Realita skripsi ini adalah perjuangan melawan diri sendiri, rasa malas, dan ekspektasi yang semakin hari semakin meragukan. Teman seperjuangan pun tak jauh beda, sama-sama berusaha merangkai kata dengan mata panda karena begadang. Ada kalanya, kita saling curhat tentang dosen yang suka ngilang atau revisi yang rasanya nggak ada habisnya, seolah-olah skripsi ini proyek abadi.
Rasa mager pun semakin menggoda, ibarat bisikan setan yang bilang, "Cuma lima menit lagi rebahan, terus lanjut nulis," tapi nyatanya, lima menit itu berubah jadi lima jam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 6
Hari ini benar-benar menguras mental. Teman-temanku yang sudah masuk duluan untuk ketemu Pak Sekjur keluar dengan wajah yang beragam—tapi hampir semuanya menunjukkan satu hal: disappointment.
Mereka bilang revisiannya banyak banget, dari ganti judul, merapikan proposal, catatan kaki, alignment kanan-kiri, margin, sampai penulisan yang harus benar-benar sesuai dengan pedoman.
Aku mendengarnya sambil merasa miris. Jujur, aku jadi ngeri sendiri karena ngebayangin punyaku kayak apa. Kalau proposal mereka yang kelihatannya sudah rapi saja banyak revisinya, gimana dengan punyaku yang bener-bener amburadul? I can’t help but feel scared.
Semua usaha yang aku lakukan, rasanya seperti nggak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan standar yang diminta.
Yang bikin lebih deg-degan lagi adalah ekspresi teman-teman yang keluar dari ruangan itu. Ada yang wajahnya merah, mungkin karena malu atau marah, ada yang kelihatan jelas lagi nahan nangis, dan ada juga yang kayak menahan rasa kecewa dan sakit hati.
It’s hard to explain the feeling, but it’s like seeing everyone around you being broken down bit by bit, and knowing that you’re next in line.
Aku jadi takut untuk masuk. What if I can’t handle it? Gimana kalau aku juga keluar dari ruangan itu dengan air mata yang nggak bisa aku tahan?
Rasanya beban di pundakku makin berat, dan aku mulai ragu apakah aku bisa melalui ini semua.
***
Ketika aku membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan, suasana langsung terasa tegang. Di hadapanku, ada tiga sosok penting yang duduk berjajar di balik meja mereka masing-masing Koordinator Program Studi (Ko.Prodi), Sekretaris Jurusan (Sekjur), dan Ketua Jurusan (Kajur).
Mata mereka fokus pada mahasiswa-mahasiswi yang sedang di-review, seolah tak ada celah untuk kesalahan sedikit pun.
Ko.Prodi sedang memberikan arahan dengan nada yang tegas, suaranya bergema di ruangan itu. Di depan beliau, seorang mahasiswa mendengarkan dengan saksama, mencatat poin-poin penting yang disampaikan. Ko.Prodi terlihat serius, memastikan semua yang disampaikan benar-benar dipahami.
Sementara itu, di sebelahnya, Kajur meluncurkan berbagai pertanyaan kepada seorang mahasiswi yang duduk di depannya. Nada suaranya tajam, menuntut jawaban yang jelas dan pasti.
Mahasiswi itu berusaha keras menjawab, meskipun aku bisa melihat kecemasan di wajahnya. Seperti sebuah ujian, pertanyaan-pertanyaan itu menguji sejauh mana dia memahami proposal yang diajukan.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke depan, menuju tempat duduk yang sudah disediakan untukku. Jantungku berdegup lebih kencang saat aku duduk di depan Kajur, dan tanpa ragu, aku meletakkan proposalku di meja di depanku. Kertas-kertas itu terasa berat di tanganku, seolah menyimpan seluruh beban ketakutanku.
***
"Ka, kenapa kamu milih judul ini?" tanya beliau tiba-tiba, suaranya lembut tapi tetap tegas.
Aku sempat freeze sejenak, bukan karena pertanyaannya susah, tapi karena satu hal yang langsung bikin aku kaget—beliau nyebut namaku. Sumpah, beliau kenal aku? Pikiran itu langsung nge-distract fokusku.
Harusnya aku langsung jawab, tapi otakku malah sibuk mikirin fakta bahwa seorang dosen kayak beliau bisa mengenali aku di antara ratusan mahasiswa lainnya.
