Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Mencari Alasan
Ratri membuka pintu gerbang, kemudian melangkah ke luar. Walaupun agak ragu, tetapi dia berusaha terlihat tenang. Wanita itu langsung menghampiri penjual nasi goreng, yang sudah menunggu. Ratri memesan satu porsi.
"Satu lagi, Bang," pesan Sastra, yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Ratri. "Jangan terlalu pedas."
Ratri menoleh, seraya menautkan alis. "Kenapa kamu ada di sini?"
"Hanya kebetulan. Aku baru menemui teman. Dia tinggal tidak jauh dari sini," jawab Sastra berbohong.
Ratri makin keheranan mendengar jawaban pria itu. "Ini adalah kawasan kost putri. Siapa yang kamu temui? Bukannya tadi kamu ada acara dengan Elia?" Ratri menatap penuh selidik.
"Um ... ya." Sastra terlihat agak kikuk. Dia belum menemukan alasan yang masuk akal. "Aku ...."
Makin lama, Ratri memahami sesuatu. "Apa semalam kamu mengikutiku sampai kemari?"
"Aku hanya memastikan kamu baik-baik saja. Sama seperti sekarang," ucap Sastra enteng.
"Ya, ampun." Ratri menggeleng tak percaya. "Untuk apa?"
"Sudah kukatakan tadi. Memastikanmu baik-baik saja."
"Ah, iya, Mbak. Kemarin malam, warga di gang sebelah menemukan mayat wanita tanpa busana," ucap penjual nasi goreng, tiba-tiba menimpali.
"Lalu?" Ratri mengalihkan perhatian pada sang penjual, yang sudah selesai membuat dua porsi nasi goreng.
"Ya, kita harus lebih waspada, Mbak. Ingat kata pepatah, 'hari buruk tidak ada dalam kalender'."
"Di kalender hanya ada hari Senin sampai Minggu," ujar Ratri menanggapi. Dia bermaksud membayar nasi goreng yang dipesan tadi.
Namun, Sastra lebih dulu memberikan uang pecahan lima puluh ribu. "Ambil saja kembaliannya, Bang."
"Wah! Serius, Mas? Ini kembaliannya masih banyak."
Sastra mengangguk yakin. Dia hanya ingin si penjual cepat pergi, agar bisa bicara berdua dengan Ratri.
"Maaf karena aku mengikutimu secara diam-diam semalam," ucap Sastra, setelah penjual nasi goreng itu pergi.
"Bukan itu yang kupermasalahkan. Aku heran kenapa sekarang kamu ada di sini. Di mana Elia?"
"Elia sudah pulang."
"Lalu, kenapa kamu kemari?"
Sastra tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu. Dia bingung harus berkata apa. Tak mungkin dirinya mengatakan terus teringat kepada Ratri, ketika sedang bercinta dengan Eliana.
Pria tampan berperawakan tinggi tegap itu menggeleng pelan. Dia pasti terlihat sangat bodoh di hadapan Ratri. Namun, kebodohan yang dilakukan telah membawanya berhadapan langsung dengan wanita, yang sejak tadi membuat pikirannya tidak menentu.
"Aku ... entahlah." Sastra menggeleng tak mengerti. "Baiklah. Selamat malam."
Daripada terlihat makin bodoh, Sastra memilih berbalik. Dia hendak kembali ke mobil. Namun, tiba-tiba pria itu tertegun, lalu membalikkan badan jadi menghadap kepada Ratri, yang masih terpaku di tempatnya. "Bukankah kamu suka lukisan?"
Ratri mengangguk samar. "Maukah membantuku memilih lukisan yang bagus, untuk dipajang di cafe?"
"Kapan?"
"Besok sore. Aku sudah membuat janji dengan seorang teman. Kami akan bertemu langsung di galeri lukisnya," jelas Sastra. Setidaknya, dia mulai menemukan alasan yang masuk akal.
"Baiklah. Kuanggap itu sebagai balasan, untuk traktiran seporsi nasi goreng." Ratri tersenyum manis. Sorot penuh curiga perlahan memudar dari matanya.
Lega. Itulah yang Sastra rasakan. Kebodohan yang sempat dirasakan,sirna seketika. Sebegitu mudahkah meyakinkan Ratri?
Sastra tidak peduli. Satu hal yang pasti, dia sudah mendapatkan satu tiket esok hari, berikut seporsi nasi goreng yang sudah lama tidak dinikmatinya.
......................
