Dalam kehidupan yang dipenuhi dengan tantangan dan pertempuran, cinta sering kali menjadi cahaya yang memandu. Zayyy, seorang pemuda yang karismatik dan tak kenal takut, telah berjuang melawan musuh dan tantangan, tidak hanya untuk melindungi artefak berharga, tetapi juga untuk menjaga cintanya dengan Angelina. Namun, di tengah semua itu, ada suatu kebenaran yang tak terhindarkan: hidup adalah perjalanan yang penuh dengan keputusan sulit, pengorbanan, dan kehilangan.
Saat bayangan gelap mulai mendekat, Zayyy harus menghadapi tidak hanya musuh yang mengancam, tetapi juga perasaannya sendiri. Pertarungan untuk cinta dan harapan akan membawa Zayyy pada jalan yang penuh dengan kenangan indah dan kesedihan yang mendalam. Di sinilah kisahnya dimulai, di mana setiap detik berharga dan setiap pertempuran adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar—sebuah perjalanan menuju pengertian sejati tentang cinta dan kehilangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mohamad Zaka Arya Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Jalan yang Berbeda
Hari demi hari berlalu setelah kepergian Zayyy dari kota, membawa dirinya ke tempat yang baru untuk memulai pelatihan intensif di bidang teknologi dan komputer. Jarak yang terbentang antara mereka dan kehidupan yang kini berbeda telah menguji persahabatan Zayyy dan Angelina.
Meskipun saling berjauhan, mereka tetap menjaga kontak melalui pesan dan telepon, mengusahakan agar persahabatan mereka tetap terjaga meski waktu dan ruang menjadi penghalang.
Angelina sendiri, yang kini memasuki masa awal perkuliahan di universitasnya, merasakan adaptasi yang tidak mudah. Kehidupan kampus jauh lebih menuntut, dengan tuntutan akademik yang jauh lebih berat daripada masa SMA.
Namun, ia terus menjalani hari-harinya dengan semangat, membangun dirinya menjadi sosok yang semakin kuat dan mandiri. Setiap kali lelah dan rindu menghantam, pikirannya selalu kembali pada momen-momen indah bersama Zayyy di Bukit Surga dan taman sekolah, membuatnya tetap bertahan.
Suatu malam, setelah seharian penuh bergelut dengan tugas kuliah, Angelina memutuskan untuk menghubungi Zayyy. Sudah hampir seminggu sejak terakhir kali mereka berbicara, dan ia merasa rindu mendengar suara sahabatnya itu. Teleponnya berdering beberapa kali sebelum akhirnya diangkat.
“Halo?” suara Zayyy terdengar dari seberang, sedikit lelah namun tetap hangat.
“Zayyy, kamu sibuk?” tanya Angelina, suaranya terdengar lembut, mencerminkan kerinduan yang terpendam.
“Aku lagi istirahat, kok,” jawab Zayyy, terdengar senang mendengar suara Angelina. “Ada apa, Angel?”
“Nggak ada apa-apa sih, cuma kangen ngobrol aja. Rasanya beda banget sekarang… tanpa kamu di sini,” Angelina tersenyum walau tahu Zayyy tak bisa melihatnya.
“Hahaha, kangen ya?” canda Zayyy, tertawa pelan. “Aku juga kangen, Angel. Tapi aku yakin kamu bisa handle semuanya di sana, kan? Kamu kan kuat.”
Angelina tertawa kecil mendengar kata-kata Zayyy. “Iya, kuat sih. Cuma kadang merasa aneh aja… nggak ada kamu buat dengerin keluhan-keluhan sepele aku.”
Percakapan berlanjut, mengalir dengan mudah seperti biasanya. Mereka saling bercerita tentang kehidupan masing-masing, dari Zayyy yang bercerita tentang pelatihannya yang penuh tantangan hingga Angelina yang menceritakan tugas-tugas kuliahnya yang menumpuk.
Ada kesadaran di antara mereka bahwa jarak ini bukanlah sekadar jarak fisik; ada perubahan dalam diri mereka yang perlahan-lahan mulai terasa.
“Aku bangga sama kamu, Angel. Kamu benar-benar makin dewasa sekarang,” kata Zayyy setelah mendengar cerita Angelina yang tengah mencoba aktif dalam kegiatan organisasi kampus.
Angelina terdiam sejenak, meresapi ucapan Zayyy. “Terima kasih, Zay. Tapi kamu juga hebat. Aku tahu betapa sulitnya pelatihan itu buat kamu.”
Mereka terus mengobrol, tenggelam dalam percakapan yang panjang hingga waktu terasa berjalan begitu cepat. Saat telepon akhirnya ditutup, Angelina merasa sedikit lebih ringan, meskipun perasaan rindunya tetap mengganjal. Ia tahu bahwa Zayyy adalah bagian penting dalam hidupnya, dan meskipun jarak memisahkan mereka, rasa nyaman itu tetap ada.
Seiring berjalannya waktu, Angelina dan Zayyy mulai disibukkan dengan kehidupan masing-masing. Pertemuan yang mereka janjikan semakin sulit terlaksana. Kadang-kadang, kesibukan membuat mereka tak bisa lagi berbicara setiap hari seperti sebelumnya.
