Denis Agata Mahendra, seorang bocah laki-laki yang harus rela meninggalkan kediamannya yang mewah. Pergi mengasingkan diri, untuk menghindari orang-orang yang ingin mencelakainya.
Oleh karena sebuah kecelakaan yang menyebabkan kematian sang ayah, ia tinggal bersama asisten ayahnya dan bersembunyi hingga dewasa. Menjadi orang biasa untuk menyelidiki tragedi yang menimpanya saat kecil dulu.
Tanpa terduga dia bertemu takdir aneh, seorang gadis cantik memintanya untuk menikah hari itu juga. Menggantikan calon suaminya yang menghamili wanita lain. Takdir lainnya adalah, laki-laki itu sepupu Denis sendiri.
Bagaimana kisah mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pindah Rumah
Satu Minggu sudah berlalu, dua insan yang dulu janji bertemu kini tengah berdiri di depan gedung pencatatan pernikahan. Di tangan mereka menggenggam sebuah buku kecil berupa akta nikah. Sebagai tanda bahwa pernikahan mereka sah dan diakui negara.
Denis memandangi buku kecil di tangannya, tersenyum tipis serasa hanya mimpi belaka. Pernikahan kilat yang begitu cepat tanpa rencana.
"Kau simpan baik-baik buku itu, jangan sampai hilang. Aku simpan yang ini," ucap Larisa seraya menyimpan buku kecil di tangannya ke dalam tas.
Denis mengernyit, melihat kebahagiaan di wajah gadis itu.
"Kau terlihat bahagia!" tanya Denis ragu. Entah apakah perasaannya benar atau salah, tapi senyum di wajah itu benar-benar sempurna.
"Tentu saja ... tunggu dulu! Kau tidak mengenakan masker lagi? Kenapa aku baru menyadarinya?" Larisa menggaruk kepala saat sadar bahwa Denis tak memakai penutup wajah lagi.
"Ada apa? Kau tidak suka? Aku akan memakainya lagi," ucap Denis yang segera merogoh saku berpura-pura mengambil masker, padahal dia tidak membawanya.
"Eh, tunggu! Jangan, aku lebih suka kau seperti ini. Kau terlihat tampan jika percaya diri begini," sergah Larisa mencegah tangan Denis mengambil masker.
Denis mengangguk, hanya senyum tipis yang ia ulas. Matanya melirik tangan Larisa yang memegangi tangannya. Gadis itu tersipu, sontak melepas pegangan dan tersenyum malu. Denis menatapnya lama dan dalam, menciptakan rona di pipi Larisa semakin merekah.
"Ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Larisa sembari memegangi kedua pipinya yang menghangat.
Denis tersenyum tanpa memalingkan tatapan dari wajah lugu Larisa yang nampak manis.
"Apa pernikahan kita ini sah? Kemarin walimu saja tidak hadir," tanya Denis sedikit cemas pernikahan yang mereka jalani tidak sah meski diakui.
Larisa mengernyit, melepas kedua tangan dari pipi, menatap aneh pada Denis.
"Tentu saja. Apa kau tidak mendengarnya kemarin? Ayahku setuju menjadi wali hanya jika aku membayarnya sebanyak dua puluh juta." Larisa mengangkat dua jari tangannya ke hadapan wajah Denis.
Benar, kemarin saat Larisa menelepon meminta ayahnya untuk menjadi wali, laki-laki itu meminta uang imbalan sebanyak dua puluh juta.
"Lalu, kenapa kau setuju?" selidik Denis penasaran. Bisa saja Larisa menolak, dan membatalkan pernikahan. Mereka tidak saling mengenal satu sama lain.
"Kenapa lagi? Jika aku tidak menikah hari itu juga, maka mereka akan terus memaksaku untuk menikah dengan bajingan itu. Siapa yang sudi menikah dengan laki-laki yang menghamili wanita lain. Kadang aku pun berpikir, apakah mereka benar-benar orang tuaku?" Larisa melipat kedua tangan di perut dengan wajah memberengut.
Denis mengangkat alis, apapun alasannya dia tidak peduli. Menikah dengan gadis asing itu merupakan petualangan baru baginya.
"Tapi kau tenang saja. Aku menikah denganmu bukan untuk main-main. Seiring berjalannya waktu, kita pasti bisa saling menerima satu sama lain. Aku tidak akan pernah mengkhianatimu, begitu pun denganmu. Jangan pernah mengkhianati pernikahan ini meskipun kau tak mencintaiku. Jika kau bosan dan tidak ingin melanjutkan kau ...."
Denis mengangkat alis sebelum akhirnya membekap mulut gadis itu. Menghentikannya meracau, mengoceh apa saja yang dia suka.
"Kenapa? Apa kau tidak menyetujuinya?" tanya Larisa setelah Denis melepaskan tangannya.
"Tidak. Kurasa tidak ada salahnya mencoba," tanggap Denis sambil tersenyum.
