Gilsa tak percaya ada orang yang tulus menjalin hubungan dengannya, dan Altheo terlalu sederhana untuk mengerti kerunyaman hidup Gilsa. Meski berjalan di takdir yang sama, Gilsa dan Altheo tak bisa mengerti perasaan satu sama lain.
Sebuah benang merah menarik mereka dalam hubungan yang manis. Disaat semuanya terlanjur indah, tiba-tiba takdir bergerak kearah berlawanan, menghancurkan hubungan mereka, menguak suatu fakta di balik penderitaan keduanya.
Seandainya Gilsa tak pernah mengenal Altheo, akankah semuanya menjadi lebih baik?
Sebuah kisah klise cinta remaja SMA yang dipenuhi alur dramatis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bibilena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seorang Ayah bagi si Anak
"Gilsa, coba kamu bicarakan ini dengan Ayahmu bisa? Ini menyangkut nama baik kamu, dan sekolah hanya akan bertindak berdasarkan keputusan kalian."
Pada dasarnya sekolah ingin melepas tanggungjawab dan melimpahkan beban itu padanya. Gilsa tak suka sungguh, apalagi ketika dia memegang surat dari sekolah dan harus menyerahkan itu pada Ayahnya. Jika mereka saja tak mau bertemu orang tua itu, apalagi dirinya. Orang dewasa sampai kapanpun tidak bisa diandalkan.
"Pak Birka." Dia menanggil sosok yang sedang menyeduh kopi di dapur. Pria itu adalah sosok yang juga kemarin bertemu dengannya di atas tangga.
"Bisa anda serahkan ini kepada atasan anda?"
Pria itu bertanya dengan lembut lewat tatapan, meraih amplop putih yang disodorkan sembari menyimpan lagi cangkir ke atas meja.
"Apa ini?"
"Apa aku harus membicarakannya secara langsung saja?" Gilsa berbicara sambil menatap ke arah lain seolah dia bertanya pada diri sendiri, tapi suaranya terdengar jelas. Tatapan Pak Birka menyorot lebih intens wajahnya, Gilsa menghela napas dan menatap Pak Birka lagi.
"Bukan aku yang melaporkan, ada anak baru di kelas kami yang melihatnya dan melaporkan sesuatu ke guru. Masalahnya membesar jadi sekolah meminta keputusan untuk dia datang besok." Namun seiring dia terus bicara, Gilsa lagi-lagi menurunkan tatapan dan mengigiti bibirnya. Pak Birka ikut tertunduk menatap amplop di tangannya. Mereka berdua adalah orang yang paling mengenal tabiat Ayah Gilsa sehingga keduanya sama-sama tahu jawaban apa yang akan orang itu berikan.
"Haruskah?" tanya Pak Birka.
"Orang tua siswa yang dituduh terus-menerus menuntut." Gilsa tersenyum dengan terpaksa. Bagaimanapun meski itu selalu diluar kuasanya, segala hal selalu juga berakhir menyeretnya ikut campur. Bukan karena Pak Birka bisa diandalkan atau Gilsa merasa nyaman dengannya sehingga meminta tolong pria itu, hanya saja jika tidak melalui Pak Birka, ayahnya tak akan mau mendengarkan dan langsung mengusir Gilsa.
"Baiklah."
•••
Altheo memasuki rumah dengan langkah yang perlahan, supaya tak menyadarkan siapapun tentang kehadirannya. Ini bukan karena jam malam, bukan juga karena orang tuanya pemarah atau sudah tertidur. Sebenarnya ini adalah hal yang sudah terjadi selama tiga tahun lebih.
Ibunya menderita sakit sejak lama, setiap kali melihat Altheo dia akan menangis tak henti-henti sampai pingsan berkali-kali. Sejak saat itu Altheo tak pernah menunjukan wajahnya kepada sang Ibu meski mereka tinggal satu atap. Karena itu sebelum pindah kemari Ayahnya membuatkan pintu samping khusus untuknya masuk supaya tak bertemu dengan sang Ibu.
Walaupun sebenarnya tidak sesederhana itu.
