Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.
Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.
Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.
Apakah Elara dan Orion mampu m
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35: Bayangan di Balik Langit Biru
Elara duduk di atas tandu medis yang disiapkan tim penyelamat. Badannya penuh luka dan kotoran, tapi dia berhasil. Nexus telah hancur, Ardan telah tiada—atau begitulah yang dia pikirkan. Dunia di depannya kini terasa lebih sepi, lebih sunyi, namun sekaligus lebih ringan.
“Akhirnya selesai,” gumamnya pelan sambil memandang reruntuhan yang masih mengepul di kejauhan.
Tapi sesuatu di dalam hatinya nggak sepenuhnya tenang. Ada perasaan gelisah yang nggak bisa dia abaikan.
---
Pemulihan yang Mengejutkan
Tim penyelamat membawa Elara ke kamp pengungsian yang udah jadi pusat evakuasi bagi orang-orang yang selamat dari kehancuran Nexus. Mereka memasangnya di ruang medis darurat, sementara dokter memeriksa luka-lukanya.
“Lo harus istirahat dulu. Luka lo parah banget, cewek,” ujar seorang paramedis yang kelihatan lebih khawatir daripada Elara sendiri.
Tapi Elara nggak bisa tenang. Dia terus-terusan ngecek laporan dari tim teknis di lokasi reruntuhan. Detonator yang dia aktifkan memang berhasil menghancurkan Nexus, tapi energi aneh yang tersisa di bawah reruntuhan masih terdeteksi.
“Itu nggak masuk akal,” pikir Elara sambil membolak-balik laporan. “Nexus seharusnya mati total. Apa gue kelewatan sesuatu?”
---
Mimpi Buruk yang Nyata
Malam itu, Elara mencoba tidur. Tapi begitu matanya terpejam, bayangan Ardan langsung muncul di dalam pikirannya.
“Lo pikir ini udah selesai?” suara berat Ardan terdengar jelas di telinganya. “Gue masih ada di sini, Ra. Nexus nggak pernah benar-benar mati. Lo cuma nyentuh permukaannya.”
Elara terbangun dengan keringat dingin, napasnya memburu. Dia memandang sekeliling, memastikan dirinya masih di ruang medis. Tapi bayangan itu terasa nyata, seperti peringatan bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar menunggunya.
---
Panggilan Darurat
Pagi harinya, sebuah pesan darurat diterima di pusat komunikasi kamp. Tim penyelamat yang masih bekerja di lokasi reruntuhan melaporkan sesuatu yang mengejutkan: ada aktivitas aneh di inti reruntuhan Nexus.
“Energi yang kita deteksi semakin kuat, dan ada tanda-tanda pergerakan di bawah tanah,” kata suara dari komunikasi radio. “Kami butuh bantuan segera.”
Elara langsung bangkit dari tempat tidurnya, meski tubuhnya masih terasa berat. Dia tahu ini bukan sesuatu yang bisa dia abaikan.
“Gue ikut. Lo nggak bisa cegah gue,” katanya tegas ke salah satu komandan tim.
“Lo bahkan belum pulih!” protes sang komandan.
“Kalau itu benar-benar Ardan, gue satu-satunya yang ngerti cara ngadepinnya,” jawab Elara tanpa ragu.
---
Bayangan Kegelapan
Ketika Elara sampai di lokasi reruntuhan, dia melihat sesuatu yang bikin darahnya membeku. Di tengah puing-puing yang masih berasap, ada bentuk energi gelap yang mengapung di udara, perlahan membentuk sosok yang mengerikan.
Dan di tengah energi itu, ada wajah yang dia kenal—Ardan.
“Lo pikir lo bisa ngehancurin gue semudah itu, Ra?” suara Ardan terdengar lebih berat, lebih dalam, seolah-olah dia adalah bagian dari Nexus itu sendiri sekarang.
Elara menelan ludah. “Gue nggak percaya ini. Lo masih hidup... atau apapun lo sekarang.”
Ardan tersenyum sinis. “Gue bukan cuma hidup. Gue adalah Nexus sekarang. Dan lo baru aja bikin gue lebih kuat dengan ngeledakin inti itu. Semua energi Nexus ada di dalam gue sekarang.”
---
Pertarungan Baru Dimulai
Elara sadar kalau dia nggak siap buat ini. Senjatanya udah habis, dan tubuhnya masih belum pulih sepenuhnya. Tapi dia juga tahu, nggak ada waktu buat mundur. Kalau Ardan benar-benar jadi Nexus, maka dia lebih berbahaya dari sebelumnya.
Dengan cepat, Elara ngambil alat komunikasi dan mulai nyusun strategi dengan timnya. “Kita nggak bisa ngandelin serangan biasa. Lo semua harus cari cara buat matiin energi yang dia serap. Gue bakal coba tahan dia selama mungkin.”
“Lo gila, Elara! Itu bunuh diri!” teriak salah satu teknisi.
“Nggak ada waktu buat debat! Lakuin aja!” jawab Elara sambil lari ke arah bayangan Ardan.
Dia sadar ini mungkin akhir baginya, tapi dia nggak peduli. Dunia terlalu berharga buat dibiarkan jatuh ke tangan Nexus.
“Ayo, Ardan. Selesaikan ini!” teriak Elara sambil menatap sosok energi gelap itu.
Dan dengan suara gemuruh, Ardan mulai menyerang, sementara Elara berlari menuju takdirnya.
To be continued...