Larisa menghentak udara, lega mendengar jawaban dari laki-laki itu. Dia memiliki alasan untuk menolak permintaan keluarganya soal menikah dengan Raditya.
"Ayo, kita ke rumahmu. Ambil barang-barang mu dan pindah ke rumahku," ajak Larisa tanpa segan menggandeng tangan Denis untuk segera pergi dari sana.
Dengan menaiki sepeda listrik miliknya, Larisa meminta Denis menunjukkan jalan tempatnya tinggal. Beruntung, Haris begitu cepat mendapatkan rumah sewa yang sesuai keinginannya.
"Kita naik ini?" tanya Denis menunjuk sepeda listrik Larisa dengan ragu.
Gadis itu mengangguk yakin dan berkata, "Kau tidak perlu khawatir aku sudah handal dalam mengemudikan benda ini. Sini, biar aku pakaikan helm."
Denis mendekat, Larisa memakaikan benda bulat tersebut ke atas kepalanya. Beberapa saat jarak mereka begitu dekat hingga Denis dapat merasakan hembusan nafasnya yang hangat. Ia meneguk saliva kepayahan, sesuatu dalam dirinya tergerak. Entah apa.
"Sudah. Ayo! Jika takut kau pegang saja pinggangku," ucap Larisa bersiap menjalankan roda dua miliknya itu.
Denis tersentak, tubuhnya terlempar ke belakang , cepat dia memeluk pinggang Larisa secara refleks. Dia tidak terbiasa menaiki benda itu. Sedikit takut, khawatir terjatuh. Namun, gadis di depannya, tetap tenang mengemudi.
Mereka tiba di sebuah gedung bertingkat. Rumah susun yang sedikit kumuh, dan tak terawat. Banyak sampah berserakan, tapi banyak pula anak-anak bermain di sana.
"Apa kau tinggal di sini?" tanya Larisa menatap iba pada Denis, kemudian melilau ke segala penjuru rumah susun tersebut.
Denis melirik Larisa yang tertegun membeku di dekat sepeda listriknya.
"Iya, ada apa? Apa kau tak ingin masuk ke dalam? Jika begitu, tunggu saja di sini," sahut Denis seraya berjalan hendak menaiki anak tangga.
"Eh, tunggu! Aku ikut." Larisa mengekor, berjalan di belakang Denis sembari memegangi kemeja laki-laki itu.
Rumah Denis ada di lantai tiga, paling pojok sendiri. Paling bersih dari yang lainnya. Tak ada sampah, tak ada kotoran apapun sekali pun itu hanya jejak kaki.
"Ayo, masuk!" Denis membuka pintu lebar, di sana sudah teronggok sebuah koper berukuran sedang yang tak pernah ia buka sejak datang ke tempat itu karena memang tak pernah ia tinggali.
"Rumahmu bersih, kau pasti rajin membersihkannya." Larisa menilai, berjalan melihat-lihat.
"Ah, tidak juga. Aku akan meninggalkan rumah ini sekarang juga, rasanya tidak enak jika pergi meninggalkan rumah yang kotor. Ayo! Aku akan memberikan kunci rumah ini kepada pengelola," ucap Denis seraya menarik kopernya keluar diikuti Larisa.
Gadis itu menunggu di parkiran, memperhatikan Denis di kejauhan yang sedang menyerahkan kunci rumah. Laki-laki itu berjalan sembari memasukkan kedua tangan ke dalam saku. Dia tampak gagah, dan tampan meski bekas luka masih terlihat.
Larisa terpesona, sekejap saja dia tak percaya bahwa laki-laki gagah itu adalah suaminya.
Dia tidak terlihat biasa saja, seperti seorang CEO di drama-drama.
Larisa terkekeh dengan pemikirannya sendiri. Mana mungkin dia menikahi seorang CEO. Jelas-jelas waktu itu dia menikahi seorang pelayan.
"Kenapa kau tertawa? Ada yang lucu?" tegur Denis membuat Larisa menghentikan pemikirannya.
"Tidak ada. Ayo!"
Mereka pun pergi menuju sebuah gedung apartemen yang tak asing bagi Denis. Apartemen miliknya, di mana dia tinggal di lantai puncak gedung tersebut.
"Kau tinggal di sini? Lantai berapa?" tanya Denis tak habis pikir. Hatinya bertanya kenapa selama ini dia tidak pernah melihat Larisa.
"Di lantai tujuh. Aku membelinya dengan cara mencicil. Tidak besar, tapi ada dua kamar di dalamnya. Kau tidak perlu cemas," jawab Larisa seraya berjalan menuju lift untuk tiba di lantai tempat tinggalnya.
Oh, pantas. Lift yang berbeda. Hati Denis bergumam.
Tentu saja, lift yang dia gunakan adalah lift khusus untuk pemilik.
Tidak kusangka, dia tinggal di tempat yang sama denganku. Ya Tuhan, inikah yang dinamakan takdir?
gk mau Kalah Sam Denis ya....
Yg habis belah durian......