kata Taro.
"Lo gak sayang nyawa?"
"Awak, sih, masih sayang nyawa. Awak masih mau balik ke kampung. Gak mau mati dulu."
Taro berdecak. Ia kemudian menunjuk sisi kirinya. "Jendela. Kuy," katanya sambil menaik-turunkan alis.
Bonar dan Minta tersenyum miring. Lantas mereka berdua langsung berlari ke arah jendela. Taro terkejut melihat kegesitan mereka. Ia kemudian mengikut.
Mereka bertiga serempak mengintip dari jendela. Di luar terlihat Rain dan seorang kating cowok berbincang. Lalu beberapa detik kemudian, mereka berdua berjalan meninggalkan tempat itu.
Taro, Bonar, dan Mina mendesah kecewa. Mereka belum sempat melihat apa-apa, Rain dan kating itu malah pergi.
"Ikutin, yok," ajak Taro.
"Gak, le. Aku masih ingin melihat matahari."
"Sama."
Taro memutar bola mata, lalu dengan lemas ia duduk di meja gambar.