Jadi Kedua? Hayu!
Bab 1
"Jadi, apa yang sebenarnya Kakek inginkan dariku?" Zayden duduk tegap di sofa ruang kerja kakeknya, Abraham Levano.
Cahaya lampu kristal di atas mereka menyinari ruangan dengan kemegahan yang terasa dingin. Suara percakapan terdengar berat, seperti selalu ada yang tersimpan di antara tiap kata yang diucapkan.
Abraham menatap cucunya dengan tatapan tajam, seakan menilai setiap gerakan tubuhnya.
"Aku ingin kau mencari seorang gadis," katanya perlahan, mengeluarkan amplop tebal dari laci mejanya. "Namanya Elara. Aku baru saja mendapatkan kabar bahwa dia bekerja sebagai wanita penghibur di klub-klub malam." Kata-katanya terhenti, memberikan waktu bagi Zayden untuk meresapi informasi itu.
Zayden mengangkat alis, tatapan matanya jelas menunjukkan ketidaknyamanan. "Apa hubungannya aku dengan gadis ini? Pekerjaanku sudah cukup banyak tanpa harus mencari seseorang di klub malam, Kakek."
Abraham mendengkus pelan, menggelengkan kepala dengan sabar. "Kau tak mengerti. Ini lebih dari sekadar permintaan biasa. Keluarga kita—perusahaan kita—berhutang budi pada keluarga Elara. Kakeknya adalah orang yang menolong bisnis kita di masa sulit, dan aku berjanji akan menjaga keturunannya." Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya menjadi lebih dalam, lebih serius. "Elara dalam bahaya. Persaingan bisnis saat ini semakin kejam, kau tahu. Dia bisa menjadi sasaran empuk untuk disingkirkan jika tidak ada yang melindunginya."
"Lalu, jika aku menemukannya. Dibawa ke sini. Begitu?"
"Tidak. Kau harus menikah dengannya."
Zayden memijit pelipisnya, merasa penjelasan kakeknya hanya membuat segalanya lebih rumit.
"Persaingan bisnis kejam? Ini bukan urusanku, Kek. Lagipula, aku sudah menikah. Laura dan aku masih... meskipun hubungan kami tak sempurna, kami tetap terikat dalam pernikahan." Nadanya dingin, seakan mencoba menegaskan batas.
Abraham memutar bola matanya, seolah menunggu reaksi semacam itu. "Justru itulah, Zayden. Kau menikah dengan Laura, tapi kau dan aku sama-sama tahu ada sesuatu yang tak beres di sana." Suaranya merendah, nyaris berbisik, membuat suasana semakin tegang. "Apalagi dengan isu bahwa Laura sedang hamil. Kau ingat dokter mengatakan apa padamu? Kau tak bisa punya anak, Zayden. Bayi yang dikandung Laura... bukan darahmu."
Zayden tersentak, meski ia sudah menduga pembicaraan ini akan ke arah itu. Kakeknya bukan orang yang suka berbasa-basi, terlebih ketika ada masalah yang menyentuh martabat keluarga.
"Aku tak peduli tentang itu, Kakek. Perkawinan ini adalah komitmen, meski... meski aku tahu ada yang salah. Aku tetap bertanggung jawab."
"Kau bisa bertanggung jawab, tapi jangan biarkan dirimu terjebak lebih dalam lagi."
Abraham bersandar, tangannya bergerak perlahan membuka amplop di mejanya dan menyerahkan foto Elara. "Menikahlah dengan Elara. Ini bukan hanya soal menjaga citra keluarga kita, tapi juga membuktikan pada dunia bahwa Laura berbohong. Jika kau menikahi Elara, terbukti kau tidak mendapatkan anak darinya, itu akan menjadi bukti sahih bahwa kau mandul dan anak yang dikandung Laura bukanlah keturunanmu."
Zayden menatap foto itu, memperhatikan wajah Elara yang tampak rapuh di balik keremangan klub malam tempat dia bekerja. Wajahnya cantik, tapi ada sesuatu di matanya—kesedihan yang tak bisa disembunyikan, atau mungkin keputusasaan.
"Jadi Kakek ingin aku menikahi Elara hanya demi menghancurkan reputasi Laura?" Zayden mendesah berat, tidak percaya ini benar-benar terjadi. "Ini... bukan hanya bisnis, Kek. Ini hidupku."
