Raka adalah seorang pemuda biasa yang bermimpi menemukan arti hidup dan cinta sejati. Namun, perjalanan hidupnya berbelok saat ia bertemu dengan sebuah dunia tersembunyi di balik mitos dan legenda di Indonesia. Di sebuah perjalanan ke sebuah desa terpencil di lereng gunung, ia bertemu dengan Amara, perempuan misterius dengan mata yang seakan memiliki segudang rahasia.
Di balik keindahan alam yang memukau, Raka menyadari bahwa dirinya telah terperangkap dalam konflik antara dunia nyata dan kekuatan supranatural yang melingkupi legenda Indonesia—tentang kekuatan harta karun kuno, jimat, serta takhayul yang selama ini dianggap mitos.
Dalam perjalanan ini, Raka harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk rasa cintanya yang tumbuh untuk Amara, sembari berjuang mengungkap kebenaran yang tersembunyi di balik cerita rakyat dan keajaiban yang mengikat mereka berdua. Akan tetapi, tidak semua yang bersembunyi bisa dipercaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ihsan Fadil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Bayangan Kekuatan Gelap
Setelah meninggalkan gua dengan Kristal Penjaga, suasana hati Amara, Raka, dan Arjuna bercampur aduk. Keberhasilan mereka di gua tadi membawa rasa lega, tetapi ada kegelisahan yang tidak bisa mereka abaikan. Udara terasa lebih berat, dan langit yang tadinya cerah perlahan berubah mendung, seakan menandakan bahaya yang mendekat.
“Kalian merasa ini terlalu tenang?” tanya Arjuna sambil memeriksa pedang kecilnya.
Amara mengangguk pelan. “Sejak kita keluar dari gua, aku merasa seperti diawasi. Seperti ada sesuatu yang mengikuti kita.”
Raka menoleh ke belakang, matanya tajam menyapu pepohonan di kejauhan. "Mungkin hanya perasaanmu. Tapi kita tidak boleh lengah."
Mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju lokasi berikutnya, sebuah candi tua yang disebutkan dalam ukiran peta sebelumnya. Namun, baru beberapa langkah meninggalkan hutan, sebuah bayangan besar melintas cepat di langit. Angin tiba-tiba berhembus kencang, membawa suara yang seperti bisikan ribuan jiwa.
"Kalian membawa apa yang tidak seharusnya kalian bawa..."
Ketiganya berhenti seketika. Di hadapan mereka, bayangan besar muncul, berbentuk manusia tetapi tidak memiliki wajah. Hanya mata merah terang yang menatap mereka dengan tajam, dan tubuhnya tampak terbuat dari asap pekat yang terus bergerak.
“Apa itu?” Amara bergumam, tubuhnya menegang.
“Itu bukan manusia,” jawab Arjuna sambil berdiri di depan Amara dan Raka. “Mungkin ini salah satu penjaga kegelapan yang dikatakan Sang Penjaga.”
Makhluk itu melangkah maju, setiap gerakannya membuat tanah di bawahnya retak. "Kembalikan Kristal itu, atau kalian akan menghadapi kegelapan yang tidak bisa kalian bayangkan."
Raka menggenggam Kristal itu lebih erat. “Ini bukan milikmu! Kristal ini adalah bagian dari kebenaran yang harus diungkap!”
Makhluk itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat tangannya yang berupa asap, dan tiba-tiba bayangan-bayangan kecil mulai muncul dari tanah di sekitar mereka. Bayangan itu menyerupai siluet manusia, tetapi tanpa mata atau mulut. Mereka bergerak cepat, mengepung ketiganya.
“Lari!” seru Arjuna.
Mereka bertiga berlari melewati hutan, tetapi bayangan-bayangan itu bergerak lebih cepat, seperti angin yang berbisik di antara pepohonan. Mereka tidak hanya mengejar, tetapi juga menciptakan ilusi. Setiap kali Amara melihat ke belakang, jalan yang mereka lewati berubah menjadi lorong-lorong gelap yang tidak pernah berujung.
“Kita tidak bisa terus begini,” kata Amara, kehabisan napas. “Mereka bermain dengan pikiran kita.”
Arjuna berhenti tiba-tiba, menarik sebilah pedang kecil dari pinggangnya. “Kita harus melawan. Kalau kita terus lari, mereka akan menjebak kita.”
Raka menatap Kristal di tangannya, yang kini mulai bersinar lemah. Ia tiba-tiba teringat kata-kata Sang Penjaga. "Kekuatan kalian berasal dari dalam diri kalian."
