sinopsis Amelia, seorang dokter muda yang penuh semangat, terjebak dalam konspirasi gelap di dunia medis. Amelia berjuang untuk mengungkap kebenaran, melindungi pasien-pasiennya, dan mengalahkan kekuatan korup di balik industri medis. Amelia bertekad untuk membawa keadilan, meskipun risiko yang dihadapinya semakin besar. Namun, ia harus memilih antara melawan sistem atau melanjutkan hidupnya sebagai simbol keberanian dalam dunia yang gelap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurul natasya syafika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang-Bayang dari Masa Lalu - Bahagian 2: Kegelapan yang Muncul
Ruangan terapi sore itu terasa penuh dengan ketegangan yang hampir bisa dipotong dengan pisau. Udara di sekitar Amelia dan Rafi terasa tebal, seolah setiap kata yang akan diucapkan bisa memicu ledakan perasaan yang lebih dalam.
Rafi duduk di kursi, membelakangi jendela besar, tubuhnya membungkuk seperti berusaha menyembunyikan dirinya dari dunia luar yang terasa begitu menekan.
Ada rasa cemas yang mengalir dalam setiap gerakan tubuhnya, setiap detik yang berlalu, dan bahkan dalam hembusan napasnya yang tergesa-gesa.
Matanya menghindari tatapan Amelia, seolah takut bahwa dengan satu pandangan pun, dia akan terbuka, mengungkapkan segala sesuatu yang disembunyikan begitu lama.
Tangannya menggenggam erat lengan kursi, seolah takut jika ia melepaskannya, ia akan jatuh ke dalam jurang ketidakpastian.
Amelia duduk di seberang Rafi, memandanginya dengan hati-hati. Setiap kali ia berniat untuk memulai percakapan, perasaan khawatir dan empati menghalangi setiap kata yang hendak keluar.
Namun, dia tahu harus melakukan sesuatu. Keheningan yang terperangkap di antara mereka hanya memperburuk kondisi Rafi. Seolah-olah, semakin diam, semakin dalam beban yang harus dipikul oleh pria muda ini.
Akhirnya, Amelia mencoba untuk membuka percakapan dengan nada yang lembut namun tegas, “Rafi, saya ingin membicarakan tentang apa yang Anda katakan kemarin.” Suaranya pelan, tetapi penuh perhatian, berharap bisa menciptakan suasana yang aman. “Anda bilang Anda merasa diawasi. Bisa ceritakan lebih banyak tentang perasaan itu?”
Rafi menggelengkan kepalanya pelan, begitu pelan seolah-olah menghindari kata-kata yang hampir terucap. “Saya tidak bisa,” jawabnya, suaranya gemetar, nyaris tak terdengar, seakan-akan berbicara dengan ketakutan yang sangat mendalam. “Kalau saya bicara, mereka akan tahu. Mereka selalu tahu.”
Amelia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, wajahnya menunjukkan perhatian yang sangat dalam. “Rafi, siapa yang Anda maksud dengan ‘mereka’? Apa Anda merasa ancaman itu masih ada di sekitar Anda sekarang?” Tanya Amelia, mencoba untuk menggali lebih dalam tanpa membuat pasiennya merasa terpojok.
Rafi memejamkan matanya rapat-rapat, menarik napas pendek-pendek, mencoba mengumpulkan keberanian. “Saya tidak tahu,” katanya, suara itu hampir terdengar hilang dalam ketegangan yang menggelayuti ruangan.
“Tapi saya merasa mereka ada di mana-mana. Setiap malam, saya mendengar suara-suara. Pintu rumah saya seperti diketuk seseorang. Tapi saat saya cek, tidak ada siapa pun. Dan di rumah sakit ini…”
Rafi berhenti, menatap kosong ke lantai, seolah-olah memikirkan kata-kata yang harus dia pilih. “Saya merasa lebih aman di sini, tapi itu tidak berarti mereka tidak bisa menemukan saya.”
Amelia menghela napas pelan, menyadari bahwa kondisi Rafi jauh lebih rumit dari yang ia kira. Gejala yang ia tunjukkan sangat mencerminkan gangguan stres pasca-trauma atau PTSD, tetapi ada nuansa yang lebih mengkhawatirkan.
