Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 04 - Ngebet Nikah
Menikah, pilihan yang sangat sulit bagi Nadin. Dia berpikir begitu lama, dan Zain tetap sabar menunggu jawaban. Begitu banyak pertimbangannya, disamping usia yang masih begitu muda, Nadin juga tidak ingin kehilangan mimpinya.
Zain sempat mengatakan, terkait beasiswa yang Nadin khawatirkan, dia akan bertanggung jawab. Namun, yang Nadin pikirkan tidak sesederhana itu, tapi dia merasa bersalah pada ketua prodi yang dulu susah payah memperjuangkan hak Nadin.
Setelah cukup lama berdiskusi dan mencari jalan tengah yang sekiranya tidak merugikan, alhasil Nadin menerima lamaran setengah memaksa yang Zain lakukan dengan syarat pernikahan itu harus dirahasiakan. Tidak ada satu orang pun yang tahu, terutama pihak kampus dan teman-temannya.
Bukan Zain yang membuat aturan, tapi Nadin. Persyaratannya cukup mudah, jika dipikir-pikir lagi memang hal itu adalah jalan tengah yang paling baik untuk keduanya. Tidak dapat dipungkiri, salah-satu alasan Zain bersikukuh menikahinya bukan hanya karena tanggung jawab dan merasa bersalah, tapi demi menjaga nama baik keluarganya.
Sejak kecil Zain diajarkan untuk mengutamakan tiga hal dalam berhubungan dengan manusia, tanggung jawab, memuliakan wanita dan juga menjaga nama baik keluarga. Ya, tiga poin penting yang Syakil ajarkan pada putranya dan selalu Zain ingat hingga dewasa.
"Fine, apa ada permintaan lain?"
Nadin menggeleng, hanya itu saja poin utama yang harus Zain kabulkan, selebihnya tidak ada. Setelah dipastikan benar-benar tidak ada yang Nadin minta, Zain memberikan ponselnya hingga gadis itu mengerutkan dahi seketika.
"Apa? Bapak rekam suara saya?"
Zain memalingkan muka demi menyembunyikan senyumnya. Pertanyaan dan sorot tajam Nadin seolah menegaskan jika Zain masih menjadi ancaman walau dia sudah berusaha bersikap sebaik mungkin agar tidak membuatnya takut.
"Bukan, hubungi keluargamu ... aku butuh restu dan bicara langsung, kalau bisa ayahmu."
"Abi sudah tidak ada," jawab Nadin singkat, seketika pria itu tak bisa berkata-kata usai mendengar jawabannya.
Dia belum mengenal dekat calon istrinya, dan Zain sama sekali tidak tahu tentang itu. "Kakak ada?"
Raut wajahnya masih sama, Nadin menggeleng hingga Zain mulai bingung dan takut untuk bicara. "Om atau kakekmu, siapapun yang bisa."
"Tidak, adanya umi saja."
Cukup membingungkan, Zain memijat pangkal hidungnya lantaran merasa bingung dengan diri sendiri. Kenapa tidak dari tadi, begitulah gumam Zain dalam hati.
"Tidak apa, aku tetap harus bicara."
Walau Nadin tetap memaksa agar pernikahan itu dirahasiakan, tapi dia ingin orangtua dari gadis itu tidak terlalu terluka. Sedikit banyak Zain tahu jika ada seseorang yang menaruh harapan besar di punggung Nadin, dan dia hanya tidak ingin membuat seorang ibu hancur andai nanti tahu belakangan bahwa kehidupan putrinya telah berbeda.
Sialnya, niat itu justru Nadin salah artikan hingga melarang Zain menghubungi uminya. "Kenapa?"
"Tentang itu, cukup kita dan Tuhan yang tahu, umiku jangan," pinta Nadin dengan tatapan penuh permohonan.
"Aku hanya minta restu ibumu, tidak akan macam-macam," jelas Zain kemudian, setakut itu Nadin jika Zain jujur andai ditanya kenapa mereka harus menikah.
Penjelasan Zain berhasil membuat Nadin melunak. Dia melepaskan cengkraman di lengan Zain yang sebenarnya tanpa sadar dia lakukan. "Oh, iya."
