Loves Ghosts

Loves Ghosts

Bab 1

"Antara bagus tapi mahal dan murah tapi angker, kamu pilih yang mana?"

Rain memutar bola mata. Ia benar-benar jengah dengan pertanyaan kakaknya. Sudah berapa kali kakaknya bertanya?

"Langsung to the point aja, kak! Lo punya duit, gak?" tanya Rain malas.

Satu pukulan hendak mendarat di jidat Rain. Namun, detik itu juga Asyama mengalihkan tangannya mencubit pelan bibir Rain. kakak Rain itu merasa gemas dengan adiknya. "Mulutmu! Kalau gak punya duit, terus ngapain kakak cari kontrakan, Rain? Dan lagi, kamu kalau ngomong sama kakak bisa gak pake gue-lo? Kamu pikir aku ini teman sebayamu?"

"Iya-iya. Maaf!" Rain kemudian mendumel pelan. "Cuma beda beberapa tahun."

Rain kembali lanjut bicara. "Kita pilih yang lebih murah aja. Hitung-hitung, sisanya bisa kita tabung buat perbaikan motor Rain."

"Yakin? Tapi, kata orang angker, loh. Makanya kontrakannya murah," kata Asya. Ia kurang yakin dengan keputusan adiknya.

Rain kembali memutar matanya. "kata orang, kan? Buat memastikan, lebih baik kita langsung survei ke tempatnya. Kalo bener, cari yang lain aja," kata Rain.

Asyama mengangguk setuju. "Oke, deh, kalau gitu. Besok kamu yang ke sana. Periksa baik-baik, karena kakak cantikmu ini harus ngajar besok."

Rain mendelik tak suka. Asyama memang berprofesi sebagai guru di sekolah negeri tingkat menengah. Kakaknya sangat sibuk. Karena selain mengajar di sekolah, ia juga melakukan les di rumah-rumah orang. Kakaknya tidak kenal lelah. Asya bekerja dari pagi sampai malam.

Hanya akhir-akhir ini Asyama tidak sesibuk biasanya. Gadis berusia 25 tahun itu akhir-akhir ini menolak les yang ditawarkan untuknya. Entah karena apa, Rain tidak tahu.

Namun, sekarang Asyama kembali sesibuk biasanya. Rain pasti akan kesepian lagi. Sepertinya, ia harus sering-sering membawa teman kuliahnya ke rumah.

"Masa gue cuma sendirian?" gumam Rain.

"Aku sibuk, Rain," kata Asyama. Gadis itu memasukkan barang-barangnya ke dalam kardus. Beberapa kardus besar sudah terisi dan peralatan lain telah terbungkus dengan dengan rapi. Itulah kegiatan mereka sepanjang hari ini, mengemasi barang-barang yang akan mereka bawa ke tempat baru.

"Besok, gak usah pakai motor. Kalo boleh, jangan terlalu sering pakai motor lagi. Pesan grab aja kalo bisa," kata Asya.

Rain mengernyit bingung. "kenapa? Naik motor lebih irit, gampang, cepet, gak ribet. Kenapa pake grab kalo motor gue ada."

Kegiatan Asya tiba-tiba terhenti. Ia menatap Rain tanpa bicara apa-apa. Rain membalas tatapan kakaknya dengan tatapan bingung.

Tak lama, helaan napas terdengar dari mulut Asya. Ia kemudian melanjutkan kegiatannya yang sempat berhenti. Tanpa menatap Rain, Asya berkata, "kamu dengerin kata kakak sesekali, Rain. Kakak tahu kamu sudah dewasa, sudah bisa mengatur diri sendiri." Ia kemudian menatap Rain dengan tatapan teduh. "Tapi, kakak gak mau kamu kenapa-kenapa. Tolong jaga diri. Apalagi kalau naik motor, jangan suka ngebut-ngebut."

"Aku gak ngebut-ngebut," bantah Rain.

"Kakak tahu kamu. Gak usah membantah."

Rain menutup mulutnya. Ia tidak lagi membalas ucapan kakaknya. Sebenarnya, ia bingung. Kakaknya terlihat aneh akhir-akhir ini. Asya sangat perhatian. Bukan berarti ia tidak pernah mendapat perhatian dari Asya, hanya saja akhir-akhir ini Asya sangat protektif. Berbeda dari biasanya.

"Boleh pakai motor, tapi harus hati-hati," kata Asyama akhirnya ketika melihat Rain terdiam. "Tapi untuk besok, jangan pakai motor dulu. Tunggu motornya diperbaiki. Kita gak tahu kalau motor kamu bisa aja ada kerusakan lain. Nanti bisa bahaya."