“Amara, Kristal ini bisa jadi kunci!” teriak Raka.
Amara mengangguk. “Kita harus bekerja sama!”
Mereka membentuk lingkaran kecil, saling melindungi punggung satu sama lain. Amara memegang Kristal bersama Raka, sementara Arjuna berdiri siap menghadapi bayangan yang mendekat.
Kristal itu mulai memancarkan cahaya yang semakin terang, tetapi makhluk bayangan besar itu tidak tinggal diam. Ia menggeram dan mengayunkan tangannya, mengirimkan gelombang kegelapan yang nyaris memadamkan cahaya dari Kristal.
“Konsentrasikan pikiranmu!” kata Amara dengan suara tegas. “Bayangkan cahaya yang lebih terang!”
Mereka memejamkan mata, fokus pada keinginan mereka untuk melindungi Kristal dan mengusir bayangan. Kristal itu mulai bersinar semakin kuat, hingga akhirnya cahaya putih yang menyilaukan meledak dari dalamnya.
Bayangan-bayangan kecil itu menjerit sebelum lenyap, sementara makhluk besar itu mundur, tampak kesakitan. Namun, ia belum kalah. Dengan sisa kekuatannya, ia menciptakan pusaran kegelapan yang menarik segalanya ke dalam.
“Jika aku tidak bisa mengambil Kristal itu, maka kalian juga tidak akan bisa pergi!” raung makhluk itu.
Arjuna berteriak, “Kita harus keluar dari sini sekarang!”
Dengan Kristal yang kini memancarkan jalan bercahaya di depan mereka, mereka bertiga berlari sekuat tenaga, meninggalkan makhluk itu yang perlahan tersedot oleh pusaran kegelapannya sendiri.
Ketika mereka akhirnya keluar dari hutan, langit kembali cerah, dan suara-suara aneh itu menghilang.
“Apakah kita berhasil?” tanya Raka, napasnya tersengal.
Amara mengangguk pelan, tetapi wajahnya tetap tegang. “Mungkin untuk sekarang. Tapi ini baru permulaan.”
Dari kejauhan, seorang pria misterius yang sebelumnya mengamati mereka kembali memantau melalui teropong. Ia tersenyum tipis, lalu berbicara ke radio di tangannya. “Mereka semakin dekat, tapi permainan baru saja dimulai.”
Ketiganya melanjutkan perjalanan mereka, tanpa tahu bahwa kekuatan gelap yang lebih besar sedang menanti mereka di depan.
Setelah keluar dari gua dengan Kristal Penjaga, langit perlahan berubah suram. Awan gelap berkumpul di atas kepala, seakan memberi peringatan akan sesuatu yang buruk. Amara, Raka, dan Arjuna berjalan dengan hati-hati di antara pepohonan, rasa waspada menggantung di udara.
“Kalian perhatikan, tidak ada suara burung atau hewan?” tanya Amara dengan nada khawatir.
Arjuna berhenti sejenak, memperhatikan sekeliling. Hutan yang biasanya hidup dengan suara alam kini terasa seperti mati. Tidak ada suara dedaunan yang bergesekan, hanya keheningan yang menghantui.
“Ini bukan pertanda baik,” gumam Arjuna sambil meraih gagang pedangnya.
Raka menoleh ke belakang. “Mungkin ini karena Kristal. Sang Penjaga bilang ada kekuatan yang tidak ingin kita membawa ini keluar.”
Amara menggigit bibirnya, mencoba menenangkan detak jantung yang mulai berdegup kencang. “Kalau begitu, kita harus bergerak cepat. Lokasi candi tua berikutnya ada di peta ini.”
Namun, belum jauh mereka melangkah, udara di sekitar mereka berubah. Angin dingin yang tidak wajar berhembus, membawa bisikan samar yang terdengar seperti ribuan suara.
"Kalian tidak seharusnya mengambil Kristal itu..."
Amara menghentikan langkahnya. “Kalian dengar itu?”
Arjuna mengangguk, matanya menyipit, mencoba menemukan sumber suara. Namun, yang mereka lihat hanya bayangan gelap yang melintas di antara pepohonan. Bayangan itu tidak berbentuk, bergerak cepat seperti asap, tetapi terasa mengancam.
Tiba-tiba, dari arah depan, sosok besar muncul. Tingginya hampir dua kali manusia biasa, tubuhnya hitam pekat seperti asap yang terus bergerak, dan matanya merah menyala. Makhluk itu berdiri di tengah jalan mereka, menghalangi langkah berikutnya.
