Aisha berjalan perlahan mendekati suaminya yang terlihat sedang menelepon di balkon, pakaian syar'i yang sehari-hari menjadi penutup tubuhnya telah dia lepaskan, kini hanya dengan memakai baju tidur yang tipis menerawang Aisha memberanikan diri terus berjalan mendekati sang suami yang kini sudah ada di depannya.
"Aku tidak akan menyentuhnya, tidak akan pernah karena aku hanya mencintaimu.."
Aisha langsung menghentikan langkahnya.
Dia lalu mundur perlahan dengan air mata yang berderai di pipinya, hingga ia kembali masuk ke dalam kamar mandi, Alvin tidak tahu jika Aisha mendengar percakapan antara dirinya dengan seseorang di ujung telepon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Noda
"Aisha!" Teriak Ummi dan Abah.
"Maaf. Ini hanya bentuk kekecewaan seorang adik melihat kakaknya tersakiti," ucap Aisha lagi.
Yusuf terdiam, dia dibuat tak berkutik dengan semua perkataan Aisha, dan ternyata bukan hanya dia, Alvian pun sama, lagi-lagi dibuat terpana akan perkataan istrinya.
Abah terlihat kecewa dengan perkataan Aisha, dia langsung pergi meninggalkan kamar, sementara Ummi mendekati lalu memegang tangan Aisha agar ikut bersamanya.
Semua orang pergi meninggalkan kamar itu, kini hanya tinggal Siti berdua bersama suaminya.
Yusuf melihat Siti yang menangis tersedu.
"Maafkan adikku," ucap Siti terisak.
Yusuf mendekatinya lalu memeluk Siti dengan erat.
"Tidak apa-apa. Aku mengerti kemarahan adikmu."
***
"Kali ini Abah sangat kecewa, Aisha."
Semua orang terdiam. Sesekali melirik Aisha duduk di samping Ummi.
Alvian juga melihat istrinya, yang duduk layaknya sedang dihakimi. Dia melihat sekeliling, hampir semua kakak dari istrinya hadir, setelah mendengar keributan yang dilakukan Aisha tadi.
"Abah tidak melakukan poligami bukan berarti keluarga kita menentangnya. Ingat Nak. Poligami dibolehkan dalam agama kita." Abah melihat Aisha.
"Poligami itu syariat, kalau memang tidak mau atau tidak suka, janganlah kita membencinya, memang banyak yang mudharat tapi itu salah oknumnya, bukan syari'atnya, ibarat seorang haji ada yang mencuri, jangan salahkan gelar hajinya, tapi orangnya."
"Jika dilakukan sesuai syariat, akan banyak sekali hikmah yang dapat diambil dengan berpoligami."
Aisha mengangkat wajahnya.
"Tapi Aisha pikir. Bila suami memaksakan diri untuk menikah lagi sementara istri belum siap berbagi, hingga istrinya menderita dan menangis, itu sama saja dengan mendzaliminya kan Abah?"
"Seorang istri tidak akan masuk surga tanpa ridho suami. Tapi bukankah satu tetes saja air mata istri tumpah karena kedzaliman suaminya, Allah akan menyegerakan azabnya dan menariknya ke dalam api neraka," lanjut Aisha lagi.
Deg. Alvian seakan tersindir, dia melirik istrinya.
"Lagi pula Abah ..." Aisha menghentikan perkataannya ketika dia menyadari sang ibu memegang pundaknya, memintanya untuk berhenti.
Aisha melihat semua kakaknya melihat ke arahnya. Sama. Memberi isyarat untuk menghentikan argumennya. Aisha lantas sadar jika dirinya sedang dinasehati oleh sang Ayah, bukan sedang di ajak berdebat.
"Maaf Abah." Aisha langsung menundukkan kepalanya.
Abah tersenyum.
"Diantara semua anak Abah, kamu memang berbeda Nak."
"Abah hanya bisa berpesan. Dalam situasi apapun, jangan biarkan emosi mengalahkan kecerdasanmu."
Aisha mengangguk.
"Nak Alvian. Sekarang temani istrimu untuk meminta maaf pada kakaknya."
Alvian kaget. Dia langsung melihat Aisha.
"Sebagai suami. Kamu bertanggung jawab atas kesalahan istrimu. Nasihati dia dan bersabarlah jika dia melakukan kesalahan." Nasihat Abah pada Alvian.
Alvian terdiam. Suami. Tanggung jawab. Nasihat. Sabar.
Semua kata-kata itu berseliweran di dalam kepalanya.
___
Aisha berjalan dengan diiringi oleh Alvian suaminya.
"Tidak usah anda temani. Ini kesalahan saya. Saya akan bertanggung jawab sendiri, meminta maaf sendiri." Aisha menghentikan langkahnya sejenak, berbicara tanpa melihat suaminya.
"Aku tetap akan menemanimu. Ini perintah Abah."
"Bukankah Anda mau pulang? Sebaiknya anda pulang saja. Besok pagi saya pasti sudah siap ketika anda jemput."
