Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Starting Point
Setiap kali melihat Akasia, aku teringat Kemuning. Meski sifat mereka berbeda, wajah mereka begitu mirip. Dulu aku menolak mengakui kesamaan itu, menganggapnya sekadar kebetulan, karena bagiku Akasia seperti adikku sendiri. Ia seperti anak ayam yang kutunggu menetas, kurawat, dan kubesarkan dengan penuh perhatian. Sejak kecil aku menyayanginya, mendengarkan celotehnya, mengamati perkembangannya, kini ia tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan tangguh.
“Anak ayam? Kok anak ayam sih?” Protes Akasia begitu mendengar panggilanku.
“Kan mirip kamu, mungil, gemesin.” Aku mencoba memuji.
“Terus kalau udah besar dimasak gitu jadi fried chicken? Dimakan?” Akasia tidak terima.
“Ya nggak lah, ini kan cuma panggilan sayang. Anak ayaam!” Aku merentangkan tangan dengan riang.
“Nggak sekalian pitik?” Celetuk Akasia asal.
“Pitiiik!” Panggilku dengan wajah gembira, merasa terinspirasi. Panggilan ini lebih singkat, padat, dan lucu.
“Lah, malah seneng dia.” Akasia menyesali sarannya sebelumnya.
“Pitik, aku pinjam kamar mandinya ya.” Aku meminta izinnya terlebih dulu.
“Tumben kamu mandi, mau kemana?” Tanya Akasia sambil menyiapkan isi tas sebelum berangkat sekolah.
“Kangen aja mandi. Butek juga lama-lama jadi boneka.” Aku beralasan.
“Ya udah boleh. Untung juga baju baru kamu sudah selesai aku cuci, tuh ada di lemariku.” Aku menginformasikan sambil menunjuk dengan mulut, gestur khas warga +62.
Aku terkekeh melihatnya monyong tadi. Seingatku memang cuma pribumi Indonesia yang terbiasa menunjuk dengan bibirnya, “Kurang monyong!” Ledekku.
“Kampret! Udah ah, aku mau berangkat, takut telat. Salim, Ki!” Ia meledekku lagi. Belakangan memang ia sering memanggilku Aki-aki. Ledekan yang menohok tapi tidak bisa kutampik. Aku menyodorkan tangan untuk disalim, ia menyambut dan menyalim tanganku.
“Baik-baik di sekolah, jangan nakal! Kalau jatuh bangun sendiri, dan jangan lupa,” aku berpesan.
“Jangan bikin malu keluarga kan, Ki? Iya Ki, udah hapal, daadaah!” Akasia melambai sambil keluar kamar, sebelum menutup pintu kamar ia melihat lagi ke arahku seakan mengerti niatku, “Kalau mau keluar rumah dari jendela aja, supaya pintu kamar aku kunci dari luar. Aman kok.” Pesannya.
“Siap, laksanakan!” Jawabku menenangkannya.
Sepeninggal Akasia, aku mandi lalu memakai pakaian kasual yang dibelikannya. Kupilih paduan T-shirt berwarna navy dan celana snow wash jeans panjang berwarna ice blue untuk kukenakan kali ini. Kusisir rapi rambutku, tidak lupa kubawa serta hoodie jacket berwarna misty grey untuk berjaga-jaga kalau-kalau penampilanku terlalu mencolok. Aku sudah diajarkan Akasia rute menyelinap keluar pagar rumah serta cara memesan driver ojek online. Aku akan mencobanya sendiri hari ini. Aku berniat mendatangi lokasi rumahku dahulu, dengan sedikit ingatanku mengenai nama daerah dan patokan arahnya. Meski rumahku dulu besar, sebenarnya aku pesimis bangunan itu masih ada, tapi tidak ada salahnya mencoba. Aku hanya ingin sedikit bernostalgia.
Aku berdiri di depan pagar seng yang dipasang mengelilingi lokasi rumahku seharusnya berada. Kutemukan lubang yang bisa kulewati di barisan seng tersebut, tanpa ragu aku menyelinap masuk. Aku berjalan beberapa saat di kebun-kebun sebelum terperangah menemukan bangunan yang kurindukan. Bangunan rumahku masih ada, bahkan masih utuh seperti sebelumnya. Aku melangkah dengan haru, hendak membuka pintu utamanya yang ternyata terkunci. Kudengar langkah kaki seseorang yang memergokiku dari belakang, “Siapa itu?” Tanyanya curiga.