Kecemasan yang melanda Rafi bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga tentang ancaman yang terus mengintai, ancaman yang bahkan Rafi tidak bisa jelaskan dengan jelas.
Amelia menatapnya dengan empati. “Kita tidak akan membiarkan apa pun atau siapa pun menyakiti Anda di sini,” katanya dengan suara tegas namun lembut, mencoba memberikan rasa aman. “Saya dan tim saya ada di sini untuk melindungi Anda. Tapi untuk membantu Anda, Rafi, saya perlu tahu lebih banyak tentang apa yang Anda alami. Tentang apa yang sebenarnya terjadi.”
Rafi membuka matanya perlahan, tetapi tetap menghindari kontak langsung dengan Amelia. Wajahnya tampak lelah, penuh ketakutan dan kebingungan. “Saya tidak bisa,” katanya hampir berbisik, seolah suara itu keluar dengan sangat berat. “Saya tidak bisa membawa Anda ke dalam ini.”
Amelia merasakan frustrasi bercampur kepedihan yang begitu dalam. Ia tahu bahwa Rafi membutuhkan bantuan yang lebih mendalam, dan ia tahu bahwa ia tidak bisa melakukannya sendirian.
Rafi masih terlalu takut, terlalu terkekang oleh kegelapan masa lalu yang tampaknya tak akan pernah pergi. Setelah sesi berakhir, Amelia memutuskan untuk menghubungi Dr. Arif, seorang psikolog klinis yang sangat berpengalaman dalam menangani kasus trauma berat.
Keesokan paginya, Dr. Arif tiba di rumah sakit. Seorang pria berusia 50-an dengan suara tenang dan pendekatan penuh empati, ia segera mendengarkan cerita Amelia tentang Rafi dengan seksama. Dr. Arif mencatat dengan hati-hati setiap detail yang Amelia sebutkan tentang kondisi Rafi.
“Saya pikir kita bisa mencoba terapi EMDR untuknya,” kata Dr. Arif sambil membuka catatan di laptopnya. “Ini bisa membantu dia mengolah ingatan traumatisnya tanpa harus menceritakan semuanya secara langsung. Tapi ini membutuhkan kesediaannya untuk mencoba.”
Amelia mengangguk pelan, merenung. “Rafi adalah kasus yang sulit,” jawabnya. “Dia bahkan merasa berbicara tentang masa lalunya akan membahayakan nyawanya. Saya khawatir jika kita memaksanya terlalu cepat, dia malah akan menutup diri sepenuhnya.”
“Kita lakukan perlahan,” kata Dr. Arif dengan nada yakin. “Dengan pendekatan yang hati-hati dan penuh pengertian, saya rasa kita bisa membantunya. Tapi kita harus siap menghadapi segala kemungkinan.”
Namun, sesi pertama EMDR dengan Rafi berjalan sangat sulit. Ketika Dr. Arif mulai meminta Rafi untuk memusatkan perhatian pada salah satu ingatan traumatisnya sambil mengikuti gerakan tangan yang berulang, sesuatu yang tak terduga terjadi. Rafi tiba-tiba berhenti, berdiri dari kursinya dengan ekspresi panik yang sangat jelas di wajahnya.
“Tidak!” seru Rafi dengan suara yang penuh teriakan ketakutan. “Saya tidak bisa melakukan ini. Kalau saya mengingatnya, mereka akan datang. Mereka akan tahu saya mencoba melawan!”
Amelia segera menghampiri Rafi, mencoba menenangkan pasiennya yang hampir kehilangan kendali. “Rafi, tenang. Anda aman di sini. Tidak ada yang bisa menyakiti Anda. Saya dan Dr. Arif ada di sini untuk membantu Anda.” Ia berbicara dengan penuh ketenangan, berusaha mengembalikan kendali dalam diri Rafi.
Namun, Rafi hanya menggelengkan kepalanya dengan keras, keringat dingin mengalir di dahinya. “Tidak ada yang bisa membantu saya. Mereka akan menghancurkan saya.”
