Karena sebuah mimpi yang aneh, Yuki memutuskan untuk kembali ke dunia asalnya. Walaupun Dia tahu resikonya adalah tidak akan bisa kembali lagi ke dunianya yang sekarang. Namun, saat Yuki kembali. Dia menemukan kenyataan, adanya seorang wanita cantik yang jauh lebih dewasa dan matang, berada di sisi Pangeran Riana. Perasaan kecewa yang menyelimuti Yuki, membawanya pergi meninggalkan istana Pangeran Riana. Ketika perlariaannya itu, Dia bertemu dengan Para Prajurit kerajaan Argueda yang sedang menjalankan misi rahasia. Yuki akhirnya pergi ke negeri Argueda dan bertemu kembali dengan Pangeran Sera yang masih menantinya. Di Argueda, Yuki menemukan fakta bahwa mimpi buruk yang dialaminya sehingga membawanya kembali adalah nyata. Yuki tidak bisa menutup mata begitu saja. Tapi, ketika Dia ingin membantu, Pangeran Riana justru datang dan memaksa Yuki kembali padanya. Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hari Yuki dan Pangeran Riana. Semua di sebabkan oleh wanita yang merupakan bagian masa lalu Pangeran Riana. Wanita itu kembali, untuk menikah dengan Pangeran Riana. Ketika Yuki ingin menyerah, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Namun, sesuatu yang seharusnya menggembirakan pada akhirnya berubah menjadi petaka, ketika munculnya kabar yang menyebar dengan cepat. Seperti hantu di malam hari. Ketidakpercayaan Pangeran Riana membuat Yuki terpuruk pada kesedihan yang dalam. Sehingga pada akhirnya, kebahagian berubah menjadi duka. Ketika semua menjadi tidak terkendali. Pangeran Sera kembali muncul dan menyelamatkan Yuki. Namun rupanya satu kesedihan tidak cukup untuk Yuki. Sebuah kesedihan lain datang dan menghancurkan Yuki semakin dalam. Pengkhianatan dari orang yang sangat di percayainya. Akankah kebahagiaan menjadi akhir Yuki Atau semua hanyalah angan semu ?. Ikutilah kisah Yuki selanjutnya dalan Morning Dew Series season 3 "Water Ripple" Untuk memahami alur cerita hendaknya baca dulu Morning Dew Series 1 dan 2 di profilku ya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Malam itu sunyi dan udara dingin menyusup hingga ke tulang, namun Yuki tidak merasakan apa-apa selain keteguhan di hatinya. Berlari menyusuri lorong-lorong gelap, dia terus menahan napas, mencoba meredam setiap langkah yang diambilnya. Desahan napasnya terdengar pelan, berbaur dengan hembusan angin yang meliuk di sepanjang koridor. Hanya beberapa langkah lagi, pikirnya, dan dia akan terbebas dari jeratan istana yang mengekangnya.
Dengan sedikit uang yang ia simpan di balik pakaiannya, Yuki berharap bisa bertahan sementara, cukup lama hingga ia menemukan perlindungan. Dia telah mendengar keputusan yang menghancurkan hatinya—bahwa kerajaan tidak menginginkan kehadiran bayinya, bahkan rela menyingkirkannya demi stabilitas yang mereka pikir penting. Tubuh Yuki bergetar bukan karena takut, tetapi karena tekad yang baru terbentuk, tekad yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Ia tidak akan membiarkan siapapun menyentuh bayi yang kini menjadi bagian dari hidupnya.
Saat Yuki mendekati gerbang terakhir dengan langkah hati-hati, tiba-tiba, lampu-lampu yang semula redup menyala dengan terang, menerangi kegelapan di sekitarnya. Kilauan cahaya memantul pada wajah-wajah tegas para prajurit yang telah berdiri berbaris, membentuk lingkaran sempurna mengelilinginya. Jantung Yuki berdegup kencang, menyadari bahwa pelariannya telah terendus.
Di tengah keheningan yang mencekam, sosok Pangeran Riana muncul di depan Yuki, berdiri tegap dengan tatapan dingin yang menusuk. Matanya memancarkan campuran antara kemarahan dan penguasaan yang mengintimidasi, menekan seluruh keberanian Yuki yang tersisa. Wajahnya keras, tak menunjukkan belas kasih, seolah semua perasaan yang pernah ia tunjukkan kepada Yuki telah berubah menjadi benteng tak tertembus.
“Berpikir untuk kabur?” suara Pangeran Riana bergema, penuh ketegasan yang tak bisa disangkal.
Yuki tersentak, tubuhnya menegang saat tangan Pangeran Riana dengan kuat mencengkeram lehernya, menariknya kembali dengan kasar. Nafasnya tercekat di tenggorokan, mata Yuki bertatapan langsung dengan tatapan Riana yang dipenuhi kemarahan dan penghinaan.