Pemuda itu akhirnya masuk ke dalam kamar dan segera mengunci pintu, mungkin Ibu dan Ayahnya tidak ada di rumah atau mereka berada di taman belakang. Apapun itu beruntung untuknya hari ini tak bertemu salah satu dari mereka. Dari dulu, bahkan sampai sekarang Altheo selalu pergi ke sembarang tempat setelah pulang sekolah agar saat malam baru bisa pulang. Lambat laun dia mulai tidak menyukai berada terlalu lama di rumah, tapi itu bukan berarti Altheo sudah tidak menyayangi kedua orang tuanya. Pemuda itu justru sangat merindukan mereka.
Sejujurnya untuk pertama kali sangat aneh bagi Altheo merasa rindu pada orang tuanya, padahal mereka tinggal satu atap. Altheo pikir pada akhirnya semua akan kembali seperti sedia kala, tapi meski bulan dan tahun berlalu, semua orang masih tinggal diduka yang sama.
Kakaknya yang meninggal empat tahun lalu, belum ada dari mereka bertiga yang bisa merelakan kepergiannya.
Pintu kamar tiba-tiba diketuk.
"Ini ayah." Suara dingin menyeru kepadanya. Altheo berdiri dari kasur dan membuka kunci pintu, sekantung plastik tersodor padanya saat pintu baru terbuka setengah.
"Makan." Namun nasi kotak itu jatuh ke lantai sebelum sempat Altheo meraihnya dan pintu tertutup kembali.
Semua orang masih membencinya seperti bagaimana mereka belum bisa melepaskan Kakaknya.
"Ayah!" Pemuda itu membuka paksa pintu sebelum Ayahnya benar-benar menjauh. Tatapan heran dan tajam segera tertuju padanya.
"Apa-apaan kamu?" Ayahnya panik. Segera menghampiri pintu kembali dan memaksa masuk ke dalam kamar. Setelah itu pintu dikunci rapat.
"Kamu ingin membuat Ibu sakit lagi?"
Altheo hanya diam. Dia meraih tas sekolahnya yang tergeletak di atas kasur, membawa sebuah amplop putih dan memeberikannya pada sang Ayah.
"Ayah dipanggil ke sekolah."
Dia tak segera mengambil amplop itu, malah menatap anaknya dengan bertanya-tanya.
"Bukan, aku tidak berbuat salah. Aku hanya mengadukan penindasan salah satu murid dikelasku."
"Hanya? Lalu kenapa kamu dipanggil?" Amplop itu dirampas dan dilempar kembali ke tubuh sang Anak. "Berhenti merasa pendapat kamu paling benar, Altheo. Tidak cukup selama 4 tahun ini kami membiarkan kamu?"
Altheo menghela napas dan mengangguk. Dia lantas mengambil kembali amplop yang terjatuh itu. Mendekati sang Ayah lalu menaruh amplop itu di lipatan tangan Ayahnya yang mengepal kuat.
"Ayah tak harus datang jika tak ingin."
•••
Sudah hampir sebulan lebih Gilsa tidak melihat wajah Ayahnya, saat bertemu kembali di ruang kerja pria itu, anehnya tak ada yang berubah dari sebulan yang lalu. Baik perasaannya, raut Ayahnya, ataupun situasi diantara mereka. Ini alasan kuat kenapa gadis itu tak pernah mau bertemu sang Ayah, karena rasanya sama saja dengan bunuh diri berkali-kali.
"Kenapa dia ke sini?" Tatapan tajam itu menyadari kehadiran Gilsa. Dia berjalan mengikuti langkah Pak Birka. Kemudian mereka berdua duduk di sofa untuk tamu.
"Nona ingin menyampaikan sesuatu kepada Tuan." Ayah Gilsa beralih tatap dari Pak Birka kepada sang anak, menelusuri bagaimana gadis itu, seolah menyelidiki lewat tatapan apa yang akan disampaikan anaknya itu. Tentu saja dugaannya hanyalah dugaan, dia harus mendengarkannya, maka dari itu Ayah Gilsa berdiri dan dengan langkah tegap menghampiri sofa tunggal di dekat sang anak.
