Letnan satu Bisma Dwipangga patah hati setelah diputuskan oleh tunangannya. Hubungannya yang sudah terjalin cukup lama itu, kandas karena sebuah alasan. Demi sebuah jenjang karier yang masih ingin digapai, dr. Jelita Permata terpaksa mengambil keputusan yang cukup berat baginya.
"Aku ingin melanjutkan studiku untuk mengejar dokter spesialis. Kalau kamu tidak sabar menunggu, lebih baik kita sudahi hubungan ini. Aku kembalikan cincin tunangan ini." Dr. Lita.
"Kita masih bisa menikah walaupun kamu melanjutkan studi menjadi Dokter spesialis, aku tidak akan mengganggu studi kamu, Lita." Lettu Bisma.
Di tengah hati yang terluka dan patah hati, Bu Sindi sang mama justru datang dan memperkenalkan seorang gadis muda yang tidak asing bagi Letnan Bisma.
"Menikahlah dengan Haura, dia gadis baik dan penurut. Tidak seperti mantan tunanganmu yang lebih mementingkan egonya sendiri." Bu Sindi.
"Apa? Haura anak angkat mama dan papa yang ayahnya dirawat karena ODGJ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ban 18 Haura Pulang Terlambat
"Bisma besok kamu mulai masuk kerja bukan? Apakah kakimu sudah mulai sembuh?" Pak Saka bertanya dengan nada khawatir.
"Sudah mendingan, Pa, tidak terlalu sakit dan jalanpun tidak pincang lagi," jawab Bisma sedikit lega.
"Syukurlah. Papa mohon, kamu tetap bisa mengontrol diri kamu saat di kantor. Biarkan orang yang sudah merebut kebahagiaan kamu menari-nari di atas luka hatimu. Papa yakin orang itu akan malu jika bertemu kamu, itupun kalau dia masih punya hati dan perasaan," singgung Pak Saka perihal Danki yang sudah berkhianat terhadap Bisma.
"Papa jangan khawatir, dan lagi Papa atau Mama jangan menyinggung lagi dua orang itu ataupun keluarganya. Saat ini Bisma sudah ingin melupakan mereka, Bisma lagi membenahi hati Bisma. Biarkan Bisma tenang tanpa mendengar orang-orang itu disebut," protes Bisma tidak suka.
"Baiklah, maafkan papa. Tadi papa hanya mengingatkan kamu saja. Kalau kamu sudah mulai berusaha melupakan mereka, papa dan mama sungguh sangat bersyukur. Memang orang-orang seperti itu harusnya kita hempas dalam kehidupan kita, supaya tidak merusak mood kita."
***
Sore semakin menjelang, Pak Saka dan Bu Sindi merasa khawatir sebab Haura masih juga belum pulang dari kampus. Sementara hari sepertinya akan turun hujan, semakin dilanda khawatir kedua orang tua itu. Langitpun mulai menggelap, padahal jam di dinding baru menunjukkan ke angka empat sore.
"Haura belum juga kembali, mama sangat khawatir. Tadi siang, Haura memang sempat menghubungi mama dan memberitahukan kalau pulangnya akan sedikit sore. Tapi, jam berapa dia akan pulang? Ini saja sudah jam empat sore." Bu Sindi nampak gelisah menanti kepulangan Haura yang entah jam berapa. Di luar awan semakin mendung, disusul kilat yang tiba-tiba menyambar.
Bisma yang saat ini juga ikut berkumpul di ruang tamu, di dalam hatinya terselip rasa was-was, kenapa Haura masih belum pulang di jam empat sore ini.
Mereka bertiga sengaja berkumpul di ruang tamu sembari menunggu kepulangan Haura, tidak lupa pintu rumah juga dibukanya, supaya bisa mengawasi keluar.
"Paling pacaran dengan pemuda tadi yang menjemputnya. Mojok di mana saja, mama jangan heran dengan anak muda jaman sekarang," tuding Bisma masih saja negatif thinking terhadap Haura.
"Belum tentu sepeti itu, Bisma. Hari ini Haura ada lomba mode busana, sepertinya acara itu membuat kepulangan Haura terlambat," respon Bu Sindi masih terdengar membela Haura.
"Ma, bikinkan papa kopi panas yang enak itu. Papa ingin ngopi sembari menunggu Haura." Pak Saka meminta dibuatkan kopi oleh Bu Sindi.
"Bisma, kamu mau mama buatkan juga kopi?" Bu Sindi menatap Bisma. Bisma menggeleng, meskipun kopi buatan sang mama merupakan kopi pertama yang enak di mulutnya, tapi Bisma menolak tawaran Bu Sindi. Bisma justru terbayang-bayang kopi buatan Haura yang baginya enak juga.
"Baiklah, berarti hanya Papa saja yang bikin kopi," ujar Bu sindi seraya berlalu menuju dapur. Bu Sindi tidak mengoper alih tugas membuat kopi untuk suaminya pada Bi Mimin, sebab Pak Saka hanya cocok meminum kopi buatan sang istri.
