Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Setelah satu bulan berlalu sejak Arka kembali ke Indonesia, tepatnya ke kota yang penuh kenangan masa kecil dan remajanya, ia mulai menemukan ritme dalam hidup barunya. Hari-harinya penuh dengan kerja keras, menyesuaikan diri dengan kondisi perusahaan yang kini berada di bawah pengawasannya.
Arka menghabiskan sebagian besar waktunya di kantor, mempelajari setiap detail operasional, memahami laporan keuangan, dan memastikan seluruh timnya bekerja sesuai visi yang ingin ia bangun. Dedikasinya membuat banyak orang di sekitarnya terkesan, namun ada alasan kuat di balik kesibukannya ini, Arka tidak ingin menyisakan celah dalam urusan pekerjaan.
Karena setelah semua urusan kantor selesai ia tangani, ada hal lain yang jauh lebih penting yang menunggu perhatian dan keberanian darinya, sesuatu yang telah ia hindari selama bertahun-tahun, tapi kini terasa tidak bisa lagi diabaikan.
Tok…Tok…
Suara ketukan pintu terdengar dari ruangan kerja Arka.
"Sudah waktunya makan siang, Pak. Mau makan di luar, atau pesan antar saja?" tanya Jevian, sahabat sekaligus sekertarisnya, yang berdiri di depan pintu dengan ekspresi santai.
Arka mendongak dari tumpukan berkas, menatap Jevian dengan pandangan malas. "Bisa gak sih lo ngomongnya biasa aja?" katanya sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kerja.
Ruangan itu hanya diisi mereka berdua, menciptakan suasana yang lebih santai. Sebagai sahabat sejak kuliah, Jevian sering menggunakan bahasa santai saat berbicara dengan Arka, meskipun status pekerjaannya kini sebagai sekretaris pribadi.
"Yah kan, ini masih jam kerja, Pak. Profesional dong gue," jawab Jevian dengan nada bercanda, disertai tawa kecil yang mengundang senyuman tipis dari wajah serius Arka.
"Nggak usah pesenin makanan. Gue mau keluar," sahut Arka singkat, tanpa melepaskan pandangannya dari berkas-berkas dihadapannya. "Dan lu nggak usah ikut."
"Lah, Pak. Terus gue makan siang sama siapa dong?" keluh Jevian, pria tampan dengan sikap tengil khasnya.
Arka menatap Jevian dengan ekspresi datar. "Jev, selama lu kerja sama gue, belum pernah kan gue timpuk berkas? Mau ngerasain sekarang?"
"Yaelah, sensi amat. Hati-hati, Ka. Ntar lo cepet tua," ledek Jevian sambil cengengesan.
"Udah, makan sendiri aja sana. Atau ajak Atalia," jawab Arka sambil berdiri, merapikan jasnya dengan gerakan santai.
"Mana mau si Ata makan berdua sama gue doang," gumam Jevian sambil melipat tangan. Ia teringat Atalia, sekretaris Arka lainnya, yang selalu menjaga jarak darinya karena sifat Jevian yang usil.
Arka menggelengkan kepala, setengah kesal. "Ya lu usil mulu ke dia. Salah siapa coba?." Lanjut Arka, yang mulai beranjak dari kursi kerjanya.
Jevian hanya terkekeh. Tapi kemudian ekspresinya berubah curiga. "Eh, gue tau nih. Jangan-jangan lu mau jalanin 'misi' lagi, ya?"
Langkah Arka terhenti di depan pintu. Ia menoleh sekilas, menatap Jevian dengan senyum samar. "Itu urusan gue. Jangan ikut campur. Gue balik lagi habis makan siang."
"Ka, serius deh. Misi lu itu apaan sih? Gue makin penasaran, sumpah," kata Jevian sambil mengusap dagunya.
Arka hanya tersenyum tipis, lalu keluar dari ruangan tanpa memberikan jawaban. Jevian menatap punggung sahabatnya itu dengan penuh rasa ingin tahu.
Kini, pria tampan dengan tinggi 178 cm, penuh karisma, berdiri diam di depan sebuah Creatif Hub & Cafe yang tampak ramai. Pandangannya terfokus pada sosok di balik kaca depan kafe itu.
