Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
"Dasar bodoh! Mengapa kamu tega melakukan semua itu?"
Sesuai dugaan Aline, Dokter Gita langsung memarahinya begitu saja ketika Aline mengatakan semua alasan yang membuatnya melakukan kebodohan di malam itu.
"Maafkan aku, Dok. Malam itu aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih. Aku sudah mencoba semua yang bisa kulakukan untuk menghapus ingatan dan pikiran burukku, tapi semakin aku mencoba melupakan kejadian di kampus, aku malah semakin berdelusi. Pikiranku benar-benar kacau, apalagi saat aku mengingat Luna yang tiba-tiba muncul di aula dan mengajakku berbicara. Aku ketakutan, bayangan buruk semakin menghantuiku dan aku tidak bisa menghindari peristiwa itu." jelas Aline sembari menundukkan kepalanya.
"Kamu itu..." Alih-alih memarahinya lagi, Dokter Gita segera memeluk tubuh Aline yang saat itu terasa dingin.
"Tolong jangan lakukan kebodohan seperti itu lagi, Lin. Saya ini penanggung jawab kamu, kalau sampai terjadi apa-apa pada kamu, saya tidak hanya akan disalahkan oleh keluarga kamu. Saya juga bisa saja kehilangan kendali atas diri saya ini. Saya tidak akan bisa memaafkan diri saya sendiri. Kamu tahu itu, kan?" Dokter Gita tiba-tiba menumpahkan air matanya saat terkenang kejadian satu minggu lalu.
"Maaf."
Hanya itu saja kata yang keluar dari bibir Aline.
Dokter Gita melepaskan pelukannya. "Lalu bagaimana sekarang? Apa kamu puas sudah melakukan perbuatan bodoh ini?" Dokter Gita menatap mata Aline dan menunjuk pada tangan kanan Aline yang masih diperban.
Aline menganggukkan kepala. "Aku puas sekali, Dokter."
"Apa?" Dokter Gita kaget mendengar jawaban Aline. Sejujurnya ia sama sekali tidak menyangka gadis itu akan menjawab 'ya'.
"Aline, kamu tahu, kan, ini salah...."
Aline menatap wajah Dokter Gita yang memakai kompres dingin di keningnya. "Aku tahu perbuatanku ini teramat bodoh dan tidak bisa dimaafkan. Tapi, Dokter, sejujurnya, malam itu aku mencoba mati agar aku bisa merasakan bahwa aku memang hidup."
Nada suara Aline yang datar membuat Dokter Gita tersulut emosi. Dokter Gita berpaling menatap Aline, bola mata cokelat Aline yang berkaca-kaca itu sekarang semakin menyita perhatian Dokter Gita. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan gadis itu....
"Kamu benar-benar tega sekali, Lin. Dengan kamu melakukan hal seperti itu, kamu sudah membuat saya hampir kehilangan kewarasan. Kamu tidak tahu, kan, betapa syoknya saya, ketika saya menemukan kamu sudah terkulai lemas di atas karpet dengan begitu banyak darah yang keluar dari tangan kamu? Saya hampir mati melihat kamu seperti itu, Lin. Saya benar-benar takut." Dokter Gita menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kenapa kamu harus melakukan ini pada saya?"
"Maaf."
Suara Aline benar-benar hampir tak bisa didengar. Wajahnya kali ini benar-benar tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Perlahan-lahan sikap gadis itu berubah menjadi dingin. Hal ini membuat Dokter Gita teringat akan sikap anak laki-lakinya.
"Lain kali, kalau kamu punya masalah, bilang sama saya. Kamu bisa menemui saya di rumah sakit, atau di asrama ini. Kalau kamu tidak ingin bertatap muka dengan saya, kamu bisa telepon, kan? Jangan main sayat-sayat tangan seperti itu. Saya paling tidak suka kalau pasien saya mengabaikan keselamatannya sendiri. Kamu sadar, kan, andai saja urat nadi kamu tersayat saat itu—"
"Aku akan mati." potong Aline. Gadis itu memamerkan senyumannya di hadapan Dokter Gita.
