abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Jerat Tanpa Jalan Keluar
Lorong-lorong kastil terasa semakin panjang dan mencekam. Langkah-langkah mereka menggema, seolah-olah ada yang mengikuti dari belakang. Udara dingin menyelimuti mereka, menusuk hingga ke tulang. Isabella memimpin di depan, meskipun pikirannya dipenuhi keraguan dan ketakutan. Setelah apa yang terjadi dengan cermin di ruangan tadi, mereka semua tahu bahwa kastil ini bukan sekadar bangunan tua. Ada sesuatu—atau seseorang—yang ingin mereka tetap berada di sini, hingga maut menjemput.
“Ke mana kita harus pergi sekarang?” Maria bertanya dengan suara gemetar. Ia memegang lengan Jonathan erat-erat, seperti seorang anak kecil yang ketakutan pada gelap.
“Kita harus mencari jalan keluar,” kata Viktor dengan tegas. Namun nada suaranya tidak bisa menyembunyikan ketakutannya. “Pintu utama mungkin sudah terkunci, tapi pasti ada jalan rahasia di kastil ini.”
Isabella mengangguk sambil terus berjalan. Ia tahu Viktor benar. Kastil sebesar ini pasti memiliki lorong tersembunyi, atau setidaknya jalan keluar yang tidak terlihat. Tapi ia juga tahu, semakin lama mereka berada di sini, semakin besar kemungkinan mereka menghadapi sesuatu yang lebih mengerikan.
Tiba-tiba, langkah mereka terhenti. Di ujung lorong, sebuah pintu kecil tampak terbuka sedikit. Cahaya redup keluar dari celahnya, seperti memanggil mereka untuk masuk.
“Siapa yang membuka pintu itu?” tanya Jonathan, mencoba terdengar tenang. Namun tidak ada yang menjawab. Mereka hanya saling berpandangan dengan penuh kecurigaan.
“Jangan masuk,” bisik Maria. “Ini pasti jebakan.”
“Tapi kita tidak punya pilihan lain,” Viktor menjawab. “Kita harus memeriksa apa yang ada di dalam.”
Dengan hati-hati, Isabella mendorong pintu itu. Ruangan di dalamnya kecil dan gelap, hanya diterangi oleh satu lilin yang hampir habis di tengah meja tua. Dindingnya dipenuhi dengan coretan tangan, tulisan-tulisan acak yang tidak mereka mengerti. Namun, yang paling menarik perhatian adalah sebuah buku besar yang tergeletak di atas meja. Sampulnya terbuat dari kulit yang sudah retak, dan ada simbol aneh di tengahnya—sebuah lingkaran dengan garis-garis yang tidak beraturan.
“Apa ini?” gumam Isabella, melangkah mendekati meja. Ia merasakan energi aneh memancar dari buku itu, seperti ada sesuatu yang hidup di dalamnya.
“Jangan sentuh!” teriak Maria, tetapi sudah terlambat. Isabella membuka buku itu.
Halaman-halamannya dipenuhi dengan tulisan tangan yang kasar dan tidak teratur. Namun satu halaman tertentu menarik perhatian mereka. Di sana tertulis dengan tinta merah, "Satu per satu akan hilang, hingga kebenaran terungkap."
“Maksudnya apa?” tanya Jonathan, menatap Isabella dengan cemas.
“Seseorang di antara kita mungkin…” Viktor tidak melanjutkan kalimatnya. Wajahnya menegang, seperti menyadari sesuatu yang mengerikan.
Tiba-tiba, lilin di tengah meja padam, membuat ruangan itu menjadi gelap gulita. Suara napas yang berat terdengar dari sudut ruangan, diikuti oleh suara langkah kaki yang lambat namun berat.
“Siapa itu?” Isabella bertanya dengan suara serak. Namun tidak ada yang menjawab.
Kemudian, dari kegelapan, sebuah suara serak bergema. Suara itu tidak berasal dari salah satu dari mereka.
