Jika tak percaya adanya cinta pada pandangan pertama, Rayyan justru berbeda, karena semenjak melihat Mbak Tyas, dia sudah langsung menjatuhkan hati pada perempuan cantik itu.
Dan dia Rayyan Asgar Miller, yang jika sudah menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan cepat.
"Ngapain masih ngikutin? Kan tadi udah aku bayarin minumannya tah!?"
"Bayarannya kurang Mbak!" Rayyan menyengir lalu menunjukkan sebelah pipinya. "Kiss sepuluh kali dulu, baru aku anggap impas."
"Astaghfirullah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DB EMPAT BELAS
Tyas memukuli lengan Rayyan dengan lap dapurnya secara geram. Rayyan tertawa, sambil menepis pukulan istri galaknya.
Keduanya berlarian di dapur hanya karena sebuah ciuman tak direncana. "Liat, Fakhri masih kecil jadi liatin ulah kamu!"
"Ya Mbak Tyas sendiri ngapain diem?" Rayyan terkikik di atas murka Tyas. "Berarti Mbak suka kiss Rayyan kan?"
Ucapan frontal yang akhirnya mendapatkan lemparan wajan dari istrinya. "Bukan suka, itu karena shock tahu nggak!"
"Awh!"
Tyas menyesal sudah melempar wajan yang lebih besar bahkan berbahan stainless, sepertinya kepala Rayyan kesakitan hingga mengeluh meringis begitu.
"Sakit kah..." Cup!!
Baru saja Tyas bertanya peduli, Rayyan sudah membuatnya kesal lagi karena mencuri bibirnya kembali. "Rayyan!" Percuma Tyas berteriak, pemuda jail itu sudah keluar dari dapurnya.
Tyas mendesah, dia duduk di kursi meja makan dengan kesal, sungguh geram ia dengan suaminya. Dia merasa nasibnya semakin sial karena menikahi Rayyan.
Tak lama Rayyan pergi Tyas meraba dadanya, di mana degup jantungnya kian bertampiaran. Jujur, barusan ciuman pertamanya, tentu saja rasanya pun asing baginya.
Tyas memberengut, lalu kembali mengalihkan pandangan ke kotak nasinya. Ia melirik ke kiri, Rayyan sepertinya akan mulai mandi karena sudah membawa handuk.
"Mau lagi nggak, Yank?"
Bibir Tyas yang manyun rupanya membuat Rayyan tergoda. Akan tetapi, sambutan Tyas kali ini dengan mengangkat wajan besar yang membuat Rayyan segera masuk ke dalam kamar mandi sambil tertawa.
Tyas lantas melanjutkan pekerjaannya, acara tahlilannya dimulai selepas isya, jadi menu- menu sederhana yang masih setengah matang itu akan mulai Tyas matangkan sebelum dimasukkan ke dalam kotak.
Tyas tak masalah bekerja sendiri, karena masalah akan dimulai ketika Rayyan hadir di sekitarnya. Contohnya saat ini, ketika saja Rayyan keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk di pinggangnya.
Tyas mendelik, sempat menatap dada dan perut pemuda itu sebelum akhirnya membuang muka ke arah lain. "Kamu ngapain keluar kamar mandi cuma pake handuk?!"
Bukan Rayyan bila peduli, pemuda itu tak segan untuk mendekat bahkan menempelkan tubuh basahnya pada belakang tubuh Tyas.
"Perlu bantuan apa?" Rayyan berbisik menawarkan kembali bantuannya sedang Tyas menjawab dengan ketus. "Nggak perlu!"
Tyas berusaha tak bernapas agar wangi Rayyan tak tercium olehnya. Rayyan sempat mengecup telinga di balik khimar miliknya sebelum menjauh dan masuk kamar.
Rayyan sepertinya akan mengganti pakaiannya. Dan syukurlah, Tyas tak perlu mengatasi grogi dalam dirinya terlalu lama karena gelendotan pemuda tengil itu.
Setelah rapi, Rayyan kembali ke dapur untuk membantu pekerjaan istrinya, Dimas dan Fakhri juga ikut membantu karena mereka juga harus bergantian shalat Maghrib dan isya.