Abraham menggeleng pelan, wajahnya masih tegas. "Zayden, jangan berpikir ini hanya tentang Laura. Ini tentang melindungi gadis itu—Elara. Dunia bisnis ini kejam. Kau tahu bagaimana persaingan bisa menggilas siapa saja yang lemah. Jika kau tidak melindunginya, dia akan terseret lebih dalam, dan mungkin akan hancur sebelum sempat mendapatkan kesempatan untuk hidup yang lebih baik."
Zayden terdiam. Di satu sisi, dia tidak ingin terlibat dalam kehidupan orang lain lagi. Namun, di sisi lain, tanggung jawab keluarganya dan masa depan Elara membuat situasinya tidak sesederhana itu.
"Dan jika aku menolak?" Zayden menatap lurus ke mata kakeknya, mencoba mencari celah untuk keluar dari situasi ini.
Abraham mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya rendah dan tegas. "Kau tidak bisa menolak, Zayden. Ini adalah warisan keluarga. Kakek Elara menyelamatkan kita di masa lalu, dan sekarang giliran kita untuk membalasnya. Lagipula," dia tersenyum tipis, "kau sudah tahu bahwa hubunganmu dengan Laura tidak sehat. Jadi apa salahnya menambah satu istri lagi? Bukankah itu juga solusi untuk semua masalah ini?"
Zayden menarik napas panjang, memejamkan matanya sejenak, mencoba menenangkan pikiran yang berkecamuk. Dia tahu, tidak ada gunanya berdebat lebih jauh. Kakeknya adalah pria yang selalu mendapatkan apa yang diinginkannya, dan Zayden terlalu menghargai keluarga untuk membiarkan janji lama itu dilanggar.
"Baik," Zayden akhirnya berkata, suaranya penuh ketidakrelaan. "Aku akan mencari Elara. Tapi hanya karena kau memintaku melakukannya. Jangan berharap lebih dariku, Kek."
Abraham tersenyum puas, meski matanya tetap tajam. "Itu yang aku harapkan darimu, cucuku. Segera temukan dia, sebelum orang lain melakukannya."
Zayden pergi dari kediaman sang Kakek. Sambil melangkah menuju mobilnya, dia menghubungi salah satu sopirnya -- Pak Sobri -- untuk menemuinya di club' yang sudah ia tulis pada pesan singkat, sesuai petunjuk yang Kakeknya berikan.
Derrrt...!
Derrrt...!
"Iya Tuan Noval?" Zayden menerima panggilan dari rekan bisnisnya.
Suasana hening, Zayden sedang menyimak pembicaraan dari Tuan Noval.
"Club' Hot Night? Baiklah, saya segera ke sana," sahut Zayden merespons apa yang Tuan Noval sampaikan.
Zayden melajukan mobilnya dengan tenang, meski dalam pikirannya berkecamuk. Dia masih tidak bisa jika harus mengkhianati Laura, meski benar yang kakeknya katakan. Secara tidak langsung istrinya sudah mengkhianati duluan.
Saking menjaga kepercayaan Laura, Zayden tidak pernah menyetujui jika rekan bisnis atau kliennya meminta pertemuan di tempat hiburan seperti club' malam. Namun, malam ini karena mendengar tempat Club Ho Night, Zayden setuju, tempat itu adalah yang dia tuju atas perintah kakeknya.
"Pak Sobri, cari orang ini. Saat aku sampai, aku ingin orang itu tetep di sana." Zayden mengirim pesan kembali pada Pak Sobri.
***
Setelah sampai pada tempat yang dituju, Zayden memberikan kunci mobilnya pada petugas parkir, untuk memarkir di tempatnya. Di sana sudah ada Pak Sobri yang menyambut di depan pintu club'.
"Bagaimana Pak, sudah dicari?" tanya Zayden sambil melangkah memasuki gedung remang-remang tersebut.
"Sudah Tuan, tapi...." Pak Sobri sedikit bingung menyampaikan apa yang dia lihat.
"Katakan," pinta Zayden dengan labhkah yang masih terjaga tegap dan percaya diri.
"Dia wanita penghibur, Tuan. Aku lihat dia..."
"Cukup! Memang itu yang aku cari."
Pak Sobri cukup terkejut jawaban bos-nya. Setau dirinya, Zayden tidak akan main wanita. Laura adalah wanita pilihannya yang dinikahi dengan mewah.
"Di mana dia?" tanya Zayden lagi.
"Em ... anu Tuan. Sedang sama, pria." Pak Sobri menjawab lirih.
Zayden tak merespons, dia malah membayangkan betapa jijiknya gadis itu meladeni nafsu bejat para hidung belang.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments