Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Seperti Buntut
"Kalau tahu kenapa masih bertanya, Gus?"
Gus Zam perlahan mengangkat wajahnya dan menatap Hanung. Perempuan dengan tinggi sedagunya itu memiliki paras yang menawan walaupun tanpa polesan make-up. Ia yang terbiasa hanya melihat anggota keluarganya kini melihat Hanung seperti ada warna lain. Tidak seperti para santriwati lain atau abdi dalem yang biasa ia temui. Hanung seperti berasal dari dunia yang berbeda.
Hanung yang merasa ditatap pun menundukkan kepalanya. Sontak hal tersebut membuat Gus Zam sadar karena ia telah menatap lurus ke arah Hanung, seperti bukan dirinya.
"Maaf. Kamu kerjakan saja apa yang mau kamu kerjakan." kata Gus Zam kikuk.
"Terimakasih, Gus. Permisi." Hanung yang masih menunduk segera balik badan dan pergi ke kamar Ning Zelfa untuk mengganti mukena.
Di dapur, sudah ada beberapa abdi dalem yang mau menyiapkan sarapan termasuk Umi Siti yang menjadi pusat komando. Melihat Hanung dari kejauhan, Umi Siti pun tersenyum lebar. Beliau seperti mendapat tenaga tambahan. Tetapi tatapan beliau segera berubah, kala ada Gus Zam mendekat dibelakang Hanung.
"Hanung. Saya ikut ke dapur." Bisik Gus Zam yang sontak mengejutkan Hanung.
"Astaghfirullah.. I-iya, Gus."
"Hanung, Umi minta tolong kamu buat teh dan kopi untuk Pak Kyai dan yang lain. Kopi buat 2 cangkir dan tehnya buat satu teko. Airnya yang di sana, sudah mau mendidih." pinta Umi Siti.
"Kopinya manis atau pahit?"
"Sedang saja, Nung." Hanung mengangguk dan ia pun berjalan menuju lemari gelas dan lemari yang terdapat gula dan kopi, diikuti Gus Zam di belakangnya.
Hanung menyiapkan 2 cangkir dan lepek. Ia meracik kopi dengan perbandingan 1 sendok kopi dan 1 1/2 sendok gula. Kemudian teko 1 L ia masukkan gula 5 sendok makan dan 2 kantong teh celup. Semua persiapan Hanung selesai bersamaan dengan teko air yang berbunyi, menandakan air telah mendidih. Segera Hanung mengambil teko air dan menuangkan air panas ke cangkir dan teko. Semua kegiatan Hanung diawasi oleh Gus Zam yang duduk tak jauh darinya.
"Gus Zam, mau minum apa?" tanya Hanung setelah selesai dengan minumannya.
"Teh."
Hanung pun mengajak Gus Zam ke meja makan dan menyajikan minuman yang ia buat disana. Hanung juga menyiapkan beberapa gelas di nampan kecil dan menuangkannya untuk Gus Zam yang sudah duduk di dekatnya.
Semua kegiatan Hanung pagi itu, selalu diikuti Gus Zam. Sampai-sampai saat Hanung ke tempat pencucian setelah sarapan, Gus Zam juga mengikutinya. Hanung menjadi tidak nyaman, karena semua mata memperhatikannya. Tetapi ia tidak bisa menolak, takut Gus Zam tantrum seperti tadi. Ia pun hanya bisa menahannya.
Umi Siti yang sedari tadi memperhatikan Hanung dan Gus Zam, mengeluh kepada Bu Nyai.
"Itu kenapa Gus Zam selalu mengikuti Hanung? Aku jadi tidak leluasa meminta bantuannya."
"Biarkan saja. Biar Adib beradaptasi."
"Itu bukan beradaptasi, Bu Nyai! Itu terlihat seperti Hanung memiliki buntut." protes Umi Siti.
"Salah kamu sendiri!" kesal Bu Nyai
"Kenapa jadi saya yang salah, Bu Nyai?"
"Kata-kata kamu kemarin yang membuat Adib seperti itu!"
"Hah?" Umi Siti terkejut.
"Maaf, Bu Nyai. Siti tidak bermaksud seperti itu." Bu Nyai menghela nafas dalam.
"Lain kali jangan menggodanya seperti itu, Siti. Adib tidak bisa mendengar kata-kata seperti itu. Beruntung ia segera sadar. Kalau kumat seperti biasanya, bagaimana dengan Hanung?"
"Iya, Bu Nyai. Maaf. Tapi sepertinya Gus Zam sudah jatuh cinta dengan Hanung, Bu Nyai."
"Jangan sok tau, kamu!"