Kemudian saat Fakhri dan Dimas bergiliran shalat, Tyas tiba- tiba saja menyeletuk. "Tadi siang ke mana?" Kepada Rayyan yang duduk di kursi depannya.
Rayyan tersenyum kecil, sepertinya Tyas mulai ada kemajuan, sebab gadis yang acuh ini sudah mulai ingin tahu ke mana dirinya.
"Hotel yang di perempatan jalan itu. Guntur sama Aul mau balik ke Jogja malam ini, makanya tadi aku ke sana," jawabnya.
Tyas sedikit merespon dengan kata oh yang dibuat datar. Berusaha acuh, tapi Rayyan tahu betul jika inilah ekspresi ketika wanita lega.
Rayyan memiliki ibu dan satu kakak perempuan, jelas Rayyan bisa mengamati kaum lembut yang kebanyakan drama ini.
"Kenapa?" Rayyan memiringkan kepalanya hanya untuk menatap intens wanita itu. Hal yang tentunya membuat Tyas salah tingkah dan menggetok hidungnya dengan sendok.
Rayyan terkikik pelan. "Kamu takut aku main cewek di luar hmm?" tanyanya.
Tyas gantian tertawa remeh. "Sekalipun itu terjadi, aku nggak peduli Rayyan. Monggo silahkan kalo kamu mau main cewek."
"Patah heart!" Rayyan mencebikkan bibirnya dengan dua tangan yang bersatu untuk membentuk love dan dipatahkan kemudian.
"Jangan terlalu membenci, Tyas, Tuhan itu maha membolak- balikkan hati manusia, awas loh, takut nyungsep kalau seandainya nanti kamu jatuh cinta sama Rayyan!"
"Lucu sekali," senyum datar Tyas.
Rayyan tersenyum manis. "Kamu yang lucu Sayang ... senyumnya manis, cantik, dan hebatnya lagi, semenjak aku ketemu kamu, sumpah ... aku nggak bisa berpikir buat ninggalin kamu!" ucapnya.
Siapa wanita yang tak merona ketika pemuda tampan merayunya? Bahkan, seorang Tyas yang mengaku tak menyukai Rayyan saja harus membiarkan pipinya kian memerah.
"Ciye, blushing!" Rayyan menggoda sambil tertawa cekikikan. Tyas tak merespon karena sudah malas meladeninya.
...°^\=~•∆•∆•~\=^°...
Seminggu setelah kepulangan Ridwan, Tyas bersiap untuk mengantar Dimas ke pesantren Darul Muttaqien.
Sesuai rencana, Rayyan juga ikut mengantar Dimas dan Fakhri sebelum nantinya, Tyas akan langsung diboyong ke Jogja.
Dari rumah Tyas ke pondok tak lama jika berkendara dengan taksi. Keempatnya pun turun dari kendaraan roda empat itu setelah Rayyan membayarnya.
Bagi Tyas dan Dimas, masih menjadi misteri kenapa seolah uang Rayyan tak ada habis- habisnya. Tapi meski demikian, keduanya tak ada yang berani menanyakannya langsung.
Dimas tampak antusias, terlebih Tyas yang juga begitu sumringah. Ini suasana pondok yang dari tahun ke tahun tak berubah.
Pesantren yang pernah Tyas tinggali selama tiga tahun masa kecilnya. Ketika almarhum Ridwan masih mencari nafkah dengan gagah.
Karena ini pesantren milik buyut Rayyan, maka Rayyan tak berani masuk. Rayyan izin untuk menepi membiarkan Tyas masuk sendiri bersama Dimas.
Ada beberapa pengurus yang akhirnya membawa Dimas dan Fakhri. Sedang Tyas diajak bicara oleh ustadzah dari pesantren itu.
Rayyan kenal siapa perempuan itu, tentu saja Halwa yaitu anak ke dua dari Om Gus Emyr dan Tante Khaira yang itu berarti ustadzah tersebut masih sepupu Rayyan.
