"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Hana
Seminggu berlalu sejak insiden di gang, tapi luka-luka Ryan masih mengingatkannya akan malam itu. Memar di wajah memang memudar, tapi bekasnya tertinggal dalam, merusak setiap bayangan dirinya di cermin. Bukan hanya karena pukulan Rei dan Ivan, melainkan beban yang terus menggerogoti jiwanya.
Sekolah pun berubah menjadi tempat asing. Setiap koridor dipenuhi tatapan-tatapan penuh makna, bisikan tak jelas dari para siswa yang sesekali meliriknya dengan jijik atau iba. Tapi, tatapan mereka hanyalah selintas. Tak ada yang benar-benar bertanya atau peduli dengan apa yang terjadi.
Di rumah, kondisinya tak lebih baik. Keluarga menganggapnya baik-baik saja. Guru-guru sekadar melirik, tak satu pun bertanya. Bagi mereka, Ryan hanyalah bayangan di sudut, tak lebih dari figur kabur yang dengan mudah mereka abaikan.
Suatu hari, kelas yang sunyi berubah saat suara langkah baru terdengar. Semua kepala menoleh ke pintu. Seorang gadis berdiri di sana, didampingi wali kelas. Rambut hitam panjang dan wajahnya yang teduh seolah memancarkan sesuatu yang tak biasa. Ryan yang biasanya menghindari keramaian, tanpa sadar memperhatikannya lebih lama.
"Halo semua, ini Hana. Mulai sekarang, dia bagian dari kelas kita," kata wali kelas dengan senyum.
Ryan memperhatikan setiap gerakan Hana yang tenang, seolah gadis itu membawa aura yang menenangkan tapi tak terjangkau. Ketika Hana memperkenalkan diri, tatapannya bertemu sebentar dengan Ryan. Di detik itu, napasnya tertahan. Ada sesuatu yang berbeda, perasaan hangat yang sudah lama tak ia rasakan.
Waktu seolah berhenti saat Hana berkata, "Aku suka bermain piano. Musik adalah cara terbaik untuk mengekspresikan perasaan."
Kata-kata itu menusuk Ryan, ia tahu seperti apa rasanya melarikan diri dalam keheningan, mencari sesuatu yang dapat menyelamatkan dari kehampaan. Tapi meski ia tak bisa berpaling, kenyataan menghempas keras.
'Siapa aku?' pikirnya. Bagaimana ia bisa berharap mendekati seseorang seanggun Hana?
Hana adalah sosok yang bersinar terang, sementara dirinya hanyalah bayangan suram. Hanya mengaguminya dari jauh saja sudah cukup. Mendekat? Itu di luar batasnya.
'Jangan berharap terlalu tinggi,' bisiknya dalam hati. ‘Aku ini cuma serpihan yang tak berharga.'
Setiap kali Hana tersenyum atau bicara dengan teman sekelasnya, Ryan merasa dadanya sesak. Dia sadar, cintanya hanya akan berakhir di tempat yang sama, sebuah kekaguman yang tak pernah bisa ia ungkapkan. Baginya, Hana adalah segalanya, cahaya yang muncul di tengah hidupnya yang kelam. Tapi Ryan tahu, cahaya itu bukan untuknya.
Sampai Hana tak lebih dari sekadar bayangan yang ia kagumi dari sudut gelap kelas.
Hari demi hari, Ryan mencoba menghilang di antara teman-teman sekelasnya. Setiap kali melihat Hana, ada sesuatu di dadanya yang bergejolak, namun selalu ditenggelamkan oleh rasa minder yang dalam. Ia tak pernah berani menatap lebih lama dari beberapa detik. Baginya, itu sudah cukup, karena semakin lama ia melihat, semakin ia sadar betapa berbedanya mereka.
Suatu sore saat jam pelajaran hampir usai, Ryan tersentak mendengar suara lembut yang memanggil namanya. Ia mendongak dan melihat Hana berdiri di sebelah bangkunya. Senyum tipis terpancar dari wajahnya.
"Ryan, ya?" tanya Hana, seakan ingin memastikan.
Ryan hanya bisa mengangguk, masih tak percaya bahwa gadis itu benar-benar berdiri di sana, di sampingnya.
