Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Radit meyakinkan Amara
"Amara... aku tahu kamu sedang bingung dan takut," ujar Radit, dengan suara yang penuh kepastian. "Tapi, aku ingin menjelaskan segalanya padamu."
Amara menatap Radit dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Ia tak menyangka Radit akan menjelaskan segalanya padanya.
"Aku memiliki dua istri. Yuni dan Dewi," ujar Radit, dengan nada yang lembut. "Mereka tahu tentang keinginanku untuk menikahimu. Mereka menyetujui keinginanku itu. Mereka menyayangiku dan ingin melihat aku bahagia."
Amara terkejut. Ia tak menyangka istri-istri Radit menyetujui keinginannya untuk menikah lagi.
"Radit... aku...," ujar Amara, suaranya bergetar. "Aku tak bisa melakukan ini."
"Amara... berikan aku kesempatan untuk menjelaskan segalanya," ujar Radit, dengan suara yang menenangkan. "Aku ingin membuatmu bahagia. Aku ingin membantumu."
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menenangkan dirinya. Ia ingin mendengarkan penjelasan Radit.
"Baiklah, Radit," jawab Amara, dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku akan mendengarkan penjelasanmu."
Radit menangguk. Ia menuntun Amara menuju mobilnya.
"Aku akan membawamu bertemu dengan Yuni dan Dewi," ujar Radit. "Aku ingin kamu mengenal mereka."
Amara menangguk. Ia tak bisa menolak keinginan Radit.
Radit membuka pintu mobil dan menuntun Amara masuk ke dalam mobil. Radit menyalakan mesin mobil dan mengarahkan kendaraan itu menuju rumahnya.
Radit membawa Amara ke rumahnya. Ia menuntun Amara masuk ke dalam rumah.
"Yuni... Dewi... aku datang," teriak Radit, dengan suara yang gembira.
Seorang wanita berambut panjang dan berparas cantik muncul dari ruangan dalam. Ia tersenyum manis ketika melihat Radit dan Amara.
"Radit... kamu sudah pulang," ujar wanita itu, dengan suara yang lembut. "Siapa wanita ini?"
"Ini Amara, Yuni," jawab Radit, dengan suara yang penuh kebanggaan. "Amara adalah kasir di Kupu-kupu Klub."
Amara terkejut. Ia tak menyangka Radit akan memperkenalkan dirinya sebagai kasir di Kupu-kupu Klub. Ia merasa malu.
"Hai, Amara," sapa Yuni, dengan senyuman manis. "Senang berkenalan denganmu."
Amara menangguk. Ia tersenyum kecut pada Yuni.
"Senang berkenalan denganmu juga," jawab Amara, dengan suara yang sedikit bergetar.
Yuni mengangguk. Ia menatap Amara dengan tatapan yang penuh pertanyaan.
Amara, dengan kecantikan alami dan usia yang lebih muda, tampak berbeda di antara Yuni dan Dewi. Kedua istri Radit itu memiliki kemewahan yang terpancar dari penampilan mereka. Namun, Amara tetap berpenampilan sederhana, sesuai dengan latar belakang keluarganya yang miskin.
Yuni dan Dewi menatap Amara dengan senyuman manis. Namun, saat Radit berbalik menghadap mereka, senyuman manis itu berubah menjadi tatapan sinis.
"Radit, siapa dia?" bisik Dewi, dengan nada yang berbisik. "Kenapa kamu membawanya ke sini?"
"Dia hanya kasir di klub itu, Dewi," jawab Radit, dengan nada yang tenang. "Aku ingin menunjukkan kepadanya bahwa keluargaku menyertakan dirinya dalam kehidupan kami."
"Kasir?" bisik Yuni, dengan nada yang cemberut. "Kenapa kamu harus membawanya ke sini?"
"Aku ingin memperkenalkan dia pada kalian, Yuni," jawab Radit, dengan nada yang tegas. "Aku menginginkan dia menjadi bagian dari hidupku."
Yuni dan Dewi menatap Amara dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Mereka berusaha untuk menahan rasa iri dan kecemburuan mereka.
"Radit, kamu tahu bahwa kita menyayangimu," ujar Yuni, dengan nada yang sedikit merajuk. "Kita tak ingin kamu menikahi wanita lain."
"Yuni, Dewi," ujar Radit, dengan nada yang penuh kepastian. "Aku tahu kalian menyayangiku. Namun, aku ingin menikah dengan Amara. Aku mencintainya."
Yuni dan Dewi terdiam. Mereka mencoba untuk menahan rasa marah dan cemburu mereka.
"Baiklah, Radit," ujar Dewi, dengan nada yang pasrah. "Kami menyetujui keinginanmu."
"Terima kasih, Dewi," jawab Radit, dengan senyuman lebar. "Aku tahu kalian menyayangiku. Aku juga menyayangi kalian."
"Radit... aku...," ujar Yuni, dengan nada yang sedikit merajuk. "Aku sedikit sedih mendengar keputusanmu ini."
"Jangan sedih, Yuni," jawab Radit, dengan nada yang menenangkan. "Aku tetap menyayangimu. Aku tak akan meninggalkanmu."
"Baiklah, Radit," jawab Yuni, dengan nada yang pasrah. "Aku akan menerima keputusanmu."
Radit menangguk. Ia merasa lega karena istri-istrinya menyetujui keinginannya untuk menikah dengan Amara.
"Amara," ujar Radit, dengan senyuman lebar. "Aku ingin memperkenalkanmu pada Yuni dan Dewi."
