Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 8
“Meylani? punya siapa ini? nama ibu kan Ratih.” Sukma membuka buku bersampul merah muda itu, selain nama ibu dan alamat tertera tak ada lagi data yang tertulis di sana.
“Sukma, apa yang kamu lakukan di kamar ibu?” Nenek Ratih tiba-tiba muncul di ambang pintu, wanita itu terlihat tegang.
“A-anu… itu Bu, Sukma cuma bantu bersihkan kamar Ibu.”
Nenek Ratih berjalan mendekat, merampas buku dari tangan menantunya dengan sedikit kasar. Sukma terkejut akan respon ibu mertuanya yang aneh itu.
“Lain kali nggak perlu bersihkan kamar ibu, dan jangan masuk kamar ibu tanpa izin.”
Sukma mengangguk mengerti, bibirnya terasa kelu hanya untuk mengucap kata maaf. Entah kenapa situasi berubah menjadi begitu tegang di antara mereka, apalagi saat nenek Ratih memasukkan buku kehamilan atas nama Meylani ke dalam laci dan menguncinya. Seolah itu adalah harta karun berharga yang tidak boleh disentuh siapapun, termasuk dirinya.
“Mau apa lagi kamu?” tanya nenek Ratih lagi. Sukma tergagap, ia sadar harus segera keluar dari kamar ibu mertuanya itu. Namun, hatinya tetap tak tenang sebelum menanyakan segala yang ramai dalam pikiran.
“Itu Bu, buku kehamilan tadi punya siapa?”
Wajah nenek Ratih berubah masam, tampak tak senang dengan pertanyaan yang diajukan Sukma. Wanita itu berjalan ke arah pintu, bersiap menutup pintu kamarnya. “Itu bukan urusanmu, jangan melewati batas. Sudahlah kamu keluar saja,” titahnya.
Sukma mengangguk mengerti, tak lupa mengucapkan kata maaf dan memilih kembali ke kamarnya sendiri.
***
Malam semakin merangkak, mengantarkan suara burung hantu ke dalam kamar Sukma. Wanita itu asyik bergelung dalam selimut tebal, di luar rumah hujan baru saja reda. Ia yakin seluruh penghuni rumah pasti telah terlelap dalam buaian mimpi, kecuali dirinya yang masih terus memikirkan kejadian di kamar nenek Ratih.
Rasa ingin tahunya begitu besar pada pemilik buku kehamilan yang sengaja disembunyikan oleh mertuanya itu, tapi mau dipikirkan sekeras apapun otaknya tak mampu menjangkau sebuah jawaban. Suaminya adalah anak tunggal, sedangkan ibu mertuanya hanya dua bersaudara. Kakaknya adalah lelaki yang memiliki istri bernama Dewi.
“Meylani, siapa sebenarnya wanita ini? apa mungkin istri muda bapak? dan itu alasan wajah ibu terlihat kesal? tapi, kenapa ibu menyimpan buku hamil milik madunya? lagian, bapak cinta banget sama ibu, kok kayaknya nggak mungkin deh. Astaga, maafkan menantumu ini Pak,” ucapnya lirih.
Sukma tak peduli dengan suara burung hantu di luar rumah, ia mulai terbiasa dengan suara-suara aneh yang hampir setiap malam mengganggunya, meski sebenarnya ia masih saja merinding karena hal itu.
Brak brak brak…
Srek srek srek…
“Suara ini lagi, siapa sih yang mainin penebah di pintu kamar? awas ya kalau ternyata itu kamu Jaya,” kata Sukma menyingkap selimut dan turun dari ranjang. Setaunya malam ini Wijaya tidur di rumah, jadi besar kemungkinan adik sepupunya itulah yang usil mengerjainya malam-malam begini.
Sukma sengaja membuka pintu perlahan, cukup untuk celah mengintip suasana di luar kamarnya yang begitu berisik. Namun, ia terkejut melihat ibu mertuanya memukulkan sapu penebah di pintu kamar Nadira. Sukma membeku, ibu mertuanya terlihat aneh.
Pandangan matanya kosong ke depan, wajahnya sedikit pucat dan berjalan bagai zombie. Ia mengira ibu mertuanya mungkin saja sedang ngelindur, tapi ia tak memiliki keberanian untuk sekedar menegur atau menyadarkannya.
Sukma bertahan mengintip di balik pintu, hingga saat nenek Ratih membuka pintu samping dan berjalan menuju belakang rumah barulah ia mulai khawatir. Mengejar ibu mertuanya itu dan memanggil berkali-kali, tapi nenek Ratih seolah tuli.