Itulah yang menjadi alasan kenapa Rayyan hanya menjaga istrinya dari kejauhan, dia tak mau keluarganya tahu jika dia sedang berada di lingkungan pesantren ini.
Rayyan cukup tenang melihat percakapan Tyas dan Ning Halwa, sebelum ada satu pria dewasa yang juga ikut mendatangi Tyas dan Ning Halwa di koridor sana.
Gus Ikash, nama sepupu tampannya, seorang ustadz yang mengurus pesantren ini. Rayyan tak masalah sebenarnya dengan apa pun, tapi melihat senyuman Gus Ikash pada Tyas membuat Rayyan peka.
Ngomong- ngomong, Gus dingin yang tak pernah tersenyum pada siapa pun itu, sejak kapan bisa seramah itu pada perempuan?
Yah, dan kenapa harus pada Tyas? Rayyan berdecak lidah, dia mematikan rokok miliknya kemudian menyatroni ketiganya.
Namun sepertinya, Ning Halwa sudah akan membawa Tyas ke ruangannya. Sementara Gus Ikash masih saja tersenyum sambil menatap punggung Tyas.
"Ehm, Mas Gus!" tegur Rayyan.
Dilkash namanya, biasa Rayyan panggil Mas Gus Ikash sedari ia masih kecil. Dilkash yang menoleh, pria itu segera membelalak karena kaget akan keberadaan Rayyan.
"Kamu di sini, Yan?"
Rayyan menyela. "Ngapain Mas Gus ngeliatin tuh cewek? Bukannya haram menatap wanita yang bukan mahramnya?" tegurnya kemudian.
Dilkash tertawa. "Astaghfirullah ... Mas khilaf kalo sudah melihat wanita calon penghuni surga, Yan."
"Dosa, Mas Gus!" Rayyan kembali mengingatkan sepupunya.
"Weeh, jagoan Om!" Pria tampan yang sudah kepala lima itu Emyr. Suami dari Tante Khaira, yaitu Kakak perempuan ayah Rayyan.
"Tumben ke sini?" Emyr mengusap punggung keponakannya. "Biasanya nggak mau datang ke sini!" tambahnya.
Rayyan diam jutek saja, masih kesal dengan Dilkash yang tiba- tiba memperhatikan Mbak Tyas istrinya. Emyr merayu Rayyan agar masuk ke dalam, karena Abah Zainy harus melihat cucu buyutnya yang bandel ini.
Di sela langkah mereka, Emyr kemudian memperhatikan gelagat aneh putra sulungnya yang tidak biasanya. "Kamu ngapain senyum senyum begitu Gus?!" tanyanya menyelidik.
"Abi ... Barusan Ikash liat Tyas, Bi." Dilkash anak yang dekat dengan ayahnya, tentu saja Dilkash tak segan bercerita perihal apa pun pada lelaki itu.
Emyr mengingat- ingat. "Tyas, Tyas anaknya Pak Ridwan yang dulu dititipin di sini?"
"Iya," angguk Dilkash.
"Masha Allah, Gus?" Emyr tersenyum, itu seperti isyarat kebahagiaannya sebagai seorang ayah yang menginginkan menantu.
Rayyan yang peka, segera menyela percakapan anak dan bapak itu. "Tunggu- tunggu, kalian ngomongin siapa? Ada apa ini hah?"
"Anak kecil nggak perlu tahu!" Dilkash tertawa karena menganggap Rayyan masih kecil.
"Om Gus!" Rayyan lalu bertanya pada Emyr yang akhirnya berkata jujur sambil merangkul pundaknya. "Mas Gus mu itu, sudah mulai minta melamar cewek," katanya.
"Siapa?" Rayyan curiga, bahkan sudah mulai merinding saking horornya. "Cewek yang tadi Mas Gus bicarain itu, Mbak Tyas?"
"Kamu liat orangnya?" tanya Emyr.
Rayyan mendelik, bagaimana bisa istri seorang Rayyan akan dilamar oleh Abang sepupunya sendiri? "Haram, Om Gus!"
itu kata om opik
itu juga yg ak alami
skrg tertawa
bebrapayjam lagi cemberut
lalu g Lma pasti nangis