“Kalian semua akan membayar...”
Maria menjerit ketakutan, dan saat itu juga mereka merasakan angin dingin menerpa wajah mereka, diikuti oleh bayangan hitam yang melintas cepat di depan mereka. Pintu kecil yang tadi mereka buka tiba-tiba menutup sendiri dengan suara keras.
“Kita harus keluar dari sini!” teriak Viktor.
Mereka berlari keluar dari ruangan itu, menuju lorong yang lebih gelap. Langkah-langkah mereka semakin cepat, namun bayangan hitam itu terus mengikuti, mendekat, semakin nyata. Isabella mencoba mengabaikan suara-suara berbisik yang terus menggema di telinganya—bisikan yang memanggil namanya, memintanya untuk berhenti.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah aula besar dengan jendela-jendela yang tertutup rapat. Di tengah aula, ada sebuah patung besar yang tampak seperti seorang wanita yang mengenakan gaun panjang. Patung itu memegang sebuah belati, wajahnya tanpa ekspresi, namun matanya seolah mengawasi mereka.
“Apa ini?” tanya Maria, gemetar.
“Aula utama,” kata Viktor, mengamati ruangan itu dengan saksama. “Tapi aku tidak pernah melihat patung ini sebelumnya. Sepertinya… ini baru.”
“Baru?” tanya Jonathan, bingung.
Isabella mendekati patung itu, mencoba mencari petunjuk. Namun, saat ia mendekat, ia melihat sesuatu yang membuatnya terkejut. Belati di tangan patung itu berlumuran darah segar.
“Itu... darah?” bisik Maria, hampir tidak percaya.
Dan saat itu juga, mereka mendengar suara ketukan di lantai di belakang mereka. Ketukan itu pelan, namun ritmenya semakin cepat. Ketika mereka berbalik, mereka melihat sosok bayangan tinggi yang berdiri di ujung lorong, matanya merah menyala seperti bara api.
“Semuanya, lari!” teriak Viktor.
Mereka berlari secepat yang mereka bisa, melintasi lorong-lorong yang berliku. Namun, bayangan itu terus mengejar, suaranya semakin dekat, seperti sesuatu yang tidak akan berhenti sampai mereka semua ditangkap.
Isabella merasa napasnya semakin berat, tetapi ia tidak bisa berhenti. Dalam pikirannya, ia hanya memiliki satu tujuan: menemukan jalan keluar sebelum semuanya terlambat. Namun, ketika mereka sampai di ujung lorong, mereka menemukan sesuatu yang lebih mengerikan.
Di sana, di dinding, tergantung sebuah cermin besar. Sama seperti cermin di ruangan sebelumnya, bayangan dalam cermin itu hidup. Namun kali ini, bayangan itu bukan hanya satu. Ada beberapa sosok yang berdiri di sana, memandang mereka dengan senyuman menyeramkan.
Isabella merasakan bulu kuduknya berdiri. Salah satu sosok dalam cermin itu adalah Elisa, dengan mata kosong dan wajah yang penuh luka. Namun di sampingnya, ada sosok lain yang mengenakan pakaian yang sangat dikenalnya. Itu Maria—namun Maria yang berada di sampingnya.
“Kita tidak aman di sini,” kata Isabella, suaranya hampir tidak terdengar. “Cermin ini menunjukkan sesuatu... sesuatu tentang kita.”
Dan saat itu, cermin tersebut retak dengan suara keras, dan bayangan dari dalamnya mulai merangkak keluar, seperti roh yang terlepas dari penjara mereka.
Ketegangan mencapai puncaknya. Mereka tidak hanya harus melarikan diri dari bayangan yang mengejar mereka, tetapi juga dari rahasia gelap kastil ini yang mulai terungkap sedikit demi sedikit. Namun satu hal yang jelas: seseorang di antara mereka menyembunyikan kebenaran yang dapat menghancurkan semuanya.