Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meminta Restu Mencari Wali
Bab 6
Elara melangkah keluar dari kamar istirahat Zayden dengan wajah merah padam. Pikirannya berputar kencang, memproses apa yang baru saja terjadi. Rasanya tidak masuk akal, bagaimana Zayden bisa memiliki pikiran seburuk itu tentangnya. Dia mencoba mengatur napas, namun jantungnya berdegup semakin kencang ketika Zayden tiba-tiba muncul di hadapannya.
Zayden mengejar Elara, langkah kakinya terdengar berat di lantai marmer yang mengkilap. Saat Elara mencapai pintu, tangannya meraih gagang pintu, tetapi tidak bisa memutarnya. Terkunci.
"Tuan Zayden, buka pintunya!" seru Elara, nadanya penuh amarah dan frustasi. Namun, Zayden hanya menatapnya dari belakang dengan senyuman tipis.
"Elara, tenanglah dulu. Kita perlu bicara," jawab Zayden dengan nada yang lebih tenang namun penuh ketegasan.
Elara menggelengkan kepalanya, menahan air mata yang hampir tumpah. "Aku sudah muak dengan semua ini. Kamu pikir aku bisa terus menerima perlakuan seperti ini?"
Zayden mendekat, dan dengan satu gerakan cepat, dia menarik tangan Elara. Gadis itu terkejut, tubuhnya terjerat dalam pelukan erat Zayden. Meski Elara meronta, usahanya sia-sia. Tenaga Zayden jauh lebih besar, dan dia tidak memberi ruang bagi Elara untuk meloloskan diri.
"Tuan Zayden, lepaskan aku!" Elara berusaha melepaskan diri, suaranya serak dan marah.
Namun, Zayden hanya memandangnya dengan sorot mata yang dingin dan serius. "Elara, dengarkan aku. Aku tidak akan membiarkanmu pergi sebelum kita menyelesaikan ini."
Dengan susah payah, Zayden mengeluarkan kotak kecil dari saku jasnya. Sebuah kotak cincin. Elara terdiam, matanya melebar melihat kotak itu. Tangan Zayden gemetar sedikit saat ia membuka kotaknya, memperlihatkan cincin berlian yang bersinar di bawah cahaya ruangan.
"Aku ingin menikahimu, Elara. Hari ini, di sini," Zayden berkata dengan suara rendah namun jelas, tatapan matanya tajam menusuk.
Elara terperangah. "Itu sudah kita bicarakan kemarin malam. Tapi karena kejadian barusan, sepertinya aku mundur saja."
"Tidak Elara, maafkan aku. Lupakan yang tadi, anggap itu hanya kegilaanku saja."
"Dan, Tuan juga sudah punya istri kan? Aku tidak mau hanya jadi simpanan, atau nikah di bawah tangan." Elara dengan suara tercekik, dadanya terasa sesak, mencoba tegas, demi mempertahankan hak dan harga dirinya.
Zayden menarik napas panjang, tampak sejenak ragu. "Semua ini akan jelas saat kau menjadi bagian dari keluarga Levano. Ada banyak hal yang belum kau pahami. Tapi percayalah, ini bukan tentang cinta yang sederhana. Aku tidak bisa menceritakan sekarang."
"Tuan, kau tidak bisa begitu saja menyuruhku percaya!" Elara balas dengan getir. "Aku tidak mengerti, Tuan Zayden. Kenapa harus aku?"
Zayden mengalihkan pandangannya, jelas tidak ingin menjelaskan lebih jauh. "Nanti kau akan tahu, Elara. Saat waktunya tiba, semuanya akan masuk akal."
"Baik. Namun, semua pengaturan pernikahan, aku yang membuat konsepnya dan ada perjanjian pra nikah. Itu pun aku yang buat."
"Baik. Aku setuju." Dengan mantap dan tegas, Zayden tanpa keraguan menyetujui apa yang Elara pinta.
Satu sisi Elara bahagia, satu sisi merasa heran. Kenapa orang kaya ini begitu saja bisa dikendalikan olehnya? Apa sebenarnya tujuan dia ingin segera menikah. Entah karena wanita yang akan dinikahi adalah Elara atau ada rencana terselubung di balik pernikahan terburu-buru ini?
Elara mereda, dia kembali ke kamar istirahat milik Zayden yang ada di dalam kantor pribadinya itu. Membersihkan diri, kemudian mengganti seragamnya dengan pakaian bebas. Itu bisa membuat perbincangan lebih leluasa dan santai.
**
Pukul delapan malam, Elara baru sampai ruman, dia merasa dunianya jungkir balik. Pikiran tentang lamaran Zayden masih menghantui kepalanya. Namun, saat memasuki rumah, suasana sepi menyambutnya. "Ibu?" panggil Elara sambil meletakkan tasnya di meja.
Zeni, adik laki-laki Elara, muncul dari dalam kamar dengan wajah datar. "Ibu di rumah Bibi, ada hajatan," katanya singkat.