"Bicaralah." Saat beliau duduk, Pak Birka lantas berdiri dan memberikan amplop tadi, menyimpannya di atas meja dekat atasannya. Pria itu lantas berbalik pergi tanpa menunggu titah, keluar dari ruangan.
"Kamu tak jadi bicara?"
Gilsa sampai saat ini tak berani mengangkat wajah, dia sibuk menatap meja sambil meremas permukaan sofa. Rasa malas didadanya berubah menjadi benci, dia tak tahu mengapa selalu begitu jika harus berhadapan dengan Ayahnya. Padahal pria itu tak pernah sekalipun melayangkan pukulan.
"Masalah kepribadianmu ini tak sudah-sudah. Dari dulu kau selalu saja penakut, Ibumu bilang kau pemalu tapi bagiku kau memalukan. Sudah kuberitahu perbaiki ini, tapi tetap saja tak ada yang berubah." Ayahnya sibuk mengeluh sekarang. Mungkin inilah mengapa bertemu Ayahnya selalu menjadi tantangan cari mati sehingga Gilsa mengambil napas lebih dalam. Dia melirik sang Ayah. Beliau kini menegakan tubuh dan mengambil amplop di meja tadi. Membuka dan membacanya dalam diam.
"Kamu sedang bosan?" Setelah lama diam Ayahnya menatap Gilsa dengan pandangan miring. Kertas kembali ditutup, dan tanpa dimasukan kembali ke dalam amplop beliau melemparnya ke atas meja.
"Bukan aku yang melakukannya."
"Hanya ini yang bisa kamu katakan? Untuk apa bertemu denganku kalau begitu? Sobek saja suratnya dan katakan aku tak bisa datang."
Gilsa terdiam, dia menunduk kembali. Wajahnya sudah berkeringat dan jantungnya berdegup sangat kencang.
"Jawablah."
Tatapan Gilsa menjadi lemah, dia mencuri pandang pada sang Ayah. "Bisakah Ayah datang?"
"Begitu saja? Hanya seperti ini usahamu? Sampai kapan kamu mau menjadi pengecut yang takut berkomunikasi dengan orang lain?"
Gilsa memutar tatapan ke arah lain dengan kesal. Penyebab dari masalahnya adalah orang yang berbicara dan menasehatinya untuk berubah.
"Aku juga tidak bisa berharap apa-apa dari wanita. Pergilah." Ayahnya berdiri lagi dan pergi ke arah meja kerja. Meski begitu Gilsa tak menghentikannya atau beranjak berdiri.
"Orang tua dari pelaku tidak mau berhenti menuntut sekolah, dan yang melaporkan bukan aku, itu salah satu anak pindahan di kelas kami." Gilsa diam sejenak.
"Sekolah meminta anda datang."
Ayahnya tak mengacuhkan ucapan itu, dia kembali duduk di meja kerja dan melanjutkan kembali pekerjaannya.
"Ayah tidak mendengarku?"
"Kesempatanmu bicara sudah hilang. Pergilah."
"Tapi aku--"
"Orang yang tidak mengerti cara meraih kesempatan tidak berhak membantah. Pergilah, Gilsa."
Gadis itu meringis. "Tapi Ayah memang tidak pernah mendengarkan aku."
Tatapan dia terima dari pria itu. Kali ini dia tak menunduk atau memalingkan wajah. Meski Ayahnya tampak murka.
"Kapan Ayah mendengarkan aku?"
"Lalu? Kamu mau apa? Kamu mau membentakku dan menyalahkanku seperti yang selalu kamu lakukan?"
Gilsa seolah sudah pasrah, dia hanya menghela napas dengan kasar.
"Aku tahu anda memang tidak bisa mengerti orang lain." Gadis itu menyungrai rambutnya dengan cepat kasar lalu segera beranjak pergi, membuka pintu dan menghilang tanpa menutupnya kembali.
"Gilsa!"
•••
Pagi hari sama seperti kemarin murid-murid sudah banyak yang datang meski waktu masih jauh dari bel masuk. Altheo mendapati pemandangan yang berbeda lagi dari sebelah mejanya, kali ini meja itu kosong. Tak ada Gilsa di sana, sementara meja lain di sebelah Altheo yang biasanya kosong kini terisi, Kailo tidak mengungsi.