“Ibu, Ibu mau kemana? Bu, sadarlah Bu… ini sudah malam,” ucap Sukma tak berani mendekat, ia begitu panik saat menyadari langkah nenek Ratih semakin dekat dengan rumah kosong, dan berhenti di depan bangunan tua itu. Wajah Sukma memucat, ia bingung harus berbuat apa.
Tak memiliki keberanian mengejar ibu mertuanya, tapi juga khawatir disaat bersamaan. Ia ingin kembali ke rumah dan memanggil Wijaya, tapi juga tak ingin kehilangan jejak ibu mertuanya yang kini justru berusaha membuka pintu utama rumah kosong itu.
“Ah, taulah… aku akan panggil Wijaya,” ucapnya setelah berpikir cukup lama. Sukma tak peduli walau kakinya terasa perih sebab menginjak beberapa kerikil tajam yang terletak di samping rumah. Ia hanya ingin segera memanggil Wijaya dan mengajaknya menjemput ibu mertuanya itu. Sukma masuk ke dalam rumah dan menggedor pintu kamar Wijaya.
Tok tok tok… “Jaya, bangun Jaya! Jaya, cepat buka pintunya!”
Krieeet…. Pintu terbuka dan lelaki itu keluar dengan mata separuh terpejam.
“Ada apa Mbak?”
“Ibu, ibu ada di rumah kosong, cepat kita harus bawa ibu pulang!”
“Hah? kenapa bude ada di rumah kosong?” Wijaya mengusap wajah dan membenahi sarungnya yang melorot, berlari membuka kamar budenya dan tak menemukan wanita itu disana. Ia terkejut dan kesadarannya berangsur pulih, lantas meraih kaos yang tergantung di belakang pintu kamar dan segera memakainya.
“Entahlah, sepertinya ibu ngelindur. Ayo cepat kita bawa pulang Ibu.”
“I-iya ayo…”
“Ibu, ada apa?” Nadira terbangun karena suara berisik, di samping pintu kamar ia menguap dengan tampilan acak-acakan.
“Nenekmu Dira, nenek.”
“Nenek kenapa? nenek tidur di kamar dengan Dira Bu.”
“Hah?” Sukma berlari masuk ke kamar putrinya, begitupun Wijaya yang urung keluar rumah. Keduanya lantas melihat nenek Ratih yang baru saja terjaga tengah duduk di atas ranjang. Wanita tua itu masih mengumpulkan kesadarannya yang belum pulih.
“Mbak Sukma, mbak ini yang ngelindur. Bude ada disini Mbak,” ucap Wijaya begitu melihat nenek Ratih berdiri dan berjalan keluar kamar.
“Ada apa kalian ribut malam-malam begini? jam berapa ini Sukma, Jaya?” Nenek Ratih menatap menantu dan keponakannya itu bergantian. Sementara Sukma sibuk memastikan wanita di depannya benar-benar ibu mertuanya.
“Ini benar Ibu, ini ibu sungguhan kan?” Sukma berputar-putar disekeliling tubuh ibu mertuanya, menyentuh punggung, pundak dan tangan nenek Ratih.
“Kamu ini kenapa sih? ya jelas ini ibu masa setan, kamu mimpi buruk ya Sukma.”
“Aku sadar Bu, aku yakin tadi lihat ibu pukul-pukul pintu kamar pakai penebah, lantas keluar rumah dan berhenti di depan rumah kosong disebelah. Emangnya kamu nggak dengar Dira ada suara penebah dipintu kamarmu ini?”
Nadira menggeleng, ia lantas memilih duduk di sofa karena masih mengantuk.
“Mbak Sukma duduk dulu, ini minum juga.” Wijaya memberikan segelas air putih, lantas menutup pintu ruang samping.
“Kamu mimpi mungkin Sukma, lawong ibu tidur dari tadi. Emang sengaja temenin Nadira, karena dia takut tidur sendiri.”
Nadira terkekeh pelan, memandang wajah ibunya yang masih kebingungan. “Sudahlah Bu, ibu mungkin yang ngelindur. Kita tidur lagi aja, ini masih malam,” ajak Nadira.
Sukma sangat yakin ia tidak sedang bermimpi ataupun ngelindur. Dalam hati bertanya siapakah yang dilihatnya tadi kalau ternyata ibu mertuanya ada di kamar sang putri? Tapi karena semua orang meyakinkan bahwa dirinya ngelindur, maka Sukma mengalah.
Ia tak lagi membantah dan kembali tidur di kamar. Tapi kali ini ia tidur dengan putrinya, dan nenek Ratih kembali tidur di kamarnya sendiri.
.
Tbc