Selama ini, aku selalu berpikir dosen nggak terlalu notice sama mahasiswa kecuali yang sering aktif di kelas atau yang memang standout. Dan honestly, aku nggak pernah merasa termasuk dalam kategori itu.
I’m not the type of student yang aktif di organisasi, nggak sering terlibat dalam kegiatan kampus, dan jarang banget muncul di event-event fakultas. Biasanya, setelah jam kuliah selesai, aku langsung balik ke kosan, lebih suka menyendiri atau tenggelam dalam tumpukan tugas.
Tapi kalau diingat-ingat lagi, mungkin beliau kenal aku karena waktu itu aku pernah ikut studi tour ke luar kota. Iya, kayaknya itu. Aku masih ingat ada beberapa interaksi kecil waktu itu, tapi aku pikir itu nggak akan terlalu berkesan buat beliau.
Apalagi, selama ini aku merasa lebih seperti bayangan di kampus—ada tapi jarang terlihat, hadir tapi nggak pernah menonjol.
Makanya, rasanya agak surreal dan unexpected waktu beliau masih ingat aku. Di tengah kesibukan ngurusin banyak mahasiswa, beliau bisa mengenali satu orang yang bahkan nggak terlalu aktif atau terlihat.
It’s kind of weird, but at the same time, it feels a bit comforting. For the first time, I felt noticed in a place where I usually blend into the background.
***
"Ka, kenapa kamu milih judul ini?" tanya beliau tiba-tiba, suaranya lembut tapi tetap tegas.
Aku langsung merasa gelisah. Mana mungkin aku jawab kalau sebenarnya judul itu dibuatkan oleh Pak RTA? Kalau aku jujur, bisa-bisa aku diomelin habis-habisan, dikasih wejangan panjang lebar.
Aku menarik napas pelan, trying to stay calm, sambil mencari kata-kata yang tepat. “Karena saya ingin tahu pak apakah harga dan kepercayaan masyarakat desa ~~ terhadap biro A itu memiliki pengaruh terhadap minat mereka menggunakan jasa tersebut,” jawabku dengan suara yang sedikit bergetar, ragu.
Jawaban itu keluar tanpa banyak keyakinan. Deep down, aku tahu jawabanku mungkin nggak terlalu kuat, tapi at least, aku harus terlihat seperti aku punya alasan yang jelas di depan beliau.
Aku berharap jawaban ini cukup meyakinkan dan bisa menyelamatkan diri dari pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut. Karena honestly, I’m not ready for a deep interrogation right now.
"Hm," gumam beliau sambil menatap proposal di tangannya.
Aku langsung merasa nggak enak. Aku tahu banget, jawaban tadi nggak memuaskan beliau. Dan ketika beliau membuka halaman selanjutnya, aku bisa lihat keningnya langsung berkerut. Perasaanku makin nggak enak, my heart was pounding harder.
Aku yakin banget nasibku bakalan sama kayak teman-teman yang keluar dari ruangan ini dengan wajah kecewa.
"Pernah belajar cara nulis catatan kaki yang benar?" tanyanya, nadanya terdengar tajam meski masih terjaga kelembutannya.
Aku cuma bisa mengangguk pelan. Rasanya, kalau aku bicara, suaraku bakal keluar kayak orang kejepit—gemetar dan nggak meyakinkan.
Beliau membalikkan halaman proposalku lagi, kali ini lebih cepat, seperti mencari sesuatu yang salah.
"Kamu belajar nggak cara menulis daftar pustaka yang baik itu gimana? Tahu nggak kalau penulisan nama untuk catatan kaki dan daftar pustaka itu berbeda? Ngerti nggak kalau nama penulis yang punya tiga kata itu harus ditulis gimana? Dan gimana caranya nulis daftar pustaka kalau ada tiga penulis atau lebih?" tanyanya sambil membenarkan posisi kacamatanya.
Aku tahu, aku pernah belajar semua itu. But now, my mind felt completely blank. Semua yang pernah kupelajari mendadak hilang entah ke mana.
Dalam hati, aku panik dan mulai berbicara pada diriku sendiri. Please, brain, come on! We’ve studied this, how could you forget? Tapi, entah kenapa, otakku malah diam, nggak mau bekerja sama. Semakin aku berusaha mengingat, semakin kabur semuanya.
Mulutku juga cuma diem aja. Aku merasa seperti terjebak dalam kebisuan yang sangat tidak nyaman. Yang bisa kulakukan hanya menatap halaman proposalku, hoping that somehow the right answers would magically appear in my mind.