Loves Ghosts
"Antara bagus tapi mahal dan murah tapi angker, kamu pilih yang mana?"
Rain memutar bola mata. Ia benar-benar jengah dengan pertanyaan kakaknya. Sudah berapa kali kakaknya bertanya?
"Langsung to the point aja, kak! Lo punya duit, gak?" tanya Rain malas.
Satu pukulan hendak mendarat di jidat Rain. Namun, detik itu juga Asyama mengalihkan tangannya mencubit pelan bibir Rain. kakak Rain itu merasa gemas dengan adiknya. "Mulutmu! Kalau gak punya duit, terus ngapain kakak cari kontrakan, Rain? Dan lagi, kamu kalau ngomong sama kakak bisa gak pake gue-lo? Kamu pikir aku ini teman sebayamu?"
"Iya-iya. Maaf!" Rain kemudian mendumel pelan. "Cuma beda beberapa tahun."
Rain kembali lanjut bicara. "Kita pilih yang lebih murah aja. Hitung-hitung, sisanya bisa kita tabung buat perbaikan motor Rain."
"Yakin? Tapi, kata orang angker, loh. Makanya kontrakannya murah," kata Asya. Ia kurang yakin dengan keputusan adiknya.
Rain kembali memutar matanya. "kata orang, kan? Buat memastikan, lebih baik kita langsung survei ke tempatnya. Kalo bener, cari yang lain aja," kata Rain.
Asyama mengangguk setuju. "Oke, deh, kalau gitu. Besok kamu yang ke sana. Periksa baik-baik, karena kakak cantikmu ini harus ngajar besok."
Rain mendelik tak suka. Asyama memang berprofesi sebagai guru di sekolah negeri tingkat menengah. Kakaknya sangat sibuk. Karena selain mengajar di sekolah, ia juga melakukan les di rumah-rumah orang. Kakaknya tidak kenal lelah. Asya bekerja dari pagi sampai malam.
Hanya akhir-akhir ini Asyama tidak sesibuk biasanya. Gadis berusia 25 tahun itu akhir-akhir ini menolak les yang ditawarkan untuknya. Entah karena apa, Rain tidak tahu.
Namun, sekarang Asyama kembali sesibuk biasanya. Rain pasti akan kesepian lagi. Sepertinya, ia harus sering-sering membawa teman kuliahnya ke rumah.
"Masa gue cuma sendirian?" gumam Rain.
"Aku sibuk, Rain," kata Asyama. Gadis itu memasukkan barang-barangnya ke dalam kardus. Beberapa kardus besar sudah terisi dan peralatan lain telah terbungkus dengan dengan rapi. Itulah kegiatan mereka sepanjang hari ini, mengemasi barang-barang yang akan mereka bawa ke tempat baru.
"Besok, gak usah pakai motor. Kalo boleh, jangan terlalu sering pakai motor lagi. Pesan grab aja kalo bisa," kata Asya.
Rain mengernyit bingung. "kenapa? Naik motor lebih irit, gampang, cepet, gak ribet. Kenapa pake grab kalo motor gue ada."
Kegiatan Asya tiba-tiba terhenti. Ia menatap Rain tanpa bicara apa-apa. Rain membalas tatapan kakaknya dengan tatapan bingung.
Tak lama, helaan napas terdengar dari mulut Asya. Ia kemudian melanjutkan kegiatannya yang sempat berhenti. Tanpa menatap Rain, Asya berkata, "kamu dengerin kata kakak sesekali, Rain. Kakak tahu kamu sudah dewasa, sudah bisa mengatur diri sendiri." Ia kemudian menatap Rain dengan tatapan teduh. "Tapi, kakak gak mau kamu kenapa-kenapa. Tolong jaga diri. Apalagi kalau naik motor, jangan suka ngebut-ngebut."
"Aku gak ngebut-ngebut," bantah Rain.
"Kakak tahu kamu. Gak usah membantah."
Rain menutup mulutnya. Ia tidak lagi membalas ucapan kakaknya. Sebenarnya, ia bingung. Kakaknya terlihat aneh akhir-akhir ini. Asya sangat perhatian. Bukan berarti ia tidak pernah mendapat perhatian dari Asya, hanya saja akhir-akhir ini Asya sangat protektif. Berbeda dari biasanya.
"Boleh pakai motor, tapi harus hati-hati," kata Asyama akhirnya ketika melihat Rain terdiam. "Tapi untuk besok, jangan pakai motor dulu. Tunggu motornya diperbaiki. Kita gak tahu kalau motor kamu bisa aja ada kerusakan lain. Nanti bisa bahaya."