"Bu Nyai tidak tahu saja, ada insiden saat Hanung berkunjung kemarin." Bu Nyai yang sedang membaca kitab pun meletakkan kitabnya karena penasaran.
"Apa?"
"Hanung salah masuk kamar mandi dan menabrak Gus Zam."
"Hanung tidak ada bercerita kalau sebelumnya pernah melihat Adib, Siti. Kamu mengarang?"
"Ya jelas Hanung tidak cerita. Hanung tidak tahu siapa yang ditabrak. Paling-paling Hanung sudah lupa!" Benar tebakan Umi Siti, Hanung lupa dengan tabrakan nya di di depan kamar mandi.
"Hanung tidak tahu, kenapa kamu tahu?"
"Perawakan tegap nan rupawan dan membatu saat melihat orang, siapa lagi kalau bukan Gus Zam?"
"Alhamdulillah.. Jika apa yang kamu katakan benar, semoga pernikahan mereka menjadi kesembuhan untuk Adib."
"Aamiin.."
Obrolan mereka harus terhenti kala melihat Hanung yang masih dibuntuti Gus Zam berjalan kearah mereka.
"Ada apa, Hanung?" Tanya Umi Siti.
"Umi, ada yang mencari. Saya minta tunggu di ruang tamu, katanya sudah ada janji dengan Umi." Bu Nyai pun mengingat-ingat ada janji apa hari ini.
"Astaghfirullah.. Umi lupa! Ayo Hanung, kita temui tamunya!" Bu Nyai menggandeng tangan Hanung.
"Adib tidak boleh ikut!" seru Bu Nyai sebelum melangkah.
"Kenapa?" tanya Gus Zam.
"Ini rahasia perempuan, kamu tidak boleh ikut. Tunggu disini sampai kami selesai." perintah Bu Nyai yang kemudian melenggang membawa Hanung, diikuti Umi Siti.
Tamu yang datang ternyata adalah pemilik butik kenalan Bu Nyai. Beliau datang membawakan pesanan Bu Nyai, yaitu pakaian yang akan dikenakan Hanung nanti.
"Sepertinya tidak perlu dikecilkan, Nyai. Postur menantumu pas sekali!" seru Ibu Salma.
"Benarkah? Tetap saja harus dicoba!" Bu Nyai pun meminta Hanung mencoba kebaya putih di kamar beliau ditemani Umi Siti.
Pertama Hanung mengenakan manset dress berwarna putih, kemudian rok putih mengembang dengan hiasan tile payet sebagai pengganti jarik khas kebaya. Lalu kebaya putih yang menjuntai dan terakhir hijab warna senada dengan tiara dan veilnya.
"MasyaAllah.." puji Umi Siti saat melihat pantulan wajah Hanung di cermin.
"Nanti setelah dipoles make-up, jadi kentara aura pengantinnya."
"Tidak make-up, tidak boleh ya, Umi?"
"Kenapa?"
"Kulit Hanung sensitif."
"Nanti katakan saja sama yang make-up, soalnya Bu Nyai sudah pesan juga." Hanung hanya bisa mengangguk.
Umi Siti pun membawa Hanung keluar kamar. Segera Bu Nyai dan Ibu Salma berdiri dari duduk mereka memuji kecantikan Hanung.
"Apa kubilang, pas!" Ibu Salma berbangga diri.
"Kamu benar. Terima kasih."
Setelah mengambil beberapa gambar, Hanung diperkenankan mengganti pakaiannya kembali dan bergabung dengan obrolan ibu-ibu. Mereka membahas persiapan yang sudah selesai. Dari obrolan tersebut, Hanung mengetahui konsep pernikahannya.
Pernikahan sederhana seperti yang pernah ia lihat. Bedanya, hampir semua tamu undangan adalah para pemuka agama dan pemilik pesantren. Hanung yang berasal dari keluarga biasa dan tidak ada latar belakang agamis pun merasa tidak percaya diri. Segera hal itu di tangkap oleh Bu Nyai.
"Hanung, kamu menantu Umi dan Abah. Siapapun kamu, kamu adalah bagian dari kami." kata Bu Nyai sambil menggenggam tangan Hanung.
"Benar. Ibu Mertuamu ini bukan type orang yang hanya melihat "bibit bebet bobot". Kalau tidak, tidak mungkin dia bisa berteman denganku yang hijab saja masih mengeluarkan jambul." kata Ibu Salma.
Hanung tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Walaupun masih sedikit insecure Hanung mencoba untuk mengikuti perkataan Bu Nyai. Obrolan mereka pun berlanjut, sampai mereka melupakan Gus Zam yang sedari tadi menunggu.