Felicia, seorang mahasiswi yang terjebak dalam hutang keluarganya, dipaksa bekerja untuk Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam, sebagai jaminan pembayaran utang. Seiring waktu, Felicia mulai melihat sisi manusiawi Pak Rangga, dan perasaan antara kebencian dan kasih sayang mulai tumbuh di dalam dirinya.
Terjebak dalam dilema moral, Felicia akhirnya memilih untuk menikah dengan Pak Rangga demi melindungi keluarganya. Pernikahan ini bukan hanya tentang menyelesaikan masalah utang, tetapi juga pengorbanan besar untuk kebebasan. Meskipun kehidupannya berubah, Felicia bertekad untuk mengungkapkan kejahatan Pak Rangga dan mencari kebebasan sejati, sambil membangun hubungan yang lebih baik dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Rahasia di Balik Senyum
Mentari pagi kembali menyapa Kota Bandung, kali ini dengan langit yang lebih cerah. Lusi, dengan semangat yang membuncah, bangun lebih pagi dari biasanya.
Hari ini adalah hari yang spesial baginya; presentasi proyek desain interior pertamanya di kampus. Ia telah menghabiskan berminggu-minggu untuk mengerjakannya, merancang desain kafe bernuansa modern minimalis dengan sentuhan tradisional Sunda yang unik. Ia yakin proyek ini akan menjadi batu loncatan menuju kesuksesannya sebagai desainer interior.
Setelah mandi dan berpakaian rapi, Lusi turun ke lantai bawah. Ibu Ani sudah menyiapkan sarapan—nasi uduk dengan lauk pauk lengkap—hidangan favorit Lusi. Aroma wangi rempah-rempah memenuhi ruangan, menambah semangat Lusi. Pak Budi, seperti biasanya, sudah duduk di meja makan, menikmati secangkir kopi hitam pahit.
"Pagi, Papa! Pagi, Mama!" sapa Lusi ceria, mencium pipi kedua orangtuanya.
"Pagi, sayang," jawab Ibu Ani, tersenyum hangat.
"Sarapan sudah siap. Jangan lupa makan banyak, nanti lemas kalau presentasi."
"Iya, Ma," jawab Lusi, sambil mengambil tempat duduk di meja makan.
Ia menikmati sarapannya dengan lahap, sesekali bercerita tentang desain kafe yang akan dipresentasikannya. Ibu Ani mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan pujian dan semangat.
Namun, Pak Budi hanya mendengarkan dengan setengah hati. Ia tampak gelisah, sesekali melirik jam tangannya. Wajahnya terlihat tegang, berbeda dari biasanya. Lusi memperhatikan ayahnya, sedikit khawatir.
"Papa, kau kenapa, sih? Dari tadi terlihat gelisah sekali," tanya Lusi, suaranya lembut.
Pak Budi meletakkan sendoknya, mencoba untuk tersenyum. "Tidak apa-apa, sayang. Hanya sedikit lelah saja." Ia berusaha untuk menyembunyikan kekhawatirannya, namun Lusi tetap curiga.
Setelah sarapan, Lusi bergegas ke kampus. Ia bertemu dengan teman-temannya, Rina dan Dinda, yang juga sedang mempersiapkan presentasi proyek mereka. Mereka bertiga berbagi cerita dan saling menyemangati. Lusi bercerita tentang desain kafenya, mendapatkan pujian dari kedua temannya. Ia merasa lebih percaya diri.
Sepanjang hari, Lusi fokus pada presentasinya. Ia berlatih di depan cermin, mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan dosen. Ia merasa sedikit tegang, namun juga sangat bersemangat. Ia ingin memberikan yang terbaik.
Sore harinya, Lusi kembali ke rumah. Ia merasa lelah, namun juga puas karena presentasinya berjalan lancar. Ia mendapatkan pujian dari dosen dan teman-temannya. Ia bercerita kepada Ibu Ani tentang presentasinya, mendapatkan pelukan hangat dari ibunya.
Namun, Pak Budi masih terlihat gelisah. Ia duduk di ruang tamu, melihat-lihat beberapa dokumen penting. Wajahnya terlihat semakin tegang. Lusi kembali khawatir.
"Papa, ada apa sebenarnya? Kau bisa cerita padaku," tanya Lusi, suaranya lembut. Ia duduk di samping ayahnya, mencoba untuk menenangkannya.
Pak Budi menghela napas panjang. Ia menatap Lusi dengan mata berkaca-kaca. "Sayang, Papa… Papa sedang mengalami kesulitan keuangan." Ia akhirnya mengakui masalah yang selama ini disembunyikannya.
Lusi tertegun. Ia tidak menyangka ayahnya sedang mengalami masalah sebesar ini. Ia selalu melihat ayahnya sebagai sosok yang sukses dan tangguh. Ia bertanya-tanya bagaimana masalah ini bisa terjadi.
Pak Budi menjelaskan bahwa bisnis ekspor impornya mengalami kerugian besar. Ia telah berusaha untuk mengatasi masalah ini, namun semuanya sia-sia. Ia merasa sangat terbebani dan putus asa. Ia takut masalah ini akan berdampak buruk pada keluarganya.
Lusi mendengarkan dengan sabar. Ia mencoba untuk menenangkan ayahnya. Ia mengatakan bahwa mereka akan menghadapi masalah ini bersama-sama. Ia memeluk ayahnya, memberikan dukungan dan semangat.
"Jangan khawatir, Pa. Kita akan menghadapi ini bersama-sama. Kita akan mencari solusi terbaik," kata Lusi, suaranya penuh keyakinan. Ia merasa harus menjadi lebih kuat untuk keluarganya.
Mimpi-mimpinya sebagai desainer interior tetap ada, namun kini ia juga harus memikirkan bagaimana cara membantu keluarganya keluar dari kesulitan keuangan yang sedang mereka hadapi.
Kehangatan keluarga yang selalu ia rasakan kini dibayangi oleh kekhawatiran akan masa depan. Senyum dan canda tawa yang selalu menghiasi hari-harinya kini sedikit tergantikan oleh beban tanggung jawab yang baru saja ia sadari. Ia bertekad untuk tetap tegar, untuk tetap berjuang demi keluarganya, demi mempertahankan kebahagiaan yang selama ini mereka jaga bersama.