NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Setumpuk Skripsi

Cinta Dalam Setumpuk Skripsi

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni / Idola sekolah
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: orionesia

Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tiba-Tiba, Alia Mengangkat Gelasnya

Malam itu, Aldo masih tenggelam dalam pikirannya. Sudah beberapa hari sejak ia terakhir bertemu dengan Alia di kafe. Sejak pertemuan itu, Alia tidak memberikan kabar apapun, seolah menghilang dari kehidupan Aldo. Hatinya diliputi rasa bersalah dan kekhawatiran. Ia mencoba menghubungi Alia beberapa kali, namun tidak pernah mendapat balasan. Bahkan di kampus, Alia tampak menghindarinya sehingga membuat Aldo semakin merasa terasing.

Setelah beberapa hari dilanda perasaan tidak menentu, teman-teman Aldo yaitu Fahri, Guntur, dan Sigit mengajaknya pergi nongkrong di sebuah bar kecil di pinggir kota. Mereka berpikir mungkin itu bisa membantu Aldo melupakan sejenak masalah yang sedang dihadapinya. Awalnya, Aldo merasa ragu untuk ikut. Pikirannya masih penuh dengan Alia, dan ia tidak yakin apakah bersenang-senang adalah hal yang tepat untuk dilakukan. Namun, dorongan dari teman-temannya akhirnya membuatnya setuju.

“Ayo, Do, lu butuh refreshing,” kata Fahri sambil menepuk bahunya. “Udah beberapa hari ini muka lu kayak orang habis ditolak cewek.”

Aldo hanya tersenyum tipis. “Gue nggak habis ditolak, tapi juga nggak tau gimana lanjutannya.”

Guntur, yang biasanya paling blak-blakan, tertawa sambil menyeruput minumannya. “Tenang, bro. Kalau pun Alia nggak balas, mungkin dia cuma butuh waktu buat mikir. Lagian, siapa yang bisa nolak pesona seorang Aldo, si perusak hati perempuan kampus ini?”

Aldo menunduk dan tersenyum pahit. “Masalahnya ini bukan soal pesona, Gunt. Gue udah jujur soal taruhan itu, dan gue tahu dia kecewa.”

Obrolan itu membuat Aldo semakin memikirkan kesalahannya. Taruhan yang ia buat dengan teman-temannya mungkin awalnya hanya lelucon kecil, tapi sekarang terasa seperti sebuah dosa besar. Bagaimanapun juga, Alia pantas merasa kecewa, dan Aldo tidak bisa menyalahkannya. Namun, di sisi lain, Aldo juga merasa bahwa ia perlu menebus kesalahan itu, membuktikan bahwa perasaannya kini tulus dan tanpa motif tersembunyi.

Mereka bertiga akhirnya tiba di bar yang sudah direncanakan. Tempat itu tidak terlalu ramai, cukup nyaman untuk nongkrong tanpa merasa terganggu oleh keramaian berlebih. Aldo, yang duduk di pojok bersama teman-temannya, merasa bahwa suasana malam itu seharusnya bisa membantu mengurangi tekanan di hatinya. Tapi, meski suasananya menyenangkan, pikirannya tetap tertuju pada Alia.

Beberapa menit setelah mereka duduk, Aldo menyadari bahwa ada sekelompok mahasiswa lain yang juga berada di bar tersebut, salah satunya tampak sangat familiar. Ia memperhatikan lebih dekat dan menyadari bahwa itu adalah Alia, bersama beberapa temannya. Jantung Aldo berdegup lebih cepat ketika melihat gadis yang selama beberapa hari ini terus menghantui pikirannya.

Alia sedang duduk di sudut lain bar, tertawa kecil sambil berbicara dengan teman-temannya. Penampilannya malam itu tampak berbeda dan lebih santai, dengan t-shirt kasual dan jeans, tidak seperti penampilannya yang biasanya formal dan rapi saat berada di kampus. Di saat yang bersamaan, Aldo merasa gugup. Ia tidak tahu apakah sebaiknya menghampiri Alia atau tetap diam di tempatnya. Namun, satu hal yang pasti, kehadiran Alia membuatnya semakin tidak tenang.

“Aldo, itu Alia, kan?” bisik Fahri sambil memandang ke arah yang sama.

Aldo mengangguk pelan. “Iya, dia di sini.”

“Lo nggak mau nyapa dia?” tanya Sigit dengan nada yang memprovokasi.