Angelina mulai bertemu dengan banyak orang baru di kampus, dan tanpa sadar ia mulai terbiasa dengan rutinitasnya yang baru. Namun, di balik semua itu, ada kekosongan yang tak tergantikan—sebuah ruang di hatinya yang hanya bisa diisi oleh kehadiran Zayyy.
Di sisi lain, Zayyy pun merasakan perubahan. Ia terlibat lebih dalam dengan dunia teknologi dan mulai menjalin pertemanan dengan rekan-rekan di pelatihannya.
Ada tantangan yang membuatnya terus termotivasi, namun ada juga rasa kesepian yang kadang menyelinap. Meski begitu, ia tetap bertahan, mengingatkan dirinya bahwa ini adalah jalan yang ia pilih untuk mengejar mimpi.
Hingga suatu hari, Angelina menerima undangan untuk menghadiri reuni kecil-kecilan bersama teman-teman SMA.
Sekilas ia teringat momen-momen yang pernah ia lewati bersama Zayyy dan teman-teman lain. Dengan antusias, ia langsung menghubungi Zayyy untuk memastikan kehadirannya di reuni tersebut.
“Halo, Zayyy! Kamu harus datang ke reuni nanti, ya?” Angelina berkata dengan nada antusias saat telepon tersambung.
Zayyy terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Angel, aku… sepertinya nggak bisa hadir. Pelatihanku padat banget sekarang.”
Ekspresi Angelina berubah kecewa, meskipun ia mencoba untuk menyembunyikannya. “Oh… oke, aku mengerti. Tapi kalau ada kesempatan, coba datang, ya? Pasti seru bisa ketemu lagi.”
“Iya, kalau ada waktu, aku pasti usahakan datang,” jawab Zayyy pelan, terdengar sedikit ragu.
Meskipun ia mencoba memahami keadaan Zayyy, hati Angelina tetap merasa sedih. Baginya, reuni itu adalah kesempatan langka untuk kembali merasakan masa-masa indah mereka di SMA, namun kini kesempatan itu harus dilewatkan.
Hari reuni akhirnya tiba. Angelina datang dengan senyum hangat, disambut teman-teman lama yang tak ia lihat sejak kelulusan.
Mereka saling bertukar cerita, tertawa mengingat masa-masa konyol di sekolah. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Angelina merasa ada yang kurang. Tanpa kehadiran Zayyy, momen itu terasa tak lengkap.
Sepanjang acara, sesekali Angelina melirik ke ponselnya, berharap ada pesan dari Zayyy yang memberi tahu bahwa ia bisa datang. Namun, hingga reuni berakhir, pesan itu tak pernah tiba.
Malam itu, Angelina pulang dengan perasaan yang bercampur aduk. Ia sadar bahwa hidup memang membawa mereka ke arah yang berbeda, namun ia tak pernah menyangka akan merasa begitu jauh dari sahabat terbaiknya.
Sementara itu, Zayyy pun merasa gelisah di tempat pelatihannya. Ia tak bisa berhenti memikirkan reuni dan bagaimana ia mengecewakan Angelina.
Ia tahu betapa pentingnya momen itu baginya, dan ia berharap bisa berada di sana, setidaknya untuk menemani Angelina, seperti yang selalu ia lakukan. Namun, komitmennya pada pelatihan membuatnya harus melepaskan kesempatan itu.
Di tengah perasaannya yang campur aduk, Zayyy mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk Angelina.
“Maaf, Angel. Aku nggak bisa datang ke reuni. Aku benar-benar minta maaf, tapi aku janji akan menemuimu suatu hari nanti. Kita masih punya banyak waktu, kan?”
Pesan itu terkirim, namun tidak ada balasan dari Angelina malam itu. Zayyy menatap layar ponselnya dengan hampa, merasa bahwa jarak di antara mereka bukan hanya fisik, tetapi juga emosional.
Hari-hari setelah reuni terasa berbeda bagi Angelina. Meskipun ia masih mencoba menjalin komunikasi dengan Zayyy, ia merasakan ada dinding yang tak terlihat di antara mereka.
Ia sadar bahwa kehidupan mereka telah berubah, dan mungkin sudah waktunya untuk merelakan hal-hal yang tak bisa mereka pertahankan.
Namun, di lubuk hatinya, Angelina tetap berharap bahwa suatu hari, jalan mereka akan kembali bersinggungan. Bahwa meskipun mereka berjalan di arah yang berbeda, persahabatan mereka akan selalu ada di sana, menjadi tempat mereka kembali.
Zayyy juga merasakan hal yang sama. Ia tahu bahwa perjalanan hidup ini memang tak selalu sesuai rencana, namun ia yakin bahwa persahabatannya dengan Angelina adalah sesuatu yang berharga, sesuatu yang patut diperjuangkan.
Di setiap langkah yang ia ambil dalam pelatihannya, ada doa dan harapan bahwa suatu hari nanti ia bisa bertemu lagi dengan Angelina, dalam keadaan yang lebih baik, di waktu yang tepat.
Meski jarak dan waktu memisahkan mereka, di dalam hati mereka, perasaan itu tak pernah benar-benar pergi.