Rain akhirnya mengangguk. Namun, satu pertanyaan yang sering ia pikirkan melintas tiba-tiba di kepalanya.
"Kenapa motor gue bisa rusak?"
Asyama menoleh ke arah Rain dengan cepat.
Rain mengerjap melihat tatapan kakaknya. "Maksudnya, kenapa motor aku bisa rusak?" katanya mengubah kosa katanya.
Asya tidak menjawab. Dan hal itu jelas membuat Rain semakin kesal dengan kakaknya. Kenapa Asya seperti memiliki masalah dengan motornya itu?
"Nah, diem lagi, kan. Heran!" kesal Rain.
"Jatuh."
"Masa cuma jatuh bisa separah itu."
Asya menatap tajam. "Diem! Gak usah banyak tanya. Kerjaan kamu masih banyak itu. Lanjutkan sekarang, atau barang-barang kamu tinggal nanti semuanya."
Rain menggerutu. "Dih, gitu aja marah," katanya seraya mulai menyusun barangnya satu-persatu.
Asyama melihat itu sebentar. Lalu ia menghela napas seraya memejamkan mata sebentar. Tak lama kemudian, ia kembali melakukan kegiatan awalnya.
Mereka diam dalam keadaan saling melakukan kegiatan masing-masing. Hingga beberapa lama waktunya, akhirnya Rain memecah keheningan.
"Kak!"
"Hm?"
"Gue- maksudnya, aku kan masuk Minggu lalu."
"Hm... Trus?"
"Aku gak sempat cerita sama kakak. Minggu lalu, pas aku masuk, tiba-tiba aja dosen yang aku temui kasih aku banyak tugas. Berapa bulan kita jalan-jalan? Kenapa tugas aku bisa sebanyak itu?"
Asya menoleh cepat. Aktivitasnya langsung berhenti. "lumayan lama," katanya lalu menunduk kembali bekerja.
Rain ragu dengan jawaban itu. Asya seperti menghindari tatapannya.
"kenapa gue gak ingat?" gumamnya.
"Jangan dipikirkan, Rain. Kamu demam tinggi sepulang jalan-jalan. Badan kamu panasnya kayak api. Kata dokter, panasnya berpengaruh ke otak kamu. Makanya kamu gak ingat kejadiannya. Udah, jangan lagi berpikir banyak. Nanti kamu sakit lagi," jelas Asyama.
Rain menatap ragu kakaknya.
Asya seolah tahu isi kepala Rain. Gadis itu menghela napas. "Perlahan kamu pasti ingat."
"Yakin?"
"Hmm," jawab Asya tanpa melihat Rain.
Rain akhirnya kembali diam. Ia tidak tahu harus percaya dengan Asya atau tidak. Sebab, ia benar-benar tidak ingat kapan ia jalan-jalan dengan kakaknya itu.
Satu bulan yang lalu, Rain hanya melihat ruangan penuh alat medis. Rain tidak tahu pastinya. Namun, seingatnya, ketika membuka mata, hanya suasana rumah sakit itu yang ia lihat. Lalu, beberapa saat kemudian, keluarganya berbondong-bondong masuk ke ruangan tempatnya terbaring.
Rain masih ingat, waktu itu ayahnya dan kedua saudara ayahnya ada di sana. Karena ayahnya tinggal jauh di kota lain, kota asal mereka. Ia, paman dan kakaknya hanya perantau di kota ini. Menempuh pendidikan di kota ini bersama.
Saat itu, Rain benar-benar terkejut ketika melihat Ayah dan kedua pamannya ada di sana. Saat itulah mereka menjelaskan jika Rain demam tinggi hingga membuatnya lupa beberapa hal. Tapi, Rain benar-benar masih ragu dengan itu. Sekarang, Asya kembali menjelaskannya.
Ayah dan satu pamannya sudah kembali ke kota asal. Sementara pamannya satu lagi tinggal di kota ini menempuh pendidikannya untuk mencapai gelas Master. Dan satu hal, pamannya yang bernama Medra itu satu kampus dan satu jurusan dengan Rain. Awal Rain tertarik dengan jurusannya juga karena mengikuti jejak pamannya.
Rain jelas ingat tentang mereka. Tapi, tetap saja walau ia tahu alasannya, pertanyaan itu selalu muncul di otaknya. Kenapa ia tak ingat sepenggal kejadian itu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments