Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Veronica Bungas
Pulau itu terlihat, hijau, ketika serabut awan tersibak. Selarik sungai besar menyanyat tanah, berkelok-kelok bagaikan seekor ular raksasa. Sungai-sungai kecil memarkah bumi, bagai cabang-cabang urat syaraf atau nadi yang berdenyut-denyut dengan kehidupan. Ini yang mereka sebut paru-paru dunia?
Dihyan yang biasanya hampir tak pernah tertarik dengan apapun, di dalam pesawat, tidak mampu menahan semangatnya. Laki-laki muda itu ternganga. Mau tidak mau ia harus mengakui bahwa perjalanan ini mungkin sekali menjadi salah satu hal yang paling bermakna di dalam kehidupannya.
Centhini yang duduk di samping Dihyan ikut melongok ke luar jendela bulat pesawat. Ia juga sama terkagum-kagumnya dengan Dihyan, tetapi tidak separah adik laki-lakinya tersebut.
Centhini tersenyum, menyikut Dihyan pelan. “Gimana? Keren ya?”
“Kamu ingat waktu kita naik pesawat ke Bali, Mbak? Pas study tour SMA dulu?” tanya Dihyan.
Centhini mengangguk.
“Aku dulu sudah berpikir bahwa pulau dewata itu sudah yang paling magis, paling gaib. Tapi, Kalimantan, bahkan ketika terlihat dari atas seperti ini, sudah menunjukkan keajaibannya.”
“Magis? Horor gitu maksudnya?”
“Bukan, Mbak. Ya, satu sisi memang iya, definisi magis kan ada unsur mengerikan dan menakutkan. Tapi, magisnya Kalimantan ini seperti apa ya …? Ehm … agung, megah.” (seperti Camelia Green, ujar Dihyan di dalam hati).
Centhini kembali melongok ke luar jendela. Ia mengerutkan bibirnya dan mengangguk-angguk. “Iya, deh. Yang jelas, karena nggak ingat pernah lahir di tempat ini, aku jadi bersemangat, seperti baru kesini saja. Aku juga senang kamu juga ikutan bersemangat, Yan. Khawatirnya tadi pas kita berangkat, kamu bakal murung. Terus nuduh aku yang terlalu bersemangat karena pengin ketemu saudara di Singkawang. Syukurlah, ternyata kamu juga senang.”
Dihyan juga heran. Ada apa dengan hatinya hari ini? pulau hijau yang terhampar di permukaan samudra itu tidak terlihat kecil dari atas. Beda dengan kota kepulauan dimana ia tinggal, yang seperti kain perca mengambang di laut, atau bongkahan tanah yang tercecer ketika Tuhan sedang membangun pulau Sumatra. Pulau Kalimantan, seperti mengangkang dengan gagah, berani, dan cenderung lancang. Langit yang melengkung bak atap yang melindungi pondok bumi tersebut.
Dihyan berpaling ke arah Centhini, kemudian meringis.
“Nah, gitu dong. Ceria,” ujar Centhini pendek.
Sesampainya di bandara Supadio, Pontianak, serangan matahari kota Khatulistiwa tersebut langsung menyambar. Panas, terik, terang dan kering. Dihyan tidak keberatan. Kota tempatnya tinggal juga sama brutalnya: panas dan hujan datang sekehendak hati. Angin laut yang berembus kerapkali kencang dan dingin, mengancam kesehatan rakyatnya, serta menumbangkan pepohonan di jalan yang jarang dipangkas pemerintah daerah.
“Gila, Pontianak sudah sepadat dan seramai ini,” seru Benjamin di dalam mobil yang melaju di jalan utama dari bandara menuju ke hotel mereka.
“Memangnya dulu seperti apa, Pak?” tanya Dihyan.
“Ya, yang jelas tidak seramai ini. gedung-gedung tinggi masih bisa dihitung dengan jari di tangan kanan Bapak ini. Terus, jalannya juga nggak sebesar ini, nggak mulus seperti sekarang. Kiri-kanan masih banyak pepohonan, terus lahan kosong berisi rumput ilalang. Cuma, dari dulu Pontianak ini luas sekali, apalagi provinsinya. Kota tempat kita tinggal hanya seiprit dibanding Pontianak. Meskipun, secara pembangunan, kota kita tinggal memang lebih maju. Itu karena kota kita dirancang sebagai pusat industri. Kalau Pontianak, apalagi provinsi Kalimantan Barat ini, besaaar sekali. Nanti kita ke Singkawang saja butuh empat jam-an.”
Dihyan mengangguk-angguk.
Centhini dan Maryam saling pandang, kemudian tersenyum geli melihat Dihyan bersemangat mendengar cerita ayahnya.
Keluarga Setiadi menginap di salah satu hotel besar di pusat kota. Dari jendela hotel terlihat lanskap kota Pontianak yang terbentang di bawahnya. Hotel itu juga berdiri dekat dengan beragam landmark dan bangunan-bangunan penting, seperti mall, museum, perpustakaan, rumah dinas gubernur Kalimantan Barat, serta kampus universitas negeri.
