Seorang pria muda yang sedang menunggu interview dan seraya menunggu panggilan, dia memilih meluangkan waktunya untuk menjadi driver ojek online, tapi pria yang bernama Junaidi ini cukup apes dan apesnya ini bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali.
Singkatnya, pada malam itu pria muda tersebut tengah terburu-buru untuk mengantarkan pesanannya, tanpa sengaja, dia menyerempet nenek tua yang sedang menyebrang jalan.
Bukannya menolong, dia justru acuh tak acuh dengan alasan takut diberi bintang satu jika terlambat datang.
Namun, siapa sangka kalau nenek yang dia serempet bukanlah sembarang nenek dan setelah malam itu, mata batinnya terbuka. Inilah KUTUKAN SEMBILAN PULUH SEMBILAN HARI yang harus Junaidi terima.
Cerita ini merupakan karya fiksi murni. Nama tempat, kejadian dan karakter yang disebutkan tidak memiliki koneksi dengan kenyataan dan hanya untuk tujuan kreatif semata ditulis oleh Tsaniova.
Jam Update pukul 9.00 pagi dan malam pukul 19.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Hana
Marni yang ikut serta mencari itu tak berhenti berdoa, meminta petunjuk dan meminta pada Tuhan untuk tetap menjaga Hana dimana pun dia berada.
Sementara itu, Sita dan Riri berteriak memanggilnya, mereka berjalan kaki ke arah sekolah yang lumayan cukup jauh. "Hana! Hana!"
"Balik nggak, lu!" ancam Riri seraya terus memukul pantat panci Marni yang berwarna hitam. Mendengar ancaman Riri membuat Sita dan Junaidi menoleh menatap Riri yang suka ceplas-ceplos.
"Hehe, canda aja. Siapa tau Hana jadi nongol, kan," tukas gadis berambut pendek sebahu itu seraya tersenyum manis.
Sekarang, mereka kembali fokus mencari Hana yang mulai sayup-sayup mendengar teriakan ibunya dan juga yang lain. Gadis yang masih jongkok di bawah pohon itu mendongak, dia melihat harapan yang nyata.
Sekarang, Hana bangun, dia menangis haru saat melihat rombongan itu semakin mendekat. Lalu, Hana berteriak memanggil kakaknya yang sepertinya sudah melihat keberadaannya. Benar saja, Junaidi yang berjalan paling depan itu segera berlari menghampiri sang adik yang terlihat ketakutan.
"Hana!" seru Junaidi seraya membawanya ke pelukan.
Sekarang, Sita juga Riri juga menghampirinya. "Lu, ngapain sih di sini, bukannya pulang, bikin panik aja," celetuk Riri.
"Kalau bisa pulang aku udah pulang, Ri. Tapi, aku bolak balik di sini aja, capek tau, takut juga. Aku kira, aku udah mati," sungut Hana yang masih berada di pelukan sang kakak.
Sekarang, Hana melepaskan pelukan itu, dia beralih memeluk ibunya yang terlihat amat sedih juga kecewa. "Maafin Hana, Bu," tangisnya dan Marni mengusap lembut rambut hitam panjang Hana yang dia kuncir kuda.
Sekarang, semua orang pulang kecuali Riri dan Sita yang harus kembali ke sekolah.
Singkat cerita, Marni dan Junaidi sedang mengucapkan terima kasihnya, mereka berdiri di halaman rumahnya.
"Jangan hilang lagi ya, Han," ucap seseorang sebelum pergi dari sana.
"Iya, Bude. Makasih udah bantu cari Hana," sahut gadis cantik itu.
"Ya sudah, ayo masuk!" ajak Marni pada dua anaknya dan meraka pun menurut. Sekarang, Hana dan Junaidi sudah duduk di kursi kayu panjang ruang tamu, menatap adiknya yang terus menunduk.
"Kenapa kamu bohong?" tanya Junaidi dengan datar.
Hana yang mengaku salah itu menoleh, dia menatap kakaknya yang terlihat sangat lelah dan semakin kurus. "Hana takut nggak diijinin pergi, Mas," jawabnya dengan suara lirih, lalu kembali menunduk.
"Kalau dilarang itu berarti orang tua punya pertimbangan sendiri, juga jangan suka memaksakan keadaan," tutur Junaidi yang kemudian bangun dari duduknya, dia sangat lapar karena dari semalam belum makan.
"Gara-gara mata batinku kebuka, aku jadi liat hantu, proses adaptasinya yang bikin kesel, baru nyari duit eh udah ada kabar Hana. Sekarang, isi dompetku yang kembang-kempis." Junaidi bergumam dalam hati, dia pergi ke dapur membuka penanak nasi, dia pun menyendokkan nasi hangat itu ke piring dan membawanya ke kursi meja makan yang usang.
Marni yang memperhatikan dari pintu dapur pun merasa kasian. "Jun, Ibu beli lauk dulu, Ibu sampai lupa masak," ucapnya dan Junaidi yang menoleh itu mengangguk.
Sekarang, Hana menyusul Junaidi ke meja makan, dia duduk di kursi depan sang kakak. "Sekarang, Hana takut kalau harus sendiri, Mas," ungkapnya dan Junaidi merasa iba pada adiknya.