Amara menangguk. Ia merasa sedikit canggung. Namun, ia tak bisa menolak keinginan Radit.Radit pun kembali bersama Amara di club kupu _ kupu.
*****
Radit menjelaskan keinginannya pada Amara. Ia ingin membantu Amara mengatasi kesulitan yang ia hadapi.
"Amara, aku ingin membiayai pengobatan ayahmu," ujar Radit, dengan nada yang penuh kepastian. "Aku ingin mengurangi bebanmu."
Amara terkejut. Ia tak menyangka Radit akan membantu membiayai pengobatan ayahnya.
"Radit... aku...," ujar Amara, suaranya bergetar. "Aku tak bisa menerima bantuanmu."
"Amara... jangan bilang begitu," ujar Radit, dengan nada yang tegas. "Aku serius ingin membantu kamu. Aku ingin mengurangi bebanmu."
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menenangkan dirinya.
"Radit... aku... aku akan terima bantuanmu," ujar Amara, dengan suara yang sedikit bergetar. "Terima kasih, Radit."
Radit menangguk. Ia merasa lega karena Amara mau menerima bantuannya.
"Tidak usah berterima kasih, Amara," jawab Radit, dengan senyuman lembut. "Aku ingin membantu kamu. Aku ingin melihat kamu bahagia."
Amara menangguk. Ia menatap Radit dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Ia tak menyangka Radit akan sebanyak itu peduli padanya.
"Radit... terima kasih," ujar Amara, dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku tak tahu bagaimana membalas kebaikanmu."
"Tidak perlu berterima kasih, Amara," jawab Radit. "Aku ingin membantu kamu. Aku ingin melihat kamu bahagia."
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa Radit adalah seorang laki-laki yang sudah beristri. Ia tak ingin terjerumus dalam hubungan yang rumit.
"Radit... aku...," ujar Amara, dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku takut..."
"Jangan takut, Amara," ujar Radit, dengan suara yang menenangkan. "Aku tak akan menyakitimu."
Amara menangguk. Ia menatap Radit dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Ia ingin bertanya, apakah Radit memiliki perasaan padanya? Namun, Amara takut akan reaksi Radit.
Radit menunduk dan mencium kening Amara dengan lembut. Amara terkejut. Ia tak menyangka Radit akan melakukan itu.
"Aku pergi dulu, Amara," ujar Radit, sambil mengangguk. "Aku akan menghubungi kamu nanti."
Amara menangguk. Ia menatap Radit yang sedang berjalan menjauh. Ia merasa sedikit bingung dan takut.
"Radit...," ujar Amara, dengan suara yang sedikit bergetar. "Apa yang kamu rasakan padaku?"
Radit berhenti berjalan dan iya menawarkan untuk mengantar Amara pulang ke rumahnya. Amara pun di antar Radit pulang.
******
Amara terdiam sejenak. Ia duduk di kursi di teras rumahnya, merenungkan segala sesuatu yang terjadi. Ia tak menyangka Radit akan menyatakan perasaannya padanya. Ia tak menyangka Radit ingin menikahinya, bahkan menjadi istri ketigainya.
Amara merasa bingung dan takut. Ia takut akan reaksi keluarganya jika ia menceritakan segalanya pada mereka.
"Ayah...," gumam Amara, sambil menarik napas dalam-dalam. Ia teringat pada ayahnya yang sedang berjuang untuk memulihkan kesehatannya. Amara takut akan membuat ayahnya khawatir.
"Mama...," gumam Amara lagi. Ia meringatkan ketakutannya untuk memberitahu ibunya. Ia tahu ibunya akan sedih mendengar kabar ini.
Amara tahu bahwa ia harus memberanikan diri untuk memberitahu keluarganya. Ia takut akan menyembunyikan segalanya dari mereka.
"Aku harus memberitahu Mama dulu," gumam Amara, dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku harus mencari waktu yang tepat."
Amara berdiri dan berjalan masuk ke dalam rumah. Ia mencari ibunya di dapur.
"Mama...," panggil Amara, dengan suara yang lembut.
Ibunya menoleh ke arah Amara. Ia tersenyum manis ketika melihat Amara.
"Amara, kamu sudah pulang," ujar ibunya, dengan suara yang lembut. "Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik-baik saja, Ma," jawab Amara. "Bagaimana keadaan Ayah?"
"Ayah sudah sedikit membaik, Amara," jawab ibunya. "Ia sudah bisa duduk dan berbicara."
Amara menangguk. Ia merasa lega mendengar kabar itu.
"Mama, aku mau menceritakan sesuatu padamu," ujar Amara, dengan suara yang sedikit bergetar. "Tapi, aku takut..."
"Jangan takut, Amara," ujar ibunya, dengan suara yang menenangkan. "Ceritakan saja padaku. Aku akan mendengarkanmu."
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menenangkan dirinya.
"Mama...," ujar Amara, dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku..."
Amara berhenti berbicara. Ia merasa takut akan menceritakan segalanya pada ibunya.
"Amara, jangan menahan perasaanmu," ujar ibunya, dengan nada yang menenangkan. "Ceritakan saja padaku. Aku akan mendengarkanmu."
Amara menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha menenangkan dirinya.
"Mama...," ujar Amara, dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku..."
Amara menunduk. Ia takut akan menceritakan segalanya. Amara menunggu waktu yang pas untuk menceritakan segalanya.