Aku menghentikan gerakan, rahangku mengatup tegang, lalu perlahan memutar tubuh menghadap orang itu dan membuka hoodie-ku, pria paruh baya itu mengamatiku. “Maaf sebelumnya. Saya masih keluarga dari pemilik rumah ini, mau melihat kondisi bangunan ini aja. Bapak siapa ya?” Aku membuat alasan, lagipula aku tidak bohong.
“Saya Mulyadi, penjaga kunci rumah ini,” jawabnya singkat, masih sambil mengobservasiku, “Baik, saya bukakan.” Ia akhirnya luluh dan membantuku.
Ia membukakan pintu depan, membuatku terkesiap ketika aku berhasil memasuki ruang utamanya. Bentuk bangunannya masih sama, hanya usang dan berubah warna dinding dan kaca jendelanya karena usia. Perabotan meubel ditutupi oleh kain-kain putih yang tidak lagi putih karena debu dan usang. Aku menengadah ke sisi atas tengah ruangan, tepat di pertemuan kedua tangga melingkar. Disana masih tergantung dengan gagah foto keluargaku, dibingkai besar dari kayu jati. Terpampang kedua orangtuaku, adik perempuanku, lengkap dengan diriku di masa lalu. Pantas saja bapak ini langsung percaya aku keluarga pemilik rumah ini.
“Selama ini keluarga saya yang diamanahkan merawat rumah ini. Saya harap Tuan puas dengan perawatannya.” Bapak Mulyadi bersuara.
Kuperhatikan Bapak itu, sudah berusia sekitar 60 tahunan, “Siapa nama penjaga kunci rumah ini sebelumnya?” Tanyaku, tiba-tiba penasaran.
“Oh itu kakek saya, namanya Sulyana.” Jawabnya lugas.
Seketika aku terkenang sosok seorang Sulyana yang aku kenal. Dia laki-laki yang dulunya lebih muda dariku, tapi sering kurepotkan karena harus membantuku memuluskan kenakalanku.
Aku teringat wajah memelasnya saat mengatakan, "Tuan, saya tak berani bohong kepada Papa Tuan.” Atau wajah khawatirnya saat bilang, “Tuan jangan pulang lama-lama ya, saya takut ketahuan. Nanti saya yang dimarahi.” Atau wajah pasrahnya saat bilang, “Yah saya dimarahi lagi deh nanti oleh Tuan Besar.” Tanpa sadar aku mengulum senyum, terkelitik geli saat mengenangnya. Sekarang cucunya yang melanjutkan tugasnya, pantas wajahnya sedikit mirip.
“Apa kabar kakek kamu sekarang?” Aku bertanya serius.
“Sudah berpulang.” Jawaban singkat itu membuatku mengerti dan berhenti bertanya. Seharusnya aku sudah menduganya.
Aku beranjak ke lantai atas, ke tempat kamar lamaku berada. Bapak itu membukakan pintu untukku. Bau apek menyeruak, tapi kondisi kamarku cukup terawat. Masih ada lemari jati besar tempat aku menyimpan pakaianku dan barang-barang berhargaku dulu. Aku buka lemari itu, masih terdapat brankas lamaku disana. Tanpa ragu kuputar kuncinya sesuai urutan nomor yang masih kuhapal jelas, ternyata bisa terbuka meski agak berat. Isinya tentu bukan uang, karena itu bukan hal yang kuanggap berharga dulu. Isinya adalah dokumen foto-fotoku di masa lalu.
Beruntung di zaman dulu aku peminat fotografi, banyak kucetak hasil fotoku, terutama yang mengabadikan momen berharga. Kuambil sebuah album foto yang kukenal, kucari halaman per halaman, dan aku menemukannya. Foto wanita yang kurindukan ada disana, Kemuning. Tak pelak aku merasa semua sendiku lemas. Aku tersungkur tak berdaya, air mataku menetes tak terkontrol.