Cepat sekali raut wajahnya berubah, Zain tersenyum tipis dibuatnya. Tanpa berpikir untuk menjauh, di hadapan Nadin dia nekat memberanikan diri meminta restu secara baik-baik untuk menikahi gadis itu.
Nadin tak begitu mendengarkan, dia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Cukup lama Zain bicara, hingga di akhir percakapan pria itu terdengar gugup mengucapkan salam penutup.
Sesaat, suasana ruangan itu mendadak hening. Tiada satu pun yang bicara dan mereka tenggelam dengan suasana kecanggungan semacam itu cukup lama.
Agaknya mereka sama-sama bingung hingga kini memilih diam. Saking diamnya, helaan napas Nadin sampai bisa terdengar hingga menarik perhatian Zain untuk menatap ke arahnya.
"Kapan?"
Nadin sedang gugup saat ini, hingga ketika Zain bertanya otaknya agak sedikit tumpul. "Apanya yang kapan?"
"Siapnya, besok aku ke luar kota dan mungkin agak lama," tutur Zain memperjelas pertanyaan dan Nadin baru mengerti apa maksudnya.
Nadin sebenarnya pasrah, siap tidak siap dia memang harus siap karena permintaan Zain untuk menikah sudah dia setujui. Namun, jika harus buru-buru dia tidak sesiap itu juga. "Ehm setelah Bapak pulang saja, bulan depan juga tidak masalah," jawab Nadin yang saat itu juga membuat raut wajah Zain berubah.
Jika sebelumnya tidak ada yang Zain tolak, terkhusus yang kali ini dia menolak tegas permintaan Nadin. "Kelamaan, malam ini saja ... aku tidak tahu pasti kapan pulangnya, dan aku tidak ingin pulang-pulang dapat panggilan dari polisi atas dugaan pemerrkosa-an."
Picik sekali pikirannya, Nadin yang awalnya tidak pernah memiliki niat jahat untuk melaporkan Zain ke polisi mendadak terpikir saat ini. Sungguh Nadin bingung berhadapan dengan pria ini, nyatanya isu tentang sifat keras kepala dan semaunya sendiri dari seorang Zain bukan isapan jempol belaka, tapi memang kenyataannya.
Dia bertanya kapan siapnya, ketika Nadin menjawab keputusan ternyata tetap di tangannya. Lamarannya hanya kedok saja, pada akhirnya Nadin tak punya hak menentukan lebih walau sebelumnya Zain memang menurut.
.
.
Zain tidak pernah bercanda dengan ucapannya, apa yang dia katakan selalu dapat dibuktikan. Setelah tadi siang melamar dengan 85 persen unsur paksaan, malam ini dia benar-benar menikahi Nadin secara Agama dengan diketahui dua orang saksi yang merupakan teman dekat Zain.
Pernikahan super kilat yang sama sekali tidak pernah terbayangkan. Hendak duduk saja lesu dan dan Nadin menjalani pernikahan di kamar rumah sakit. Beralaskan Zain harus pergi besok pagi, dia terpaksa jadi pengantin dengan baju orang sakit.
Yang penting sah, begitu kalau kata saksinya. Walau terkesan dadakan, mereka masih tetap serius dan khusyuk, Nadin juga masih gugup kala Zain menyebut namanya dengan begitu mantap.
Lebih gugup lagi, kala Zain diminta untuk memegang ubun-ubunnya. Perasaan Nadin campur aduk, dia merasa seolah tengah bermimpi dan andai terbangun saat ini dia akan berlari.
"Itu kening, Zain, ubun-ubunnya."
"Oh iya, maaf Ustadz."
Lamunan Nadin buyar seketika perkara Zain salah pegang. Diperintahkan ubun-ubun dia justru menyentuh kening Nadin seolah tengah memastikan suhu tubuhnya.
"Di sini, Pak?"
"Iya di sana."
Entah apa yang dipikirkan Zain hingga eror begitu. Citra Zain sebagai dosen genius dan luar biasa cerdas seketika hancur begitu saja di hadapan mahasiswi yang kini telah sah menjadi istrinya.
"Bacakan doanya, hapal, 'kan?"
"Ha-hapal kok, Ustadz," jawab Zain gelagapan, entah benar hapal atau mengaku hapal saksi pernikahannya juga ragu, tapi yang jelas bibir Zain komat-kamit. "Yang penting Bismillah."
.
.
- To Be Continued -
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"