Beruntung, Hana tidak linglung setelah hilang. Lalu, Hana menatap kakaknya. "Kenapa Mas Juna dipanggil nggak noleh coba? Hana tadi lihat Mas Juna naik ojek, lewat depan sekolahan," desis Hana dengan lirikan tajamnya.
"Nggak denger," sahut Junaidi seraya memasukkan nasi hangat itu sedikit demi sedikit ke mulutnya.
"Ibu juga, Ibu bolak-balik padahal, Mas. Tapi, nggak denger Hana panggil, Hana kira Hana udah mati, Mas," sambungnya seraya menitikkan airmata.
"Bukan nggak dengar, kamu itu lagi disembunyiin mahluk astral, jadi kami nggak lihat kamu, Han," sahut Junaidi seraya mengusap airmata adiknya.
"Jangan asal ngomong lagi, juga dimanapun kita berada kita harus tetap ingat pada Sang Maha Kuasa, paham?" tanya Junaidi seraya menatap adiknya.
Hana yang merasa sudah besar itu malu pada kakaknya, dia pun menepiskan tangan itu. "Sekali lagi maafin Hana, ya, Mas," ucapnya dengan lirih, menatap sang kakak yang terlihat mengangguk.
Sekarang, Hana mengembalikan uang yang Junaidi kirimkan. "Uangnya Hana kembalikan, sebenarnya sepatu Hana nggak rusak, Ibu juga udah beliin sepatu baru buat Hana," ungkapnya seraya meletakkan uang itu di meja makan, lalu pergi meninggalkan Junaidi yang terdiam.
"Han... Han, Masmu nyari duit sampai kelaparan kamu malah bohongin Mas!" Junaidi mengambil uangnya, dia kembali menyimpan uang tersebut ke dompetnya.
Hari telah berlalu dan sekarang waktunya Junaidi kembali Kota. Dia juga sudah menceritakan keadaannya pada Marni. "Ini semua pelajaran buat kita, semoga kita semua bisa ambil hikmahnya," tutur Marni seraya menatap anaknya satu persatu.
"Juna berangkat dulu, Bu." Pria itu meraih tangan ibunya, mencium punggung tangan itu dan tak lupa memberikan sedikit uang untuknya.
"Maaf cuma sedikit, Bu. Do'ain biar Juna cepat dapat kerja," pintanya dan Marni mengembalikan uang itu.
"Buat ongkos kamu aja, ibu ada pegangan sendiri, kok," jawab Marni seraya tersenyum.
"Tapi, Bu. Juna pengen ngasih uang buat ibu," ungkap Junaidi seraya menatap uangnya yang kembali ke tangannya.
"Ya, sudah. Saat ini kamu butuh ongkos, nanti kalau udah cukup, Juna bisa kasih ibu lagi, kan?" tanya Marni seraya melipat jari-jemari putranya supaya menggenggam amplopnya lagi.
"Hana juga nggak usah dikasih, Mas. Hana udah nggak mata duitan lagi, Hana mau belajar yang bener," timpal adiknya yang berdiri di sisi ibunya.
Junaidi tersenyum, dia merasa bahagia dan merasa mendapatkan banyak pelajaran setelah malam itu, malam dimana dia tak sengaja menyerempet nenek-nenek.
"Ya sudah, Juna berangkat dulu, Bu... Han. Assalamu'alaikum," ucapnya dengan lirih, dia juga mengusap pucuk kepala adiknya penuh kasih sayang.
Selama perjalanan, Junaidi yang nampaknya sudah akrab dengan penampakan itu terlihat acuh tak acuh, dia seolah tak melihat dan menghindar kontak mata, lebih baik lagi pura-pura tidur sampai stasiun tujuannya.
Sesampainya di kos, Junaidi menghitung kalender dan ternyata dia baru menjalani satu minggu kutukan. "Astaga, masih lama banget," gumamnya seraya menatap kalender yang menempel di dinding.
Lalu, ponselnya yang tergeletak di kasur lepek itu bergetar. Drrrrrrtttt... drrrrrttttt... drrrrrrtttttt, Junaidi segera mengambilnya dan segera menggeser tombol hijau "Halo, ada apa Sam?" tanyanya seraya duduk.
"Ngopi, yuk!" ajak Sami.
"Yuk, lah, gas!" jawab Junaidi seraya bangun, pria berpakaian santai itu mengambil jaketnya yang menggantung di balik pintu. Sekarang berjalan ke area parkir dan mulai menunggangi kuda besinya. Saat keluar dari area parkir, dia sempat menoleh ke warung seberang jalan dan saat itu sesosok pocong dengan pakaian dekilnya tengah berdiri di depan warung, menatapnya.
Deg! Jantung Junaidi seperti tersentak dan saat itu juga dia hilang kendali, praaaakk! Suara Junaidi dan motornya yang terjatuh.
"Pocong sialan!" gerutu Junaidi seraya bangun dari jatuhnya dan saat ini motornya yang lagi-lagi harus mengalami kecelakaan menjadi rusak, mesinnya mati total, padahal motor itu adalah satu-satunya yang dia punya.
"Utang gua sama Rumi udah banyak, kalau motor ini mati, otomatis utang gua tambah, kenapa dah gua apes mulu!" Junaidi mengeluh dalam hati, pria yang sekarang mendorong motor maticnya ke tepian itu sepertinya sudah putus asa, adakah jalan keluar untuknya dari masalah himpitan ekonomi ini?