Setelah melepas tangis yang menyesakkan dada hingga terisak-isak, aku berhasil menenangkan diriku. Aku mengusap mata sembabku. Bapak Mulyadi hanya berdiri memperhatikanku dari luar pintu kamar yang terbuka.
“Bapak, boleh saya minta izin membawa album foto ini?” Aku meminta dengan nada memohon.
“Maaf Nak, bukannya saya nggak mengizinkan, tapi saya diamanahkan supaya barang di dalam rumah ini tetap di tempatnya, jangan keluar dari rumah ini. Kamu boleh kok kesini kapanpun kamu mau.” Bapak Mulyadi menyampaikan dengan berat hati, “Mungkin untuk foto-fotonya bisa kamu ambil lewat HP kamu.” Pria tua itu memberiku ide.
Aku segera mengeluarkan ponselku dan memotret satu per satu foto yang paling penting untukku, "Terima kasih Pak, usulnya. Saya jadi bisa melihat fotonya dengan mudah lain kali." Aku mengucapkan dengan tulus, merasa terbantu. Salah satu foto yang kupotret itu adalah foto keluarga yang kuminta dari Kemuning, foto ia dan suaminya di rumahnya yang sederhana.
Aku jadi teringat interaksiku dengan Kemuning, wanita pribumi cerdas yang bekerja di perusahaan papaku di bagian administrasi. Saat itu jarang pribumi yang bisa membaca dan menulis, apalagi wanita. Kemuning berhasil membuatku penasaran dan ingin selalu menelisik isi pikirannya.
...oOo...
“Syukurlah aku ini bukan seperti kompeni kebanyakan, kalau tidak, gaya bicaramu itu pasti sudah kuseret ke peradilan.” Ujarku sambil tergelak di suatu siang bersama Kemuning.
Kemuning ikut tertawa, “Apakah kamu sadar ucapanmu? Barusan kamu sendiri yang mengaku sebagai kompeni.” Kemuning masih tersenyum geli.
“Ya memang, bukankah begitu kalian menyebut kami? Aku hanya tidak pernah suka disebut penjajah, itu saja. Lagi pula, keluarga kami membayarmu dengan layak dan memperlakukanmu dengan baik.” Aku berusaha mengemukakan pandanganku saat itu, “Aku pun benci penjajahan, apalagi diskriminasi yang dilakukan bangsaku terhadap bangsamu hanya karena warna kulit atau asal-usul. Pola pikir seperti itu sudah sangat kuno. Bagiku, semua manusia itu sama.”
“Hmm, anggaplah begitu,” katanya dengan nada setuju, namun matanya menatap tajam padaku, “Namun, seandainya kamu melihat diskriminasi itu terjadi tepat di depan matamu, apa yang biasanya kamu lakukan?” Pertanyaan itu menghantamku, tak kuduga akan muncul dari mulut seorang seperti Kemuning.
“Banyak sekali orang yang memilih diam. Padahal, membiarkan kejahatan adalah bentuk persetujuan, bukan begitu? Aku percaya, kejahatan di dunia ini terjadi bukan karena penjahat lebih banyak, tetapi karena orang baik lebih sering memilih diam.” Nada suaranya tegas dan penuh keyakinan. Ia mengemukakan pendapatnya dengan blak-blakan. Dan aku tidak menyangka perempuan ini selantang dan seberani itu dalam mengemukakan opininya. Ia benar-benar anomali di lingkungan dan zaman ini.
Aku terdiam. Kata-katanya menikam tepat di jantung nuraniku. Ia benar, aku belum punya keberanian untuk menentang diskriminasi terang-terangan, apalagi penjajahan. Dalam hatiku, aku malu mengakui betapa munafiknya diriku. Namun sejak hari itu, aku terinspirasi untuk menjadi seberani Kemuning, bersuara lantang tentang idealisme yang selama ini hanya kusimpan diam-diam. Bahkan jika itu berarti aku harus menentang rekan bisnis keluargaku sendiri.
Tak butuh waktu lama, perubahan sikapku mulai membuat keluargaku risih. Papa, terutama, merasa khawatir karena aku dinilai terlalu radikal. Aku tahu ia cemas kerajaan bisnis keluarga yang telah ia bangun akan terguncang oleh idealisme bocah sepertiku.