Bu Sindi sudah kembali dari dapur lalu meletakkan kopi itu di depan suaminya. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba hujan turun sangat lebat. Awan hitam yang bergelayut itu sudah tidak tahan lagi menahan bebannya, sehingga ia mencurahkan semua endapan air dari gumpalan awan hitam itu.
Petir saling bersahutan, menyambar gundahnya alam yang sedang dicucuri sang hujan, kadang angin kencang menyertai gemuruhnya.
Bu Sindi semakin khawatir dengan keadaan Haura yang belum pulang. Hatinya berdoa sejak tadi supaya Haura selamat.
"Sudah setengah lima, tapi Haura belum kembali," desah Pak Saka was-was.
"Sepertinya huja di dekat kampusnya juga lebat, Pa. Haura pasti sedang berteduh dulu. Daripada melanjutkan pulang dengan keadaan hujan lebat seperti ini, justru membahayakan. Semoga saja hujan ini segera reda supaya Haura bisa segera pulang.
Kini ketiganya hanya menunggu pasrah kedatangan Haura di ruang tamu sembari berharap Haura dalam keadaan baik-baik saja.
Hujan masih belum reda, sementara jam di dinding sudah menuju angka lima. Bu Sindi dan Pak Saka semakin gelisah.
"Coba Mama hubungi nomer Hp nya, Ma," suruh Pak Saka tidak sabar.
Bu Sindi tidak menunda lagi, ia segera meraih Hp nya dan menghubungi nomer Haura. Sayang sekali nomer Haura sedang tidak aktif.
"Tidak aktif, Pa," lapor Bu Sindi gelisah.
"Ya sudah, tidak usah dihubungi lagi. Sepertinya nomer Hp Haura habis batre," saran Pak Saka. Bisma yang sejak tadi ikut gelisah, tiba-tiba bangkit. Ia pun sama menunggu kedatangan Haura karena ingin dibuka perban.
Saat Bisma akan melangkah meninggalkan ruang tamu, sebuah mobil berwarna biru metalik berhenti di depan pintu gerbang, tepat jam dinding menunjukkan ke angka 17.15 menit.
Bu Sindi merasa lega saat melihat Haura keluar, disusul seorang pemuda yang tadi pagi menjemput Haura. Pemuda itu sengaja turun untuk memayungi Haura dan mengantar Haura ke dalam gerbang rumah.
Semua mata tertuju pada Haura yang berjalan berpayung berdua dengan pemuda yang mengantarnya itu. Bisma menatap dengan desiran di dalam dadanya. Ada perasaan cemburu ketika pemuda itu lebih merelakan payungnya menaungi sekujur tubuh Haura, sementara tubuh pemuda itu masih ditetesi hujan di bahunya. Sungguh pemandangan yang membuat mata Bisma tiba-tiba sepet.
"Terimakasih banyak Adi, kamu mau masuk dulu? Kebetulan Mama dan Papaku ada, sepertinya mereka sengaja menunggu kepulanganku," ucap Haura sembari sedikit berbasa-basi kepada Adi.
"Tidak Haura, terimakasih. Aku sampai teras rumahmu saja." Adi menolak ajakan Haura. Ia mengantar Haura sampai teras rumah saja.
"Haura, kamu sudah pulang? Alhamdulillah, kamu pulang dengan selamat. Ayo, ajak sekalian temanmu itu Haura," sapa Bu Sindi seraya melemparkan tatap kepada Haura dan Adi. Bisma pun sejak kemunculan Haura, tatapnya tidak lepas dari Haura dan pemuda yang mengantarnya. Tatapnya begitu sinis, karena Bisma mendadak tidak suka melihat Haura diantar teman laki-lakinya.
"Tidak, terimakasih Tante, Om. Sepertinya saya harus segera kembali, sebab waktu sudah semakin sore. Kalau begitu, saya pamit dulu,Om, Tante," ucap Adi langsung berpamitan.
"Wahhh, padahal berteduh dulu di dalam sambil membuat kopi." Bu Sindi berbasa-basi.
"Terimakasih Tante, lain hari mungkin. Saya pamit, assalamualaikum." Adi menolak ajakan Bu Sindi, ia segera berpamitan dan membalikkan badan menuju mobilnya. Sejenak Haura menatap dan melambaikan tangan kepada Adi mengantar kepulangan Adi.
Setelah mobil Adi menjauh, Haura memasuki rumah disambut kedua orang tuanya lega.
"Haura, tolong ganti perban luka aku, dong. Aku sudah tidak enak dengan perban ini," celetuk Bisma tanpa membiarkan Haura mengistirahatkan dulu tubuhnya di atas sofa.
kamu juga sering menghina Haura...
sama aja sih kalian berdua Bisma dan Jelita...😤
🤬🤬🤬🤬🤬🤬
cinta tak harus memiliki Jelita..siapa suruh selingkuh😁😁😁😁
ada ada aja nih jelita 😆😆😆😆😒
gak sia² si Bisma punya mulut bon cabe 🤣🤣🤣🤣
bilang aja kejadian yang sebenarnya...
Bisma salah paham...