"Aku akan menginap." Alvian berjalan dengan santainya mendahului Aisha memasuki rumah.
Aisha kaget. Menginap?
___
"Maafkan saya kak," ucap Aisha sambil menundukkan kepalanya di hadapan Yusuf dan Siti.
"Iya. Sudah kakak maafkan, tidak apa-apa. Kakak mengerti."
Siti tersenyum. Dia memegang tangan Aisha.
"Awalnya memang menyakitkan, tapi lama-lama kakak belajar untuk ikhlas."
"Dengan harus berbagi suami kakak akhirnya tahu agar kita harus lebih cinta kepada Allah SWT, daripada suami," lanjut Siti.
Aisha tersenyum.
Siti melihat Alvian.
"Kalau kamu, sebaiknya pikir berulang kali jika ingin menikah lagi," ucapnya bercanda, sambil menunjuk Aisha dengan ketakutan.
Alvian pura-pura tersenyum, dia melihat Aisha yang sama sekali tak bereaksi.
***
Alvian mengamati satu-persatu buku yang tersusun rapi di atas meja belajar istrinya yang hampir kesemuanya tentang dunia keislaman, namun kemudian dia tertarik akan satu buku.
Alvian mengambilnya, mundur beberapa langkah lalu duduk di atas tempat tidur di belakangnya.
Dia mulai membaca, halaman awal di buku itu menarik perhatiannya.
...Jodoh...
...Ketika kau jatuh hati dan ingin kau miliki...
...Sekeras apapun kau menginginkannya...
...Jika Allah tak berkehendak...
...itu berarti dia bukan jodohmu...
...Yakinlah jika seseorang yang jauh lebih baik telah Allah persiapkan untukmu...
Alvian merenung. Seakan tersadarkan akan situasinya yang persis sama, menginginkan Anita akan tetapi Aisha yang didapatnya.
Apakah Aisha lebih baik dari Anita?
Alvian membasuh wajahnya kasar. Dia tidak ingin mengakuinya tapi memang itu kenyataannya.
Hari ini bahkan dia melihat sisi lain dari istrinya, karakter, keberanian dan pendirian kuatnya membuat semua orang seakan mati kutu di depannya. Alvian terpesona.
Pesona akan ketaatannya kepada Allah. Bukan pada penampilan lahiriah seperti wanita pada umumnya.
Tiba-tiba pintu terbuka, Aisha masuk ke dalam.
Aisha tampak sibuk membentang kasur lantai.
"Kata orang, kepribadian seseorang dapat kita lihat dari buku-buku yang dibacanya," ucap Alvian sambil mengangkat buku di tangannya.
Aisha tak menjawab, dia masih sibuk dengan kasur lantainya.
"Kamu tahu, hari ini aku belajar banyak hal disini, tentang kasih sayang keluarga, poligami, kewajiban suami, tanggung jawab, nasihat, ikhlas, sabar, dan terakhir jodoh." Alvian mengangkat buku yang dipegangnya.
Aisha masih tak bergeming.
Alvian berdiri dan menghampiri istrinya.
"Tapi dari kesemuanya, hari ini aku lebih banyak belajar tentangmu."
"Apa yang anda pelajari dari saya?" tanya Aisha cuek sambil mengambil bantal di atas tempat tidur.
"Kamu seorang muslimah yang taat," jawab Alvian melihat Aisha yang wara-wiri di depannya.
"Tapi sayang kamu bukan istri yang shalihah."
Aisha langsung menghentikan langkahnya, melihat Alvian
"Apa definisi istri shalihah menurut anda?"
"Taat kepada suami, jika dipandang akan menyenangkan hati suaminya. Tapi setiap melihatmu aku tidak senang karena ada ini yang menutupinya," jawab Alvian sambil menunjuk cadar Aisha.
Aisha tersenyum.
"Maaf. Wajah dan seluruh tubuh ini saya haramkan dari penglihatan suami yang dzalim."
"Suami dzalim?" tanya Alvian kaget. "Aku?"
Aisha mengangguk.
"Suami yang masih membagi cinta dan perasaannya dengan wanita lain, suami yang berkhianat dengan masih menjalin hubungan dengan wanita lain, suami yang tidak pernah menjalankan kewajibannya mengabaikan dan tidak mencintai istrinya dengan penuh kasih sayang. Semua itu ada pada anda. Suami Dzalim."
"Satu lagi. Suami yang berjanji pada wanita lain tidak akan pernah menyentuh istrinya, padahal itu adalah hak si istri. Apa sebutan yang pantas untuk suami seperti itu."
Alvian membelalakkan matanya.
"Bagaimana kamu tahu?" tanyanya gagap.
"Saya tahu semuanya. Jadi biarlah saya tutup wajah dan seluruh badan ini. Tak tersentuh hingga kita berpisah nanti."
"Setidaknya tidak akan ada bekas noda di tubuh ini."