Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 6 ~ Mau Coba
“Mbak Dara,” ujar Reni lirih.
Pandu mendapatkan pukulan telak di wajahnya, tentu saja Dara yang melakukan. Tubuh pria itu tidak bergeser sedikitpun karena pukulan Dara, selain dalam kondisi siap juga terlatih karena ilmu bela diri yang dia miliki. Yah, meskipun hidungnya sedikit mengeluarkan darah.
Dara mengibaskan tangannya, sambil mendesis pelan. Justru tangannya yang merasakan sakit. Tiga orang petugas lainnya termasuk Reni, langsung panik.
“Tuan, hidungnya berdarah.”
Reni segera menyodorkan kotak tisu ke hadapan Pandu yang hanya menatap datar pada Dara. Tangannya mengambil dua helai tisu dan mengusap hidungnya.
“Mbak Dara, gimana ini,” bisik Reni.
Pandu menghempas tangan petugas yang mengarahkannya untuk duduk. Sempat mengumpat dan terus menatap wajah Dara, apalagi gadis itu terlihat tidak takut apalagi menyesal akan apa yang sudah dilakukannya.
“Mbak.”
“Diam, ini awalnya karena kamu,” sahut Dara lirih.
“Kalian Keluar!” teriak Pandu. “Dan kamu, kita bertemu lagi nanti,” tunjuk Pandu.
“Kenapa harus nanti, kita selesaikan sekarang. Bukan sepenuhnya salah saya, anda sendiri yang memancing emosi dan ….”
“Mbak Dara, udah. Ayo, keluar.” Reni menarik paksa Dara dari kamar itu dan segera menutup pintunya.
“Waduh Mbak, nggak bahaya tah. Hidungnya berdarah loh,” ujar salah satu petugas.
Dara menggaruk kepala dan mengusap wajahnya seakan baru menyadari apa yang dia lakukan. Jelas pria itu bukan pria biasa, entah anak pejabat mana atau pengusaha bahkan sultan dari daerah mana. Beruntung jika hanya dipecat, kalau pria itu melaporkan ke polisi sebagai tindakan penganiayaan habislah sudah.
Bukan hanya masa depan suram, pernikahan bunda akan gagal dan yang lebih parah adalah Harsa akan terus menghinanya.
Gobl0k, kenapa nggak bisa tahan emosi, batin Dara.
“Berisik,” ujar Dara menghentikan ketiga bawahan-nya untuk tidak bicara. “Balik ke tugas kalian,” titah Dara lalu meninggalkan tempat itu.
Beruntung dalam lift turun ia hanya sendirian. Posisinya membelakangi pintu dan membenturkan kepalanya ke dinding lift.
“Ya Tuhan, aku harus bagaimana.”
***
Dara menguap saat keluar dari pintu khusus karyawan, sudah jam delapan pagi artinya dia menjalankan shift malam hampir dua belas jam. Bukan hanya rasa kantuk dan lapar yang mendera, tapi juga bimbang akan keputusan kelanjutan hidupnya ke depan.
Apalagi sampai sekarang, baik itu Leo sebagai atasannya langsung dan David sang GM belum ada menghubungi apalagi memanggilnya. Memang hari ini minggu, kedua orang itu pasti masih terlelap di kamar mereka yang nyaman.
Tidak ada yang berani membahas kejadian semalam, Reni dan kedua petugas lainnya memilih tutup mulut dan takut kena imbasnya.
“Apa si Tandu belum melaporkan kejadian semalam ya,” gumam Dara sudah berdiri di samping mobilnya. “Kalau sudah dilaporkan, Pak Leo pasti sudah memaki-maki aku. Apa aku temui saja untuk minta maaf.”
Disinilah Dara berada, di depan pintu kamar Pandu. Kamar di mana semalam terjadi insiden melayangnya pukulan tangan Dara ke wajah pria yang awalnya sempat membuat gadis itu terpesona. Menekan bel dan berharap-harap cemas pintu dibuka.
Akhirnya pintu terbuka, mulut yang ingin menyapa hanya bisa terbuka tanpa keluar satu kata pun ketika melihat pria itu mengenakan celana piyama bertel4njang dada. Bentuk perut kotak-kotak yang katanya mirip roti sobek sangat menggoda untuk menyentuhnya meski hanya ibu jari. (Colek dikit)
Pandu menatap Dara dari kepala sampai kaki dan baru menyadari kalau gadis itu adalah petugas yang memukulnya, semalam. “Ck, kamu lagi.”
Berbeda dengan penampilan gadis itu semalam yang mengenakan seragam hotel dan rambut yang disanggul rapi, saat ini Dara memakai jeans model pensil dan kaos putih longgar dengan sling bag dan flat shoes. Rambutnya kali ini digerai dan agak sedikit berantakan, tapi tetap terlihat … cantik.
Penampilan Dara semalam juga cukup menarik di mata Pandu dan kali ini semakin menarik.
“Pagi tuan Tandu, eh maksud saya Pandu. Bisa kita bicara tentang kejadian semalam, ada yang harus diluruskan di sini.”
“Tentu saja, karena otak kamu itu yang harus diluruskan.”
Hm, mulai. Gimana nggak gue gaplok, mulutnya pedes banget.
“Biar saja jelaskan, semalam itu ….” Dara tidak meneruskan kalimatnya karena Pandu bergeser dan membuka pintu semakin lebar. Sempat ragu, tapi Dara akhirnya melangkah masuk ke dalam kamar tersebut. Berharap keputusannya benar.
“Jadi begini, semalam itu … Apa anda bisa pakai piyama dulu, kayaknya tidak nyaman kalau kita bicara dengan kondisi begitu,” tunjuk Dara ke arah tubuh Pandu, sambil menatap wajah pria itu.
“Memang kenapa, malah saya mau buka celana dan melepas boxer.”
“Jangan macam-macam, saya bisa teriak dan ini termasuk pelecehan,” ancam Dara sudah mundur beberapa langkah dan terbentur sofa.
“Macam-macam gimana, orang saya mau mandi. Jangan terlalu percaya diri, karena kamu tidak membuat saya tertarik untuk macam-macam atau memang kamu berharap saya lecehkan.”
Dara memposisikan tasnya ke depan dada seakan menutupi aset tubuhnya karena Pandu akan berbuat macam-macam. Pandu melangkah maju membuat Dara mendadak takut kalau pria itu akan melakukan sesuatu yang merugikan dirinya.
“CCTV bisa membuktikan kalau kamu sendiri yang datang dan masuk ke kamar saya tanpa paksaan.”
“Jangan mendekat, tangan kiri saya masih bisa buat hidung kamu mimisan. Kaki saya juga bisa tendang milik kamu dan bisa dipastikan beberapa hari kedepan kamu nggak akan bisa enak-enak.”
Tubuh Dara agak condong ke belakang karena menghindari wajah Pandu yang semakin dekat.
“Memang kamu tahu cara enak-enak? Mau coba?” tanya Pandu sambil mengerlingkan matanya.
Sejenak hening meskipun kedua insan itu masih dalam posisi tidak jelas.
“Dasar c4bul,” pekik Dara dan ….
“Aaaa.”
Atun mo dikemanain, mas?
Gak salah????