"Dia tidak masuk?" tanya Altheo sembari menunjuk meja Gilsa pada Kailo. Pemuda itu mendengus dan menggeleng.
"Apa aku akan tahu jika iya?"
"Aneh saja."
"Dia juga siswa, ada malasnya pasti."
Begitukah? Altheo menatap meja Gilsa agak tidak percaya.
Namun sampai bel masuk berbunyi dan guru pelajaran pertama datang, Gilsa masih juga belum datang. Mungkin benar gadis itu tak akan masuk hari ini.
"Ah iya, Gilsa sedang di ruang konseling. Dia dispenkan saja ya, Clarissa."
"Apa? Ruang konseling?" Altheo seketika menegakan tubuh. Rasa merinding dan hawa dingin langsung menyerbu punggung hingga ke ceruk lehernya saat ini. Pemuda itu melupakan soal pertemuan hari ini.
"Theo, kamu tidak ke sana juga?" Kailo menepuk lengannya. Jangankan dia, Altheo juga terkejut dia tak ke sana.
"Aku lupa." Pria itu mengeluh dengan lirih. "Bagaimana ini ....?"
Ayahnya tidak mau datang, meski kemarin dia pergi dengan membawa amplop itu tapi Altheo tahu dia tak akan datang. Lalu selama memikirkan itu kemarin malam dia tertidur agak larut sampai bangun kesiangan. Altheo sibuk menyiapkan diri pagi tadi, selain itu sebenarnya dia juga tidak membaca isi surat sehingga dia tak tahu pertemuannya akan diadakan di pagi hari.
"Hei, jangan buat masalah."
"Aku lupa, bagaimana ini? Apa menyusul saja?" Altheo menatap panik ke samping kanan, tapi itu tergantikan dengan tatapan haru saat melihat pintu masuk menampakan sosok yang ditunggunya sejak pagi.
"Eh anaknya masuk, udah ya Clarissa gak usah didispenkan."
Gilsa datang ke kelas.
Jam pelajaran sudah berganti ke jam pelajaran kedua saat Gilsa duduk di kursinya tanpa membawa tas. Meski begitu Bu Hani memperingatkan untuk absensinya dihadirkan saja pada jam pelajarannya, seperti biasa perlakuan itu menimbulkan cibiran diam-diam tapi tak terlalu dibicarakan. Saat Gilsa duduk, tak terduga Altheo terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti acara konferensi pers.
"Diamlah."
"Aku justru frustasi kau hanya diam sementara aku terus bicara. Katakan sesuatu!" Namun malah pemuda itu yang lebih kesal. Gilsa menghela napas.
"Sudah tak apa, aku yang meminta Bu Rani tidak melibatkanmu. Ayahku sih yang memintanya. Jadi sudah, semuanya sudah beres, Genan tak jadi diskors, sebagai gantinya dia harus menemui Bu Rani sehabis pulang sekolah untuk konseling."
"Ah, Ayahmu baik juga."
Gilsa berdehem sebagai jawaban. Cukup ajaib ayahnya itu mau datang ke sekolah, dan lebih mengherankan lagi dia juga meminta pengadu tidak dilibatkan. Katakan saja dia baik untuk hari ini.
"Tapi kenapa hukumannya jadi lebih ringan?"
Gilsa tak menjawabnya, dia memilih membuka ponsel, saat ini notifikasi dari akun media sosialnya tak henti-henti masuk. Ini selalu saja terjadi jika dia tak sengaja bertemu Morgan, pemuda itu mengganggunya lewat tag yang tidak perlu.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Hm?" Gilsa tak bisa menatap jauh dari layar jadi hanya dagunya saja yang terangkat.
"Dia tidak mendapatkan balasan yang setimpal."
Akhirnya gadis itu sadar apa yang Altheo maksud dan menatapnya. Mereka sama-sama diam, kemudian Gilsa menunduk lagi ke arah ponsel.
"Aku tidak peduli."
Altheo menatap wajah itu dengan heran. "Benarkah?"
"Iya, benar."
•••