"Oh, astaga!" Dokter Gita menutup wajahnya dengan sebelah tangan. "Kamu benar-benar membuatku takut."
Aline memiringkan senyumannya. "Maaf kalau aku sudah membuat Dokter Gita kecewa karena hal tersebut."
"Aline?" Dokter Gita memandang Aline dengan serius.
Aline menggeleng. "Dokter Gita tidak usah cemas. Aku tidak akan mengulangi perbuatan bodohku. Aku berjanji pada dokter, mulai sekarang aku akan melangkah menjemput masa depanku. Aku ingin berjalan di jalanku sendiri."
Dokter Gita mengedipkan matanya. "Saya tidak sedang bermimpi, kan?"
Aline terdiam sejenak kemudian mengangguk cepat. "Dokter tidak salah dengar. Dokter juga tidak bermimpi saat ini," Sesaat tampak Aline menjeda kalimatnya dan menarik napas panjang. "Aku merasa bahwa, aku baru saja dilahirkan kembali. Aku baru terlepas dari kematian. Mungkin, besok pagi aku akan kembali ke kampus itu lagi. Aku tidak ingin terus-menerus melarikan diri. Meski hanya sebentar, aku ingin menjalani kehidupan normalku di sana."
"Aline...." Tangan Dokter Gita mencengkeram pergelangan tangan Aline.
Aline meliriknya sekilas. "Dokter Gita jangan khawatir lagi. Mulai sekarang aku akan melawan semua kelemahanku. Aku akan menunjukkan pada dunia kalau, aku bisa dan aku mampu menghadapi masa laluku itu."
Dokter Gita kembali memeluk Aline, mengecup tengkuk gadis itu penuh kasih sayang. Aline merasakan ada setitik air hangat yang menetes di bahunya.
"Kamu bisa mengandalkan saya, Lin. Kamu boleh menumpahkan seluruh beban di hati kamu kepada saya. Kapanpun jika kamu membutuhkan saya, saya akan selalu ada di sana. Saya hanya ingin melihat kamu gembira. Saya ingin kamu menjalani kehidupan kamu dengan baik, tapi tidak dengan cara bodoh."
Dokter Gita menghapus air matanya dengan telunjuknya. "Membuat kamu mengatakan hal mengerikan—seperti, kamu mencoba mati untuk merasakan hidup, kamu terlahir dari kematian untuk menjalani hidup—itu semua membuat saya merasa tidak enak hati. Saya merasa bertanggung jawab atas kamu, akan tetapi... saya justru malah mendorong kamu melakukan perbuatan salah seperti itu karena saya tidak ada di saat kamu membutuhkan pertolongan."
"Tidak. Dokter salah. Justru aku bicara begitu karena aku ingin menegaskan tujuan hidupku. Aku tidak akan melakukan perbuatan seperti ini lagi, Dokter. Aku janji." Aline membalas pelukan Dokter Gita, ia berusaha menahan tangisannya.
"Ah, sudahlah. Kamu jangan membuat saya menangis malam ini. Saya ini dokter kamu, kalau kamu tidak percaya pada saya, sebaiknya kamu jangan memanggil saya dokter. Semua ini masih sangat menyakitkan bagi saya. Saya tidak merasa pantas menjadi dokter maupun orang tua untukmu. Ya, kan?"
Aline baru pertama kali ini melihat Dokter Gita merajuk. Meski Dokter Gita sudah melepas pelukannya, tapi Aline kembali membenamkan tubuhnya di pelukan wanita itu.
"Aku senang karena Dokter selalu mengurusku dengan baik. Dokter sudah seperti ibuku sendiri. Terima kasih karena Dokter selalu peduli dan selalu menyayangiku." ucap Aline tulus.
Dokter Gita mengangguk kecil, kemudian ia meminta Aline agar tidur di kamar itu karena kamar Aline belum sempat dibersihkan lagi. Aline setuju. Sekarang Aline sudah bisa beristirahat dengan nyaman di asrama ini, sementara itu di rumah sakit sedang gempar karena Aline menghilang dari ruang inapnya.