Elara mendengkus. "Lagi-lagi di rumah Bibi Yeyen?"
Zeni mengangkat bahu, tak ingin ikut campur. "Iya, katanya bantu-bantu. Kenapa?"
Elara mengerutkan kening, perasaan jengkel yang tadi ditahannya mulai membara lagi. Tanpa berpikir panjang, dia langsung berlari keluar rumah menuju rumah Bibi Yeyen. Amarahnya tak bisa lagi diredam, terutama setelah apa yang terjadi di kantor Zayden tadi.
Sesampainya di rumah Bibi Yeyen, Elara langsung berteriak. "Ibu!" suaranya menggema di halaman rumah yang luas. Para tamu yang berada di sana menatapnya dengan tatapan heran, namun Elara tidak peduli. Ia terus memanggil.
Ibunya, Bu Nira, muncul dari dalam rumah dengan wajah cemas. "Elara! Kenapa kamu teriak-teriak seperti ini? Berlaku sopan, Nak," tegur Bu Nira dengan lembut namun tegas.
Elara tidak memperdulikan teguran itu. "Kenapa Ibu di sini lagi? Kenapa Ibu terus-terusan jadi babu di rumah orang lain? Ini tidak benar!" kata Elara dengan nada tinggi, suaranya bergetar penuh kemarahan.
Bibi Yeyen yang sedang sibuk melayani tamu langsung menoleh, jelas tak suka mendengar ocehan Elara.
"Apa yang kamu bilang, Elara? Jangan sok merasa lebih tinggi. Kalau kalian orang miskin, sadar dirilah! Wajar kalau Ibu kamu harus jual tenaga. Yang penting, bisa makan dan hidup!"
Elara mengepalkan tinjunya, menahan diri untuk tidak meledak. Tanpa memperdulikan ocehan Bibi Yeyen, dia menarik tangan ibunya, memaksa Bu Nira untuk pergi bersamanya. "Ayo, Bu. Kita pulang. Aku nggak mau lihat Ibu dihina terus."
Bu Nira hanya bisa menurut, meski hatinya penuh kekhawatiran. Dia tahu, Elara sedang dalam keadaan emosi dan pasti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
**
Sampai di rumah, Elara duduk di ruang tamu dengan napas tersengal. Ia tahu apa yang akan dikatakannya selanjutnya akan mengejutkan ibunya, tapi ia tidak peduli.
"Bu, aku mau menikah," katanya tanpa basa-basi.
Mata Bu Nira melebar tak percaya. "Apa yang kamu bilang, Elara? Menikah? Kamu baru 17 tahun! Sekolahmu tinggal satu tahun lagi. Jangan bikin masalah!" seru Bu Nira, suaranya bergetar antara marah dan khawatir.
Elara menundukkan kepalanya. "Aku serius, Bu. Aku ingin menikah," ulangnya dengan suara lirih.
Bu Nira menggelengkan kepala, masih tidak percaya. "Apa kamu hamil duluan? Itu sebabnya kamu pengen cepat-cepat nikah?" tanya Bu Nira dengan nada curiga.
"Bu! Tentu saja tidak!" Elara berseru, hatinya tersinggung. Namun, di dalam lubuk hatinya, dia tahu keputusannya akan membawa lebih banyak masalah. Tapi dia juga tahu, ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kekacauan yang terjadi dalam hidupnya.
Elara duduk di hadapan ibunya, Bu Nira, di ruang tamu sederhana yang terbuat dari dinding bata yang sudah mulai memudar warnanya. Mata gadis itu menatap tajam, seolah menuntut restu, bukan hanya sekadar persetujuan. Suara detak jam di dinding mengiringi keheningan yang terasa menyesakkan. Bu Nira tahu bahwa putrinya ini tidak akan menyerah begitu saja.
"Bu, aku nggak minta banyak. Aku cuma minta ibu merestui pernikahan ini. Bukan berarti aku minta biaya, apalagi hal-hal aneh lainnya." Elara menarik napas dalam-dalam, suaranya tegas, namun ada kegelisahan di balik kata-katanya. "Tuan Zayden orang yang sangat kaya. Dia bisa menjamin masa depanku. Juga Ibu dan adik-adiku."
Bu Nira terdiam. Sejenak, hatinya berperang antara ingin melindungi Elara dari keputusan yang ia rasa terlalu cepat dan keinginan untuk melihat putrinya bahagia. Elara memang sudah besar, tapi umur 17 tahun bagi Bu Nira masih terlalu muda untuk menikah. Apalagi, anak gadisnya belum lulus sekolah. Namun, ia mengenal Elara, sekali anak itu sudah berkeinginan, tak ada yang bisa menghentikannya.
"Tapi siapa yang akan jadi walimu, Nak?" tanya Bu Nira dengan suara lemah. "Ayahmu sudah meninggal, tidak ada saudara laki-laki yang bisa jadi wali. Paman-pamanmu? Mereka semua itu..."
Bersambung....