“Yan, ikut aku yuk. Aku cari di internet kemarin, sore ini ada latihan tari rutin dari sebuah sanggar di rumah adat Dayak. Deket kok dari sini. Jalan kaki aja bisa.”
Centhini awalnya sudah siap untuk memaksa Dihyan untuk menemaninya, apalagi melihat sifat alami Dihyan yang hampir selalu menolak ajakan kakaknya itu.
Namun, secara mengejutkan, Dihyan langsung mengangguk. “Ayuk, Mbak. Aku temani. Bapak Ibu biarkan istirahat saja. Nanti malam baru kita cari makan.”
Centhini mengernyit, terkejut dengan persetujuan Dihyan.
Akan tetapi memang akhirnya dua saudari berbeda orang tua ini berjalan kaki di trotoar jalan utama kota yang lebar tersebut. Mereka melewati museum, melihat rumah dinas gubernur serta berbelok ke rumah betang, rumah adat suku Dayak yang berada tepat di tengah kota.
Seperti terbius, baik Centhini maupun Dihyan berjalan menuju pusat suara tetabuhan yang terdengar begitu memukau. Aura magis, misterius, sekaligus agung dan gaib memenuhi relung-relung hati mereka.
Beberapa gadis Dayak dengan pakaian kasual melenggak-lenggok sesuai dengan ritma dari tetabuhan dan dentingan dawai sapek. Tangan mereka terentang ke samping, kemudian dikepakkan meniru sayap burung enggang, burung endemik Kalimantan yang memiliki status tinggi dan dihormati oleh rakyat suku Dayak secara khusus.
Gerakan mereka gemulai, tetapi tegas di saat yang sama. Bukan seperti tari suku Jawa yang cenderung lembut dan terkontrol, gerak gadis-gadis Dayak ini bebas, menghentak, akan tetapi di saat yang sama serempak dan penuh keanggunan.
Dihyan merasakan jiwanya terpasung pada pesona yang mendadak ini. Sinar mentari redup memantul di kulit gadis-gadis itu yang putih dan berpeluh. Semuanya cantik. Wajah mereka seperti gadis-gadis Tionghoa, tetapi memiliki perbedaan sendiri yang khas.
“Coba lihat deh, Yan. Wajah-wajah mereka mirip orang Cina, kan? Soalnya aku dengar, memang orang Dayak memang kawin campur dengan orang Cina di masa lalu. Ra mung fisik, nggak hanya penampilan, budaya Dayak juga banyak berbagi dengan budaya Cina. Unik ya?” ujar Centhini seakan menjawab pertanyaan Dihyan di dalam hati.
Detak jantung Dihyan semakin terpacu oleh dentuman irama musik tetabuhan yang menyentak-nyentak, meledak-ledak, mendepak-depak, bahkan menggelegar, dan berpendar. Ada semacam kekuatan aneh nan ajaib yang menjalar melewati udara, menyebar, kemudian memenjarakan Dihyan. Ia tak bisa bergerak, sepasang matanya terpaku, hampir-hampir tak berkedip. Tidak hanya pada gerakan gadis-gadis penari tersebut, tetapi juga pada hawa, suara, irama, bahkan udara yang tercipta.
“Duh, segitunya terpesona sama cewek-cewek. Udah ah, jangan bikin malu, Yan.”
Dihyan tersentak mendengar kata-kata kakaknya itu. Tubuhnya melemas. Ia baru ingat untuk berkedip dan bernafas. Keringat dingin merembes di pelipisnya. Dihyan segera menyeka dengan punggung tangan untuk menghilangkannya.
Apa itu dari? Pikir Dihyan keras.
“Hi. I’m Veronica Bungas. How do you like the dance and the performance?”
Seorang gadis muda menghampiri Dihyan dan Centhini.
Dihyan gelagapan dengan kejadian ini. Namun, entah bagaimana, secara otomatis ia merespon dengan terlebih dahulu mengendalikan keadaan. “Ah, eh … it’s great, just great. I would like to know more about the dance.”
“Cool, sure. So, let me tell you about the story of the dance. Come with me if you like,” ujar Veronica.
Dihyan menatap Centhini, kemudian melebarkan kedua matanya, sembari melihat Dihyan berjalan mengikuti Veronica.
Centhini hampir-hampir menjatuhkan rahangnya. Darimana Dihyan mendapatkan keberanian semacam itu? Sudah pasti gadis yang bernama Veronica itu berpikir bahwa Dihyan adalah seorang turis. Berhubung wajahnya yang bule, termasuk juga perawakannya yang tinggi, tidak heran orang bisa salah paham. Untungnya lagi, selama mereka bersekolah bersama, bahkan sampai kuliah, Centhini dan Dihyan memiliki otak yang cesplong. Mereka pintar. Apalagi Dihyan sendiri mengambil jurusan komunikasi di kampusnya. Maka penguasaan bahasa Inggris sudah pasti menjadi semacam kewajiban.
“Apa mungkin aku ini seorang pecundang?” mungkin tidak begitu kata hati Dihyan ketika sadar bahwa ia melakukan tindakan ini.
knp tak cerita ke Bapaknya wae yaak, Benyamin itu... mungkin lebih paham. awas Yan jngn mengartikan sendiri ntar salah arti lohhh