Aldo hanya menggeleng. “Gue nggak yakin, Git. Gue nggak tau gimana perasaannya ke gue sekarang.”

Guntur tertawa kecil. “Ah, bro. Ini kesempatan emas. Kenapa nggak lo coba aja? Kalau memang jodoh, ya jodoh.”

Aldo merasa perutnya semakin mual. Ia tidak yakin apakah ini waktu yang tepat. Namun, di saat ia masih berdebat dengan dirinya sendiri, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Alia, yang tampaknya baru menyadari keberadaan Aldo, tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja Aldo dan teman-temannya. Jantung Aldo semakin berdegup kencang. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Alia berhenti tepat di depan meja mereka. Dengan wajah yang tenang namun penuh arti, ia mengangkat gelas minumannya sedikit, lalu menatap Aldo.

“Maksudmu, mendapatkanku?” katanya dengan suara lantang, mengutip kalimat taruhan yang pernah Aldo lontarkan di hadapan teman-temannya dulu.

Aldo tersentak. Teman-temannya tampak terdiam, tidak menyangka Alia akan muncul begitu tiba-tiba dengan pernyataan langsung seperti itu. Rasa malu dan bersalah menyelimuti Aldo. Ia merasa seolah-olah seluruh bar terfokus pada mereka berdua, meskipun hanya beberapa orang di sekitar yang mungkin menyadari ketegangan tersebut.

“Alia...” Aldo berusaha membuka mulutnya untuk menjelaskan, tapi tidak ada kata-kata yang bisa keluar dengan lancar. Semua yang ia pikirkan selama ini mendadak kabur, digantikan oleh rasa panik.

Alia menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis, meski senyum itu tampak dipaksakan. “Gue udah denger semua, Aldo. Tentang taruhan itu, tentang bagaimana lo bilang ke teman-teman lo kalau lo bisa deketin gue dalam sebulan.”

Suasana di meja semakin kaku. Aldo bisa merasakan tatapan tajam dari teman-temannya yang sekarang lebih terfokus pada dirinya. Mereka tampaknya tidak menyangka bahwa Alia sudah mengetahui semuanya. Aldo menunduk, merasa sangat kecil dan tidak berdaya. Ini bukan cara yang ia inginkan untuk memperbaiki hubungan dengan Alia.

“Gue kira lo beda, Aldo,” Alia melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, meski kekecewaan jelas terlihat di matanya. “Gue kira kita bisa berteman, atau mungkin lebih dari itu. Tapi sekarang gue nggak tau apa yang lo rasain itu tulus atau cuma permainan aja.”

Aldo merasa perutnya semakin mual. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu harus memulai dari mana. Alia sudah tahu segalanya, dan itu membuat Aldo merasa benar-benar terpojok.

“Alia, gue bisa jelasin...” Aldo akhirnya berhasil mengeluarkan kata-kata, meskipun suaranya bergetar. “Awalnya emang cuma taruhan, tapi sekarang semuanya udah berubah. Gue serius sama lo.”

Alia mengangkat alisnya sedikit, seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. “Lo serius? Setelah lo taruhan soal siapa yang bisa deketin gue duluan? Gue nggak yakin lo ngerti artinya serius, Aldo.”

Aldo merasakan beban berat di dadanya. Ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa dengan mudah memperbaiki situasi ini. Namun, ia tidak bisa menyerah begitu saja. Ia ingin Alia tahu bahwa meskipun ia telah berbuat salah, perasaannya kini tidak lagi main-main.

“Alia, gue beneran minta maaf,” kata Aldo dengan tulus, suaranya terdengar semakin tegas. “Gue tau gue salah, dan gue ngerti kalau lo kecewa. Tapi sejak gue kenal lo lebih dekat, gue sadar kalau lo lebih dari sekadar gadis yang jadi ‘target’ taruhan. Lo itu orang yang hebat, pintar, dan gue beneran ingin kenal lo lebih baik, bukan cuma karena taruhan itu.”

Alia menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. Sekilas, ada rasa marah dan kecewa, tapi di balik itu, sepertinya ada keraguan sehingga seolah-olah Alia sedang mempertimbangkan apakah Aldo benar-benar tulus atau tidak.

“Gue nggak tau, Aldo,” kata Alia akhirnya, suaranya lebih lembut namun tetap dingin. “Gue butuh waktu buat mastiin ini. Gue nggak bisa langsung percaya gitu aja, setelah apa yang lo lakuin.”