"Aku belum banyak kenal dengan orang di sini. Mungkin... kamu bisa tunjukkan beberapa tempat di sekitar sekolah?" tanyanya, nada suaranya polos.
Detik itu, Ryan seperti terjebak dalam kebingungan. Pikirannya campur aduk, takut, tapi juga antusias. Namun, ketakutan selalu lebih kuat. Bagaimana jika Rei dan Ivan tahu? Bagaimana jika mereka mengincar Hana?
"A-aku…" suaranya tercekat. Ryan tak berani menatap langsung ke mata Hana.
Melihat keraguan Ryan, Hana mengangkat alis sedikit. "Kalau tidak bisa, tidak apa-apa."
"Nggak… aku bisa," jawabnya cepat, suaranya lebih rendah dari yang ia maksudkan. Ryan menghela napas dalam, menyadari bahwa ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk bicara dengannya tanpa takut dihantui oleh hal-hal yang menekan batinnya.
Hana tersenyum lega. "Baiklah, setelah jam terakhir, ya?"
Begitu Hana kembali ke tempat duduknya, Ryan merasa dadanya hampir meledak. Sisa pelajaran berlalu tanpa benar-benar diserapnya. Yang ada di kepalanya hanyalah pertanyaan: apa yang harus dia lakukan, bagaimana harus bersikap?
Saat bel akhir berbunyi, Ryan menunggu di luar kelas, tangan dingin dan sedikit gemetar. Hana mendekat, membawa senyum hangat yang sejenak meluruhkan ketegangan Ryan.
"Kita mulai dari mana?" tanya Hana sambil melirik sekeliling.
Ryan mencoba mengumpulkan keberanian. "Mungkin… lapangan dulu?"
Mereka berjalan bersama menyusuri lorong sekolah yang sudah sepi. Di tengah perjalanan, Ryan sesekali mencuri pandang, mengamati wajah Hana yang terlihat damai dan penuh rasa ingin tahu. Tak ada rasa takut atau ragu dari gadis itu, sementara dirinya sendiri masih merasa seperti melangkah di atas pecahan kaca.
Begitu mereka tiba di lapangan, Hana berhenti sejenak, memandang hamparan kosong itu dengan penuh minat. "Tempatnya luas, ya? Pasti menyenangkan kalau diisi acara musik atau seni."
Ryan hanya mengangguk, bingung harus mengatakan apa. Hatinya masih bertanya-tanya, mengapa Hana memilih mengajaknya keliling. Apa yang gadis itu lihat dalam dirinya yang tak pernah ia sadari?
Ketika mereka akhirnya duduk di bangku pinggir lapangan, Hana memandang Ryan dengan pandangan yang lebih serius. "Kamu sering sendirian, ya?"
Ryan terkejut, tak menyangka Hana akan bertanya hal itu. Ia mengalihkan pandangan, mencoba menyembunyikan rasa malu.
"Iya… aku memang nggak punya banyak teman."
"Kamu baik," Hana tersenyum tipis. "Mungkin mereka saja yang belum melihatnya."
Kata-kata Hana terdengar sederhana, tapi bagi Ryan, kalimat itu seperti sebuah pukulan telak. Bagaimana mungkin seseorang seperti dia, yang bahkan sulit untuk memandang dirinya sendiri di cermin, dianggap baik oleh seseorang seperti Hana?
"Kenapa kamu bilang begitu?" Ryan akhirnya bertanya, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.
Hana menatapnya dengan lembut. "Hanya firasat."
Ryan tidak tahu harus merespons apa. Sesaat, ia ingin mengatakan segalanya, tentang Rei, tentang hidupnya yang selalu di bawah bayang-bayang. Tapi kata-kata itu tak keluar. Ia hanya bisa menelan rasa pahit yang sudah terlalu lama terpendam.
Ketika matahari mulai tenggelam, Hana berdiri dan mengucapkan terima kasih. "Aku senang kita bisa bicara. Mungkin lain kali, kita bisa berbagi lebih banyak lagi."
Ryan hanya bisa mengangguk, menyaksikan sosok Hana yang perlahan menjauh. Hati kecilnya tahu, momen seperti ini tak akan sering terjadi. Tapi setidaknya, untuk sesaat, ia merasa hidup kembali, meski hanya sejenak, di tengah hari-hari yang tak henti menghantamnya.
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