“Kembalikan Kristal itu,” suara makhluk itu bergema, dalam dan mengerikan. “Atau kalian akan menghadapi kehancuran.”
Arjuna menghunus pedangnya dan berdiri di depan Amara dan Raka. “Kami tidak akan menyerahkan Kristal ini. Apa pun yang kau rencanakan, kami tidak takut.”
Makhluk itu hanya menatap mereka, lalu mengangkat tangannya yang seperti asap pekat. Seketika, bayangan-bayangan kecil bermunculan dari tanah di sekitar mereka. Bayangan itu bergerak cepat, mengepung mereka bertiga dengan formasi yang ketat.
“Kita dikepung!” seru Raka, melangkah mundur sambil memegang Kristal erat-erat.
Amara merasakan tubuhnya gemetar, tetapi ia tahu tidak ada waktu untuk takut. “Kita harus melawan. Kita tidak bisa lari lagi.”
Arjuna melangkah maju, menyerang bayangan terdekat dengan pedangnya. Namun, setiap kali pedang itu mengenai bayangan, sosoknya kembali menyatu, seperti asap yang tidak bisa dilukai.
“Mereka tidak bisa dilukai!” Arjuna berseru, frustrasi.
Amara menatap Kristal yang ada di tangan Raka. Ia mengingat kata-kata Sang Penjaga. "Kristal ini adalah sumber cahaya. Jika kalian percaya pada kekuatan hati kalian, Kristal akan membantu melawan kegelapan."
“Raka, kita butuh Kristal itu sekarang!” serunya.
Raka ragu sejenak, tetapi kemudian menyerahkan Kristal itu pada Amara. Ia memejamkan mata, mencoba berkonsentrasi. Dengan hati-hati, ia mengangkat Kristal itu ke atas, berharap cahaya dari Kristal bisa membantu.
Namun, makhluk besar itu tertawa. “Cahaya tidak akan menyelamatkan kalian. Aku adalah kegelapan yang abadi.”
Amara memejamkan mata, berdoa dalam hati. Ia membayangkan cahaya yang terang, penuh harapan, dan perlahan Kristal itu mulai bersinar. Awalnya redup, tetapi cahayanya semakin kuat, menerangi area sekitar mereka. Bayangan-bayangan kecil itu menjerit, tubuh mereka menghilang satu per satu dalam cahaya.
Makhluk besar itu menggeram, tidak terpengaruh sepenuhnya. Ia melangkah maju, tangannya yang besar meluncur ke arah Amara.
“Amara, awas!” seru Raka, menariknya ke belakang.
Cahaya dari Kristal mulai memudar, dan makhluk itu semakin mendekat. “Aku adalah penjaga kegelapan. Kalian tidak akan menang dariku.”
Arjuna menghunus pedangnya kembali, mencoba menyerang makhluk itu, tetapi serangannya tidak berpengaruh. Setiap kali pedangnya menembus tubuh makhluk itu, hanya asap yang bergerak.
Amara menggenggam Kristal erat-erat, lalu tiba-tiba mendapat ide. “Raka, Arjuna, aku butuh bantuan kalian!”
Mereka berdua mendekat. Amara memegang Kristal di tengah, sementara Raka dan Arjuna menyentuh bahunya. “Pikirkan tentang tujuan kita. Tentang semua hal yang kita perjuangkan. Jika kita fokus, Kristal ini akan memberi kita kekuatan.”
Ketiganya memejamkan mata, memusatkan pikiran pada harapan dan keberanian mereka. Cahaya dari Kristal mulai memancar kembali, kali ini lebih terang dari sebelumnya.
Makhluk besar itu menggeram keras, tangannya mencoba menutupi matanya yang merah menyala. “TIDAK! Ini tidak mungkin!”
Cahaya itu membentuk ledakan yang sangat terang, melingkupi seluruh area. Ketika cahaya itu mereda, makhluk besar itu menghilang, hanya menyisakan bayangan tipis di tanah.
Ketiganya terengah-engah, tetapi mereka tahu mereka belum sepenuhnya aman.
“Kita berhasil,” kata Raka, suaranya penuh kelegaan.
Amara mengangguk, tetapi ia tahu ini baru awal dari perjuangan mereka. Dari balik pepohonan, mata-mata lain mengintai, memperhatikan setiap gerakan mereka. Bahaya yang lebih besar sedang menunggu mereka di depan.