Kondisi Rafi semakin memburuk, dan Amelia merasakan betapa rapuhnya pria muda ini. Ketakutannya telah melampaui batas, dan Amelia merasa terjebak dalam dilema besar.
Apa yang bisa ia lakukan untuk membantu Rafi tanpa memaksanya terlalu keras? Rafi telah menunjukkan gejala trauma yang sangat dalam, dan ia merasa terperangkap dalam perasaan yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Amelia memutuskan untuk memperlambat pendekatan mereka, berfokus pada memberikan rasa aman kepada Rafi terlebih dahulu.
Sementara itu, di luar sesi terapi, Amelia juga harus menghadapi tekanan yang datang dari pihak rumah sakit. Seorang perwakilan dari perusahaan farmasi mendatangi Amelia di kantornya, dengan senyum yang tidak menyenangkan.
“Dr. Amelia, kami melihat bahwa Anda belum merekomendasikan obat terbaru kami untuk pasien dengan gangguan kecemasan berat. Obat ini terbukti dapat mengurangi gejala dalam waktu yang sangat singkat,” kata perwakilan tersebut dengan nada yang terkesan persuasif.
Amelia melipat tangannya, menatap perwakilan tersebut dengan serius. “Saya tahu obat ini, tapi pasien saya membutuhkan pendekatan jangka panjang. Gangguan mereka lebih kompleks daripada sekadar gejala kecemasan yang bisa diatasi dengan obat-obatan,” jawabnya dengan tenang namun penuh keyakinan.
“Kami hanya ingin mengingatkan Anda,” kata perwakilan itu dengan senyum yang tetap terjaga. “Bahwa pendekatan ini didukung oleh kebijakan rumah sakit.”
Amelia merasakan tekanan itu semakin membebani pikirannya. Ia tahu bahwa memilih jalur etis dalam menangani kasus seperti Rafi berarti melawan kebijakan yang lebih mengutamakan solusi instan daripada pendekatan yang lebih mendalam dan berkelanjutan.
Namun, ia tidak bisa membiarkan pasien seperti Rafi menjadi korban dari kebijakan yang tidak memperhatikan kebutuhan emosional dan psikologis mereka.
Pada malam hari, Amelia merasa khawatir akan kondisi Rafi. Ia memutuskan untuk mengecek keadaan pasiennya. Ketika ia tiba di kamar pasien, ia menemukan pintu terkunci dari dalam.
Setelah mengetuk beberapa kali tanpa respons, Amelia meminta bantuan perawat untuk membuka pintu.
Ketika pintu terbuka, ruangan itu kosong. Tempat tidur Rafi berantakan, tirai di jendela berkibar pelan akibat angin malam yang masuk melalui jendela yang setengah terbuka. Di lantai, Amelia menemukan jejak sepatu yang mengarah ke pintu darurat.
“Rafi?” panggil Amelia dengan suara cemas. Tidak ada jawaban.
Amelia segera berlari keluar dari ruangan, mengikuti jejak yang mengarah ke pintu darurat. Saat tiba di sana, pintu sudah terbuka lebar, dan udara malam yang dingin menyambutnya dengan hening. “Rafi? Di mana kamu? Kenapa kamu pergi?” panggil Amelia lagi, namun yang terdengar hanya keheningan. Suasana menjadi sangat mencekam.
Amelia merasakan dadanya sesak oleh kecemasan yang semakin meluas. Apakah Rafi melarikan diri? Atau apakah ada seseorang yang membawanya pergi? Keadaan ini terasa sangat tidak biasa, seperti sebuah rencana yang sudah disusun jauh sebelumnya.
Amelia segera menghubungi tim keamanan rumah sakit dengan nada tegas, “Pasien saya menghilang,” katanya. “Segera periksa rekaman CCTV di sekitar pintu darurat.”
Dalam hatinya, Amelia tahu bahwa ini bukan sekadar pelarian biasa. Kegelapan dari masa lalu Rafi tampaknya benar-benar telah menyusulnya, menghantui setiap langkahnya, dan Amelia sadar bahwa ia harus bergegas sebelum sesuatu yang buruk terjadi pada pasiennya.