Saat makan malam keluarga, Papa akhirnya menegurku dengan nada serius, “Adrian, kamu harus lebih hati-hati dengan pendapatmu, terutama di hadapan rekan kerja kita.”
“Bagaimana aku bisa membohongi hati nuraniku, Pa?” Jawabku dengan nada sedikit tengil.
Papa menghela napas panjang, “Tapi kamu sudah dewasa, kamu harus lebih bijaksana dalam bersikap. Jangan sampai ucapanmu menyinggung orang yang kita butuhkan, ada nama baik keluarga dan perusahaan yang harus kamu jaga.”
Penuturan Papa yang disampaikan dengan tenang itu menyusupi sudut perenunganku. Aku merasa Papa ada benarnya. Sepertinya ada banyak jalan untuk merealisasikan prinsipku dan tetap mempertahankan nilai-nilai yang penting bagiku. Seperti juga perang yang bisa punya banyak strategi, sepertinya aku juga bisa memilih strategiku sendiri agar aksiku terkesan lebih halus.
Aku mengagumi Kemuning dengan idealismenya yang menginspirasiku. Ia merupakan buah cinta dari Ibunya yang seorang guru terpandang dan Ayahnya yang seorang jawara yang disegani. Perpaduan unik ini menghasilkan anak perempuan yang cerdas dan berani. Aku kenal akrab Ayahnya, beliau centeng yang bekerja di keluargaku. Meski beliau jawara yang ditakuti banyak orang, beliau lembut dan penyayang terhadap istri dan anaknya. Beliau contoh nyata pria pribumi gentleman yang mengerti cara menghargai wanita. Saat para suami pribumi lain menuntut pengabdian total dari istrinya untuk tetap di rumah melayaninya setelah menikah, beliau mengijinkan istrinya tetap bekerja dan mau ikut andil mengurus pekerjaan rumah. Baginya istrinya adalah permata, keindahannya tidak boleh tergores.
“Kemuning, aku mendapat pencerahan baru,” aku membuka percakapan serius.
“Pencerahan tentang apa?” Tanyanya, alisnya sedikit terangkat.
“Tentang perjuanganku. Aku memang anti diskriminasi, tapi aku sadar tidak harus berjuang secara konfrontatif seperti dirimu. Aku bisa memilih jalan yang lebih damai.” Jawabku mantap.
“Dengan cara?” Kini ia terlihat benar-benar tertarik.
“Dengan menulis. Aku bisa menyisipkan gagasanku di surat kabar, menampilkan keunggulan kaummu dan menggiring opini masyarakat untuk memandang orang pribumi lebih positif. Misalnya, aku bisa menulis tentang kamu.” Aku mulai bersemangat menjelaskan, “Seorang perempuan pribumi yang percaya diri, cerdas, dan berani. Tidak seperti kebanyakan perempuan pribumi lain yang merunduk, kamu berjalan tegak, berbicara dengan yakin, dan tidak gentar menentang dogma usang.”
Kemuning tertawa kecil, pipinya memerah, “Aku rasa kisahku tidak akan terlalu menarik.” Katanya pelan.
“Justru sebaliknya, kamu bisa menginspirasi banyak orang, seperti kamu telah menginspirasiku.” Aku meyakinkannya. Sebuah ide seketika muncul di kepalaku. “Bagaimana kalau sesekali kita makan malam di rumahku? Orangtuaku harus mengenalmu.”
Namun, senyumnya melemah, “Maaf, Tuan. Setiap malam, aku harus di rumah menemani anakku.”
Perkataannya menghantamku seperti badai. Aku menatapnya, mencoba mencerna ucapannya, “Anakmu?” Suaraku nyaris berbisik.
Ia mengangguk sambil tersenyum tipis, “Sepertinya kamu belum tahu apa-apa tentang aku.”
Aku tercekat, “Maaf... aku kira kamu belum menikah.” Aku menundukkan kepala, merasa bodoh karena terlalu banyak berasumsi.
Kemuning hanya tersenyum lembut, lalu berdiri, "Aku pamit, Tuan." Pamitnya sebelum berlalu.
Aku hanya bisa memandang punggungnya yang menjauh, dan di sanalah, untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa patah hati.
semangat /Good/