“Mau kemana?” suaranya terdengar tajam, setiap kata seperti bilah pedang yang menusuk hati Yuki. “Pergi ke pelukan Sera?” lanjutnya, nada cemburu dan dingin mencuat jelas. Di matanya, tak ada lagi sosok lembut yang dulu Yuki kenal, hanya kekuasaan yang menuntut kepatuhan tanpa kompromi.
Yuki meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Pangeran Riana. Suaranya bergetar, mencerminkan ketakutan dan kemarahan yang membara. “Lepaskan aku! Kau gila!” teriaknya, matanya melotot dengan penuh perlawanan. Rasa panik menyelimuti hatinya, sementara perasaan terjebak di antara dua kekuatan—cinta dan ancaman—menghimpitnya.
Pangeran Riana hanya mempererat cengkeramannya, tatapannya tetap dingin dan penuh ketidakpedulian. “Apa kau benar-benar berpikir bisa melarikan diri? Kalian semua, termasuk Sera, tidak akan bisa menyentuhmu,” katanya, suaranya kini serak, memancarkan ketidakstabilan emosional yang membara di dalamnya.
Tanpa perasaan, Pangeran Riana melepaskan cekalannya di leher Yuki, tapi bukan tanpa menyisakan rasa sakit yang mendalam. Dia beralih ke tengkuk Yuki, mengaitkan jari-jarinya di sana dan menariknya kembali dengan paksa menuju istana.
Yuki merasa lehernya bergetar saat Pangeran Riana memegangnya dengan kuat, dan perasaannya campur aduk antara frustrasi dan rasa takut. Dia berjuang untuk meraih kebebasannya, namun tubuhnya dipaksa mengikuti langkah Pangeran Riana yang mantap.
“Lepaskan aku!” Yuki berteriak, berusaha mengguncang kepalanya agar bisa membebaskan diri dari cengkeraman itu, tetapi tidak ada gunanya. Setiap langkah mereka menuju istana menguatkan kesadarannya bahwa kebebasan yang dia idamkan semakin menjauh.
Pangeran Riana tidak mengindahkan teriakan Yuki. Dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan—mengamankan Yuki di sampingnya dan memastikan tidak ada satu pun yang bisa membuat wanita yang dicintainya itu pergi meninggalkannya, meskipun cara yang dilakukannya penuh dengan kekerasan dan ketidakpedulian.
Yuki ditarik kembali ke dalam kamar Pangeran Riana, dan saat matanya menyapu ruangan, dia terkejut melihat dokter dan perawat sudah siap di sana, berdiri dengan ekspresi serius. Pemandangan itu membuat jantungnya berdegup kencang, dan matanya langsung menatap Pangeran Riana dengan nanar.
“Jangan…” pinta Yuki memohon, suaranya hampir bergetar. Dia merasa terjebak dalam situasi yang tak bisa dia kendalikan. Rasa takut menyelimuti hatinya, membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pangeran Riana menatap Yuki dengan tatapan dingin namun penuh tekad. Suaranya tegas tanpa ruang untuk perdebatan. “Mereka akan memastikan semuanya baik-baik saja.”
Yuki menggelengkan kepalanya, rasa putus asa mengalir dalam dirinya. “Aku tidak butuh ini! Aku tidak ingin kehilangan bayiku!” Dia merasa gelisah, ingin melawan tetapi tidak tahu bagaimana cara melawan kehendak Pangeran Riana yang sudah bulat.
Dokter maju dengan perlahan, menatap Yuki dengan penuh empati. “Kami hanya ingin membantu, Putri Yuki. Tolong percayakan pada kami.”
Yuki bersimpuh di kaki Pangeran Riana, air matanya mengalir deras saat dia merasakan ketakutan yang mendalam. “Jangan, Pangeran… Jangan bunuh dia…” Ucapnya, suaranya tercekat oleh kesedihan dan kepanikan. Dia menundukkan kepala, berusaha meraih kasih sayang yang seolah menghilang dari sosok yang pernah dia cintai.
Pangeran Riana berdiri dengan sikap dingin, matanya yang biasanya penuh gairah kini tampak kosong.
“Aku mohon padamu… beri dia kesempatan untuk hidup!” Air mata Yuki semakin deras, mengalir di pipinya. Dia merasakan jantungnya berdegup kencang, ketakutan akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga. “Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan masa depanku. Dia adalah bagian dari kita!” Dia menggenggam kaki Pangeran Riana, seolah ingin menahannya agar tidak pergi lebih jauh.
“Aku akan memberimu bayi, Yuki. Tapi bukan yang di dalam perutmu.”