Rain akhirnya mengangguk. Namun, satu pertanyaan yang sering ia pikirkan melintas tiba-tiba di kepalanya.

"Kenapa motor gue bisa rusak?"

Asyama menoleh ke arah Rain dengan cepat.

Rain mengerjap melihat tatapan kakaknya. "Maksudnya, kenapa motor aku bisa rusak?" katanya mengubah kosa katanya.

Asya tidak menjawab. Dan hal itu jelas membuat Rain semakin kesal dengan kakaknya. Kenapa Asya seperti memiliki masalah dengan motornya itu?

"Nah, diem lagi, kan. Heran!" kesal Rain.

"Jatuh."

"Masa cuma jatuh bisa separah itu."

Asya menatap tajam. "Diem! Gak usah banyak tanya. Kerjaan kamu masih banyak itu. Lanjutkan sekarang, atau barang-barang kamu tinggal nanti semuanya."

Rain menggerutu. "Dih, gitu aja marah," katanya seraya mulai menyusun barangnya satu-persatu.

Asyama melihat itu sebentar. Lalu ia menghela napas seraya memejamkan mata sebentar. Tak lama kemudian, ia kembali melakukan kegiatan awalnya.

Mereka diam dalam keadaan saling melakukan kegiatan masing-masing. Hingga beberapa lama waktunya, akhirnya Rain memecah keheningan.

"Kak!"

"Hm?"

"Gue- maksudnya, aku kan masuk Minggu lalu."

"Hm... Trus?"

"Aku gak sempat cerita sama kakak. Minggu lalu, pas aku masuk, tiba-tiba aja dosen yang aku temui kasih aku banyak tugas. Berapa bulan kita jalan-jalan? Kenapa tugas aku bisa sebanyak itu?"

Asya menoleh cepat. Aktivitasnya langsung berhenti. "lumayan lama," katanya lalu menunduk kembali bekerja.

Rain ragu dengan jawaban itu. Asya seperti menghindari tatapannya.

"kenapa gue gak ingat?" gumamnya.

"Jangan dipikirkan, Rain. Kamu demam tinggi sepulang jalan-jalan. Badan kamu panasnya kayak api. Kata dokter, panasnya berpengaruh ke otak kamu. Makanya kamu gak ingat kejadiannya. Udah, jangan lagi berpikir banyak. Nanti kamu sakit lagi," jelas Asyama.

Rain menatap ragu kakaknya.

Asya seolah tahu isi kepala Rain. Gadis itu menghela napas. "Perlahan kamu pasti ingat."

"Yakin?"

"Hmm," jawab Asya tanpa melihat Rain.

Rain akhirnya kembali diam. Ia tidak tahu harus percaya dengan Asya atau tidak. Sebab, ia benar-benar tidak ingat kapan ia jalan-jalan dengan kakaknya itu.

Satu bulan yang lalu, Rain hanya melihat ruangan penuh alat medis. Rain tidak tahu pastinya. Namun, seingatnya, ketika membuka mata, hanya suasana rumah sakit itu yang ia lihat. Lalu, beberapa saat kemudian, keluarganya berbondong-bondong masuk ke ruangan tempatnya terbaring.

Rain masih ingat, waktu itu ayahnya dan kedua saudara ayahnya ada di sana. Karena ayahnya tinggal jauh di kota lain, kota asal mereka. Ia, paman dan kakaknya hanya perantau di kota ini. Menempuh pendidikan di kota ini bersama.

Saat itu, Rain benar-benar terkejut ketika melihat Ayah dan kedua pamannya ada di sana. Saat itulah mereka menjelaskan jika Rain demam tinggi hingga membuatnya lupa beberapa hal. Tapi, Rain benar-benar masih ragu dengan itu. Sekarang, Asya kembali menjelaskannya.

Ayah dan satu pamannya sudah kembali ke kota asal. Sementara pamannya satu lagi tinggal di kota ini menempuh pendidikannya untuk mencapai gelas Master. Dan satu hal, pamannya yang bernama Medra itu satu kampus dan satu jurusan dengan Rain. Awal Rain tertarik dengan jurusannya juga karena mengikuti jejak pamannya.

Rain jelas ingat tentang mereka. Tapi, tetap saja walau ia tahu alasannya, pertanyaan itu selalu muncul di otaknya. Kenapa ia tak ingat sepenggal kejadian itu?