Sudah lima menit ia berdiri di sana, memandangi seorang wanita cantik dengan senyum manis yang mampu menghangatkan hati siapa pun yang melihatnya. Wanita itu, dengan cekatan dan penuh kehangatan, melayani para pelanggan yang mengantre di depan kasir.
Arka tidak bisa mengalihkan pandangannya. Ada sesuatu yang membuat waktu terasa melambat ketika ia melihat wanita itu tersenyum, bukan hanya kepada pelanggan, tetapi juga kepada dunia sekitarnya. Senyum itu, tanpa ia sadari, memicu kenangan yang sudah lama ia kubur.
Tangan Arka mengepal di samping tubuhnya, seolah sedang berusaha mengendalikan emosi yang perlahan memenuhi dadanya. Ia menarik napas dalam, mencoba menyusun keberanian untuk melangkah masuk. Namun, langkahnya terhenti lagi ketika tatapan wanita itu tiba-tiba bertemu dengannya.
Mata mereka bertemu sejenak, cukup untuk membuat dada Arka terasa sesak. Namun, wanita itu tidak mengenalinya. Wajar saja, Arka mengenakan kacamata hitam yang menyembunyikan sebagian besar wajahnya.
Keberanian yang tadi ia kumpulkan perlahan runtuh. Detik itu juga, ia memutar tubuhnya, melangkah pergi dengan langkah tergesa, seolah ingin menjauh dari perasaan yang mulai menggerogoti hatinya.
"Kenapa gue malah ragu sekarang?" gumamnya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh hiruk-pikuk jalanan di sekitarnya.
***
Di studio kreatif sekaligus kafe milik Siera, suasana siang itu berbeda dari biasanya. Jam makan siang kali ini jauh lebih sibuk. Pelanggan terus berdatangan, memenuhi setiap sudut ruangan yang hangat dengan dekorasi minimalis dan sentuhan seni di setiap dindingnya.
"Kak Sie, makan siang dulu, gih. Biar aku yang gantiin di kasir," ucap Tiwi, salah satu staf yang sejak tadi memperhatikan bosnya belum sempat istirahat.
Siera, wanita muda dengan rambut dikuncir sederhana, menggeleng sambil tetap tersenyum. "Nggak apa-apa, Wi. Sebentar lagi, kalau pelanggan mulai berkurang."
Tiwi mengerutkan dahi, sedikit cemas melihat suasana kafe yang semakin ramai. "Kayaknya ini bakalan padat sampai malam deh, Kak."
Siera tertawa kecil sambil merapikan catatan pesanan. "Bagus dong kalau kafe dan Creative Hub kita makin ramai. Artinya, kita sukses, hehe."
Tiwi mengangguk setuju, tetapi raut wajahnya menunjukkan keraguan. Ia melirik ke luar jendela besar yang menghadap ke jalan. Setelah beberapa detik, ia kembali bicara, kali ini dengan nada sedikit ragu. "Tapi yah, Kak... aku perhatiin dari tadi ada seseorang yang berdiri di seberang kafe, deh."
Siera mengangkat alis, merasa penasaran. "Masa sih, Wi?"
"Iya, Kak. Udah ada sepuluh menitan kali. Berdiri aja gitu, nggak masuk-masuk," lanjut Tiwi sambil menunjuk dengan dagunya ke arah luar jendela, mencoba menunjukkan sosok yang dimaksud.
Penasaran, Siera mengikuti arah pandangan Tiwi. Ia menoleh ke luar jendela besar yang menghadap jalan. Benar saja, di seberang jalan, berdiri seorang pria dengan kacamata hitam. Sosoknya tegap, mengenakan setelan jas mahal yang terlihat rapi namun tidak berlebihan.
Siera menyipitkan mata, mencoba menelaah wajah pria itu meskipun sebagian tertutup kacamata hitam. Ada sesuatu yang menarik darinya, bukan hanya penampilan fisik, tetapi juga aura misterius yang memancarkan karisma tak biasa.
Namun, sebelum Siera bisa lebih lama memperhatikannya atau mencoba mengingat apakah ia mengenal pria tersebut, pria itu tiba-tiba memutar badan. Langkahnya cepat, nyaris terburu-buru, seolah menyadari dirinya sedang diperhatikan.
"Dia siapa, ya?" gumam Siera pelan, lebih kepada dirinya sendiri.