Aldo mengangguk pelan, merasa bahwa ia tidak punya pilihan lain selain menunggu. “Gue ngerti, Alia. Gue nggak akan maksa. Gue cuma mau lo tau bahwa perasaan gue sekarang beneran tulus.”

Alia tidak menjawab. Ia hanya menatap Aldo sebentar, sebelum menghela napas dan berbalik menuju mejanya kembali. Dengan langkah yang tenang, ia berjalan menjauh, meninggalkan Aldo yang masih duduk di tempatnya, merasa seperti dunia sedang berputar di sekitarnya.

Ketika Alia akhirnya kembali duduk bersama teman-temannya, Aldo tahu bahwa ini adalah momen krusial. Hubungannya dengan Alia tidak akan pernah sama lagi. Ia hanya bisa berharap bahwa dengan waktu, Alia akan melihat ketulusannya dan memberinya kesempatan kedua. Untuk sekarang, ia harus bersabar dan menerima kenyataan bahwa segalanya mungkin tidak akan berjalan sesuai keinginannya.

Aldo merasa lelah. Bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Duduk di bar itu dengan teman-temannya, ia mendadak merasa terasing. Teman-temannya masih bercanda dan berbincang, tapi Aldo sudah tidak mampu lagi terlibat dalam percakapan. Pikirannya terus melayang pada Alia, pada kalimat terakhir yang ia ucapkan.

"Lo yakin nggak mau kejar dia, Do?" tanya Fahri tiba-tiba, membuyarkan lamunan Aldo. "Gue lihat tadi kayaknya dia masih ragu, tapi bukan berarti dia udah bener-bener nolak lo."

Aldo hanya tersenyum tipis. "Gue nggak bisa maksa, Ri. Dia perlu waktu, dan gue harus kasih itu ke dia. Kalau gue kejar sekarang, cuma bikin dia makin ragu. Gue udah salah dari awal, jadi gue nggak mau bikin kesalahan lagi."

Guntur yang biasanya selalu penuh semangat, kali ini juga tampak lebih tenang. "Gue rasa keputusan lo bener, Do. Lo udah minta maaf, sekarang tinggal buktikan lewat tindakan. Kalau memang jodoh, Alia pasti balik ke lo."

Aldo mengangguk, meski di dalam hatinya masih terasa ada beban besar. Ia tahu bahwa semuanya belum selesai, dan hubungan mereka sekarang berada di titik yang sangat rapuh. Namun, setidaknya, ia sudah jujur. Itu langkah pertama yang paling penting, meskipun risikonya besar.

Malam itu ketika Aldo kembali ke rumah, ia tidak langsung tidur. Ia duduk di meja belajarnya, menatap laptop yang terbuka dengan layar skripsi yang belum ia selesaikan. Biasanya, ia akan fokus menulis, memikirkan argumen-argumen yang akan ia buat, atau mencari referensi tambahan. Namun, malam ini, pikirannya benar-benar kosong.

Semua yang terjadi malam itu di bar masih menghantuinya. Tatapan Alia, kata-kata yang keluar dari mulutnya, rasa kecewa yang jelas terlihat di wajahnya dan semua itu terus terbayang di benak Aldo. Meskipun Alia berkata bahwa ia butuh waktu, Aldo tahu bahwa rasa percaya yang sudah hilang tidak akan mudah untuk dipulihkan.

Namun, di balik semua itu, Aldo juga merasa lega. Setidaknya, ia sudah jujur pada Alia, meskipun kebenaran itu menyakitkan. Lebih baik Alia tahu sekarang, daripada terus membangun hubungan di atas kebohongan. Aldo sadar, kejujuran adalah langkah pertama untuk membangun kembali apapun yang tersisa di antara mereka.

Sambil duduk di depan laptopnya, Aldo mulai menulis. Bukan skripsi, tapi sebuah pesan untuk dirinya sendiri, semacam catatan refleksi. Ia menulis tentang kesalahan-kesalahan yang telah ia buat, tentang bagaimana taruhan itu awalnya hanya lelucon, dan bagaimana sekarang ia harus menebusnya. Tulisan itu mungkin tidak akan dibaca oleh siapa pun, tapi bagi Aldo, itu adalah cara untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam.

Setelah beberapa saat menulis, Aldo menutup laptopnya dan memutuskan untuk tidur. Ia tahu bahwa hari-hari ke depan tidak akan mudah, tapi ia juga tahu bahwa satu-satunya cara untuk maju adalah dengan bersabar dan menerima konsekuensi dari tindakannya.