Yuki terhenyak, hatinya seakan hancur mendengar pernyataan yang begitu kejam dari pria yang pernah dia cintai dan percayai. Dengan suara bergetar, Yuki berusaha menahan air mata yang kembali menggenang. “Bagaimana bisa kau berbicara seperti itu? Anak ini… adalah bagian dari kita, Pangeran.”
Pangeran Riana hanya menatapnya dengan pandangan yang datar, seolah perasaannya telah tertutupi oleh tembok kebencian dan kecemburuan. “Aku tidak akan menerima anak yang mungkin saja bukan darahku. Jika kau ingin seorang bayi, aku akan memberimu, tapi bukan yang sekarang ada dalam perutmu.”
Yuki berlutut di hadapan Pangeran Riana, memohon dengan segenap hatinya. “Aku mohon, Pangeran. Aku mencintai anak ini, aku tidak peduli siapa yang menanamkan keraguan di hatimu, tapi aku mohon… Jangan sakiti dia.”
Namun, Pangeran Riana tetap berdiri kaku, menolak tergerak oleh permohonan Yuki. “Keputusanku sudah bulat, Yuki. Aku tidak akan membiarkan ancaman lahir dari rahimmu.”
Pangeran Riana memberi isyarat dingin pada dokter dan perawat yang sudah menunggu di sudut ruangan. Tanpa ragu, mereka bergerak mendekati Yuki, cekalan mereka kuat dan tanpa ampun. Yuki memberontak, berusaha melepaskan diri, namun satu dari mereka dengan cepat menyuntikkan cairan ke lengannya. Dalam hitungan detik, tubuhnya melemah, seluruh kekuatannya terasa tersedot, dan dia kehilangan kendali atas anggota tubuhnya.
“Apa… yang… kalian… lakukan?” suaranya terputus-putus, napasnya tersengal. Yuki merasakan rasa dingin menyelimuti tubuhnya, matanya memohon belas kasihan kepada Pangeran Riana, tapi hanya tatapan dingin yang dia dapatkan sebagai balasan.
Di tengah ketidakberdayaannya, air matanya mulai mengalir tanpa henti. Dia mencoba mengangkat tangannya, berusaha menyentuh perutnya yang terlindungi, tetapi tubuhnya tak lagi merespons. Hatinya berteriak, mencoba menyampaikan cinta dan perlindungan kepada bayi yang tumbuh di dalamnya.
“Pangeran… kumohon…,” bisiknya, nyaris tak terdengar.
Namun, Pangeran Riana hanya berdiri dengan teguh, menatap Yuki tanpa sedikit pun keraguan. Di matanya, keputusan telah diambil.
...****************...
Saat Yuki membuka mata, cahaya samar dari lilin-lilin di kamar Pangeran Riana memenuhi pandangannya. Dia mendapati dirinya terbaring di atas ranjang besar, selang infus terpasang di lengan, mengalirkan cairan dingin yang perlahan meresap ke tubuhnya. Sadar sepenuhnya, ia segera merasakan keheningan yang mendalam di dalam dirinya, kesunyian yang memekik.
Dengan tangan bergetar, Yuki meraba perutnya. Tidak ada kehangatan, tidak ada getaran hidup yang pernah ia rasakan. Segala yang sebelumnya menjadi pengikat harapan dan cintanya kini hilang, lenyap tanpa jejak. Mata Yuki penuh air mata, namun tubuhnya terlalu lemah untuk bangkit. Segala sesuatunya terasa seperti mimpi buruk yang terlalu nyata, tapi rasa sakit di dadanya menyadarkannya bahwa ini adalah kenyataan.
Dia terdiam, kesedihan perlahan berubah menjadi kekosongan yang menggerogoti jiwanya. Perasaan kehilangan yang dalam menelannya, dan hanya ada satu wajah yang tergambar dalam pikirannya: Pangeran Riana.
Yuki merasakan luka yang lebih tajam daripada apa pun yang pernah ia alami. Di matanya, Pangeran Riana, sosok yang pernah ia percayai dan cintai, berdiri sebagai bayangan gelap yang kini hanya menyisakan dinginnya ketidakpedulian. Tak peduli berapa kali Yuki memohon, tangisannya diabaikan, dan keyakinannya dipatahkan. Ia tidak hanya kehilangan anak yang ia impikan; ia juga kehilangan kepercayaannya pada pria yang telah membuatnya jatuh cinta.
Pangeran Riana, dengan tatapan dingin tanpa penyesalan, menganggap keputusannya sebagai hal yang benar. Seolah-olah perasaannya terhadap Yuki tidak lagi berarti, seolah cinta yang pernah ia katakan hanyalah dusta yang hancur oleh ketidakpercayaan. Bagi Yuki, luka itu tidak hanya dalam kehilangan anaknya, tapi juga dalam menyadari bahwa dirinya tidak lagi berharga di mata pria yang seharusnya menjadi pelindungnya.