[Pak Ismail sakit. Kemarin, tim medis sudah memeriksa keadaannya.]
Satu pesan tidak menyenangkan, diterima Ratri setelah tiba di kantor. Wanita muda berambut pendek itu mengembuskan napas pelan bernada keluhan, sebelum membalas pesan tadi.
[Bagaimana kabar papa sekarang?]
Tak sampai lima menit, balasan masuk ke nomor Ratri.
[Kondisi Pak Ismail sudah stabil. Bibi akan melihat keadaannya nanti siang. Menurut berita yang didapat, beliau sudah kembali dari rumah sakit.]
[Terima kasih, Bi. Titip dulu papa, ya. Ratri belum bisa pulang.]
[Jangan khawatir, Neng. Nanti Bibi beri kabar lagi.]
Ratri menutup layar ponsel, setelah membaca pesan balasan itu. Dia meletakkan telepon genggam di meja, bersamaan dengan Eliana yang masuk ke ruang kerja.
Hari ini, Eliana terlihat tidak ceria. Sepertinya, ada sesuatu yang mengganggu wanita dengan perawakan tak jauh berbeda dari Ratri tersebut.
“Kamu baik-baik saja, El?” tanya Ratri. Dia menoleh sekilas, sebelum memulai pekerjaan.
“Antara iya dan tidak,” jawab Eliana lesu.
“Kenapa? Apa karena orang tua kamu akan berangkat ke Australia?”
Eliana menggumam pelan. “Mana ada. Aku sudah terbiasa ditinggal pergi. Lagi pula, Australia tidak sejauh Inggris,” jawabnya malas, diiringi embusan napas pelan bernada keluhan.
“Lalu?” Ratri menghentikan pekerjaannya, kemudian mengalihkan perhatian kepada Eliana yang memasang raut masam. “Ya, ampun. Jelek sekali wajahmu kalau cemberut begitu.”
Eliana menoleh, menatap sayu Ratri. Dia beranjak dari meja kerja, lalu berdiri di depan meja kera sahabatnya. “Aku merasakan ada sesuatu yang aneh pada diri Sastra,” ucap wanita cantik berambut panjang itu, seraya mencondongkan tubuh ke depan.
Seketika, raut wajah Ratri berubah. Begitu juga dengan tatapannya. “Maksudmu?”
Eliana kembali menegakkan tubuh. Ada keresahan yang tergambar dari paras cantiknya. “Aku tidak tahu pasti, Rat. Namun, aku merasakan sesuatu yang berbeda.”
“Berbeda?” ulang Ratri. “Kulihat, kalian biasa saja semalam. Bukankah kamu dan Sastra ada acara pribadi, setelah pesta peresmian cafe selesai?”
Eliana tidak menjawab. Dia tak mungkin menjelaskan secara detail, tentang kegagalannya dalam bercinta dengan Sastra. “Um, iya. Tetapi, setelah itu kami langsung pulang.”
“Lalu, bagaimana kamu bisa menyimpulkan ada sesuatu yang aneh atau berbeda dari Sastra? Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu, El.”
Eliana tidak segera menjawab. Dia membalikkan badan, kemudian menyandarkan sebagian tubuh di tepian meja.
Melihat sikap aneh sahabatnya, membuat Ratri jadi khawatir. Dia beranjak dari belakang meja kerja, lalu berpindah ke sebelah Eliana.
Kedua sahabat itu saling terdiam beberapa saat. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Eliana sibuk merangkai kata, sebagai penjelasan kepada Ratri. Sementara itu, Ratri sibuk menerka-nerka ke mana maksud pembicaraan Eliana.
“Sastra selalu bersikap manis dan lembut padaku. Dia tahu betul bahwa aku adalah gadis manja, juga cengeng. Terkadang, itu membuatku merasa tak enak. Apa mungkin dia mulai bosan dan lelah?”
“Mana kutahu? Aku tidak terlalu mengenalnya. Meskipun sudah sering bertegur sapa lewat telepon, tetapi kami baru bertemu secara langsung kemarin-kemarin. Kurasa, kamu sendiri yang pasti jauh lebih mengetahui seperti apa karakter Sastra.”
“Itulah kenapa, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda darinya, Rat.”
“Kamu mengatakan itu padanya?”
“Sudah. Namun, Sastra berkilah. Dia bilang tidak ada apa pun. Semua baik-baik saja.”
“Kalau begitu, artinya tidak ada masalah.”
“Aku hanya takut dia selingkuh?” resah Eliana.
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...