Hari-hari berikutnya di kampus, Aldo dan Alia tetap tidak banyak berinteraksi. Mereka berpapasan beberapa kali, tapi Alia selalu tampak sibuk dengan urusannya sendiri. Meskipun Aldo ingin sekali mendekati dan berbicara dengannya, ia menahan diri. Ia tahu bahwa Alia masih butuh waktu, dan ia harus menghormati itu.

Selama itu pula, Aldo berusaha fokus pada skripsinya. Ia merasa bahwa menyelesaikan skripsi bisa menjadi cara untuk mengalihkan pikirannya, sekaligus membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia bisa melakukan sesuatu yang baik. Ia bekerja lebih keras dari biasanya, menghabiskan berjam-jam di perpustakaan, mencari referensi, dan menulis bagian demi bagian dengan lebih teliti.

Namun, di tengah-tengah usahanya untuk fokus pada akademis, Aldo tidak bisa sepenuhnya melupakan Alia. Setiap kali ia membuka media sosial, ada rasa ingin tahu apakah Alia sudah memposting sesuatu. Setiap kali ia lewat di depan gedung tempat Alia biasa mengadakan rapat BEM, ada harapan kecil bahwa ia mungkin melihat Alia di sana. Rasa bersalah dan rindu bercampur menjadi satu, membuat Aldo sulit benar-benar fokus pada apapun.

Pada satu titik, Aldo menyadari bahwa mungkin yang ia butuhkan sekarang bukan hanya waktu, tapi juga keberanian untuk menerima bahwa apapun yang terjadi antara dirinya dan Alia, ia harus siap menghadapinya. Entah itu kesempatan kedua dari Alia, atau akhir dari hubungan yang baru saja mereka mulai.

Seminggu setelah pertemuan mereka di bar, Aldo duduk sendirian di kafe kampus tempat mereka biasa bertemu. Ia tidak berharap banyak, hanya sekadar menikmati kopi sambil menunggu waktunya untuk kembali ke perpustakaan. Namun, saat ia sedang tenggelam dalam pikirannya, suara familiar menyapanya dari belakang.

"Aldo, boleh duduk?"

Aldo terkejut ketika melihat Alia berdiri di hadapannya. Tanpa banyak berpikir, ia segera mempersilakan Alia duduk. Jantungnya berdegup lebih cepat, tapi ia berusaha untuk tetap tenang.

"Alia... Tentu aja, duduklah," jawab Aldo dengan suara yang sedikit bergetar.

Alia duduk dengan tenang di depannya, memesan minuman, dan kemudian terdiam sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Gue udah mikirin semuanya, Do."

Aldo menelan ludah, merasa gugup. "Dan...?"

Alia tersenyum tipis, tapi kali ini senyumnya tampak lebih tulus dibandingkan terakhir kali mereka bertemu. "Gue kecewa, itu pasti. Tapi gue juga tau, nggak ada orang yang sempurna. Lo udah jujur sama gue, dan gue hargai itu."

Aldo merasa sedikit lega, tapi ia tahu bahwa masih ada lebih banyak yang harus dibicarakan.

"Jadi, apa lo bisa maafin gue?" tanya Aldo dengan hati-hati.

Alia menghela napas pelan sebelum menjawab. "Gue nggak bisa janji semuanya akan langsung balik seperti semula, Do. Tapi gue mau kasih lo kesempatan. Kita mulai lagi, pelan-pelan. Tapi kali ini, nggak ada kebohongan, nggak ada taruhan."

Aldo mengangguk cepat. "Gue janji, nggak ada kebohongan lagi. Gue akan buktiin kalau gue bener-bener tulus sama lo."

Dengan itu, perasaan berat yang selama ini menghantui Aldo sedikit terangkat. Meskipun perjalanan mereka mungkin masih panjang dan penuh tantangan, setidaknya ia tahu bahwa Alia bersedia memberi kesempatan kedua. Dan itu, bagi Aldo, adalah awal baru yang sangat ia butuhkan.

1
★lucy★.
Gue ga bisa berhenti baca!!
orion: besok ditunggu saja kak update cerita kelanjutannya untuk dibaca 😊
total 1 replies
ADZAL ZIAH
unik banget judulnya ☺ semangat menulis ya kak. dukung juga karya aku
orion: terima kasih kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!