Episodes
1 Bab 1
2 Sosok di Rooftop
3 Jadi namanya Ghio?
4 Bukan mimpi
5 Makasih, Ghio.
6 perkara kating
7 mama dan Ghio
8 keluarga Ghio, Rain.
9 Perasaan Rain
10 Informasi tentang Ghio
11 Belanja
12 Ingatan Ghio
13 Kabar Yang Ditunggu-tunggu.
14 Kotak Foto
15 Getaran Rindu
16 Jantung Rain tak aman
17 Teman Ghio, Reno.
18 Mencari Reno
19 Antara Hati dan Pikiran
20 Kencan?
21 Mimpi Rain
22 Selaksa Rasa Penasaran yang Kelabu
23 Perasaan Yang Salah
24 Menghilangnya Ghio
25 Jika Ini Mimpi, Aku Tak Ingin Bangun
26 Kemarahan Rain dan Sebuah Pengakuan
27 Jiwa dan Tubuh Ghio
28 Apakah Dia Mencintainya?
29 Tempat Tidur Ternyaman
30 Antara Percaya atau Tidak
31 Teman-Teman Ghio
32 Cemburunya Ghio Memang Aneh
33 Mural
34 Transfusi Darah
35 Rahasia Rain Yang Terkuak
36 Sesuatu Yang Seharusnya Tidak Berpisah
37 Dua Sahabat
38 Fakta Baru
39 Surprise!
40 Benar-Benar Pacaran!
41 Kecelakaan
42 Kabar Tentang Rain
43 Memory
44 Penyesalan
45 Korban Lain
46 Salah Rain?
47 Penolakan
48 Keputusan Gelora
49 Keputusan Gelora II
50 Mencari Ghio Lagi
51 Ingatan Itu Lagi
52 "Aku akan bertanggung jawab!"
53 Donor Darah
54 Semangat Baru
55 Pertemanan yang Baru
56 Penantian Setengah Tahun
57 Satu Fakta Lagi
58 Dilupakan Begitu Saja?
59 Bab 59
60 Sudah Lama Sekali
61 Jangan Pergi!
62 Selalu Melihat, Hingga Tidak Berani Melihat
63 Pengungkapan
64 Memulihkan Hati
65 Perasaan Aneh
66 Tembok Tinggi
67 Penguntit?
68 Pengakuan Ghio
69 Kenangan
70 Bertemu Lagi
Episodes

Updated 70 Episodes

1
Bab 1
2
Sosok di Rooftop
3
Jadi namanya Ghio?
4
Bukan mimpi
5
Makasih, Ghio.
6
perkara kating
7
mama dan Ghio
8
keluarga Ghio, Rain.
9
Perasaan Rain
10
Informasi tentang Ghio
11
Belanja
12
Ingatan Ghio
13
Kabar Yang Ditunggu-tunggu.
14
Kotak Foto
15
Getaran Rindu
16
Jantung Rain tak aman
17
Teman Ghio, Reno.
18
Mencari Reno
19
Antara Hati dan Pikiran
20
Kencan?
21
Mimpi Rain
22
Selaksa Rasa Penasaran yang Kelabu
23
Perasaan Yang Salah
24
Menghilangnya Ghio
25
Jika Ini Mimpi, Aku Tak Ingin Bangun
26
Kemarahan Rain dan Sebuah Pengakuan
27
Jiwa dan Tubuh Ghio
28
Apakah Dia Mencintainya?
29
Tempat Tidur Ternyaman
30
Antara Percaya atau Tidak
31
Teman-Teman Ghio
32
Cemburunya Ghio Memang Aneh
33
Mural
34
Transfusi Darah
35
Rahasia Rain Yang Terkuak
36
Sesuatu Yang Seharusnya Tidak Berpisah
37
Dua Sahabat
38
Fakta Baru
39
Surprise!
40
Benar-Benar Pacaran!
41
Kecelakaan
42
Kabar Tentang Rain
43
Memory
44
Penyesalan
45
Korban Lain
46
Salah Rain?
47
Penolakan
48
Keputusan Gelora
49
Keputusan Gelora II
50
Mencari Ghio Lagi
51
Ingatan Itu Lagi
52
"Aku akan bertanggung jawab!"
53
Donor Darah
54
Semangat Baru
55
Pertemanan yang Baru
56
Penantian Setengah Tahun
57
Satu Fakta Lagi
58
Dilupakan Begitu Saja?
59
Bab 59
60
Sudah Lama Sekali
61
Jangan Pergi!
62
Selalu Melihat, Hingga Tidak Berani Melihat
63
Pengungkapan
64
Memulihkan Hati
65
Perasaan Aneh
66
Tembok Tinggi
67
Penguntit?
68
Pengakuan Ghio
69
Kenangan
70
Bertemu Lagi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!