Gendhis Az-Zahra Bimantoro harus menerima takdir kematian ayahnya, Haris Bimantoro dalam sebuah kecelakaan tragis namun ternyata itu adalah awal penderitaan dalam hidupnya karena neraka yang diciptakan oleh Khalisa Azilia dan Marina Markova. Sampai satu hari ada pria Brazil yang datang untuk melamarnya menjadi istri namun tentu jalan terjal harus Gendhis lalui untuk meraih bahagianya kembali. Bagaimana akhir kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dalam Tekanan Membuat Keputusan
Dengan langkah kasar, Marina menyeret Gendhis keluar dari dapur. Gendhis yang masih dibayangi rasa takut dan trauma, hanya bisa pasrah mengikuti tarikan Marina. Ia tahu, Marina tidak akan melepaskannya begitu saja. Pasti ada sesuatu yang ingin wanita tua itu lakukan padanya.
Marina membawa Gendhis ke ruang tamu, tempat Pedro dan Suzanna masih menunggu. Kedua orang tua Renan itu menatap Gendhis dengan tatapan yang penuh kasih sayang dan kekhawatiran. Mereka bisa merasakan ketakutan yang terpancar dari wajah gadis itu.
"Gendhis, Nak. Kami datang untuk menjemputmu," kata Pedro, dengan suara yang lembut.
"Kami ingin membawamu pergi dari sini. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti ini," timpal Suzanna, dengan nada yang penuh perhatian.
Gendhis menatap Pedro dan Suzanna dengan tatapan yang penuh keraguan. Ia ingin sekali ikut bersama mereka, namun ia teringat akan ancaman Marina. Ia takut jika ia menolak, Marina akan membunuh Bismo.
"Saya ... saya tidak bisa ikut dengan kalian," kata Gendhis, dengan suara yang bergetar.
Pedro dan Suzanna terkejut mendengar perkataan Gendhis. Mereka tidak menyangka bahwa gadis itu akan menolak tawaran mereka.
"Kenapa, Gendhis? Apa yang membuatmu berubah pikiran?" tanya Pedro, dengan nada yang bingung.
"Kami janji akan melindungimu. Kamu tidak perlu takut lagi," timpal Suzanna.
Gendhis menunduk dan menggelengkan kepalanya. Ia tidak berani mengatakan yang sebenarnya kepada Pedro dan Suzanna. Ia takut Marina akan melakukan sesuatu yang buruk kepada Bismo jika ia berani melawan.
"Saya ... saya memilih untuk tetap tinggal di sini," kata Gendhis, dengan suara yang lirih.
Marina, yang sedari tadi berdiri di samping Gendhis, tersenyum sinis. Ia merasa puas karena rencananya berjalan dengan lancar.
"Sudah dengar kan? Gendhis sendiri yang memilih untuk tinggal di sini. Kalian tidak punya hak untuk ikut campur urusan keluarga kami," kata Marina, dengan nada yang angkuh.
Pedro dan Suzanna saling berpandangan. Mereka berdua merasa curiga dengan sikap Gendhis yang tiba-tiba berubah. Mereka yakin, ada sesuatu yang disembunyikan oleh gadis itu.
"Gendhis, apa kamu yakin dengan keputusanmu? Apa ada sesuatu yang ingin kamu katakan kepada kami?" tanya Pedro, dengan nada yang khawatir.
Gendhis terdiam sejenak. Ia kemudian menatap Pedro dan Suzanna dengan tatapan yang penuh arti. Ia ingin menyampaikan pesan kepada mereka, namun ia tidak tahu bagaimana caranya.
"Saya ... saya baik-baik saja di sini," kata Gendhis, dengan suara yang bergetar. "Saya tidak ingin merepotkan kalian."
Pedro dan Suzanna tidak percaya begitu saja dengan perkataan Gendhis. Mereka yakin, gadis itu sedang berbohong. Mereka bisa merasakan ketakutan dan tekanan yang dirasakan oleh Gendhis.
"Kami tidak akan menyerah, Gendhis," kata Pedro, dengan nada yang penuh tekad. "Kami akan mencari cara untuk membantumu."
"Kami akan kembali lagi," timpal Suzanna.
Pedro dan Suzanna kemudian pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang sedih dan kecewa. Mereka berdua berjanji akan kembali lagi untuk menyelamatkan Gendhis dari cengkeraman Marina dan Khalisa.
****
Setelah Pedro dan Suzanna pergi, Khalisa, dengan wajah bengisnya, mengambil vas bunga yang ada di meja dan melemparkannya ke kaki Gendhis. Vas bunga itu pecah berkeping-keping, dan serpihan-serpihannya mengenai kaki Gendhis. Gendhis terkejut dan meringis kesakitan.
"Rasakan itu! Kamu sudah berani kepada kami!" bentak Khalisa, dengan suara yang keras.
Marina, yang sedari tadi hanya diam, kini menyeringai sinis melihat Gendhis yang ketakutan. Ia merasa puas karena telah berhasil membuat gadis itu menderita.
"Kamu pikir kamu bisa lolos dari kami?" kata Marina, dengan nada yang merendahkan. "Kamu salah besar! Kamu tidak akan pernah bisa lari dari rumah ini."
Gendhis hanya bisa menangis dan menahan rasa sakit di kakinya. Ia sudah tidak berdaya menghadapi kemarahan Khalisa dan Marina. Ia merasa seperti tahanan di rumahnya sendiri.
"Saya mohon, Kak, Tante, jangan sakiti saya lagi," kata Gendhis, dengan suara yang bergetar.
Namun, Khalisa dan Marina tidak menghiraukan permohonan Gendhis. Mereka terus saja memarahinya dan mengancamnya.
"Kamu harus ingat satu hal, Gendhis," kata Khalisa, dengan nada yang penuh ancaman. "Kamu adalah milik kami. Kamu harus selalu menuruti semua perintah kami."
"Jika kamu berani mencoba untuk kabur dari rumah ini, kamu akan menyesal seumur hidupmu," timpal Marina, dengan nada yang tidak kalah kejam.
Gendhis semakin ketakutan mendengar ancaman Khalisa dan Marina. Ia tahu, kedua wanita itu tidak main-main dengan perkataannya. Mereka bisa melakukan apa saja untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
"Saya tidak akan kabur, Kak, Tante," kata Gendhis, dengan suara yang lirih. "Saya akan tetap tinggal di sini."
"Bagus. Itu pilihan yang bijak," kata Khalisa, dengan nada yang sinis. "Tapi ingat, jangan pernah mencoba untuk mengkhianati kami. Jika kamu melakukannya, kamu akan tahu akibatnya."
Marina kemudian mendekati Gendhis dan mencengkeram lengannya dengan kuat. Ia menatap Gendhis dengan tatapan yang tajam dan penuh intimidasi.
"Kamu harus berjanji kepada kami, Gendhis," kata Marina, dengan suara yang pelan namun penuh ancaman. "Kamu harus berjanji tidak akan pernah mencoba untuk kabur dari rumah ini."
Gendhis tidak punya pilihan lain. Ia harus menuruti perintah Marina agar tidak mendapatkan masalah yang lebih besar.
"Saya berjanji, Tante," kata Gendhis, dengan suara yang bergetar. "Saya tidak akan kabur."
Marina melepaskan cengkeramannya dari lengan Gendhis. Ia tersenyum sinis melihat ketakutan di wajah gadis itu.
"Ingat baik-baik janji kamu, Gendhis," kata Marina. "Jangan sampai kamu melanggarnya."
Khalisa dan Marina kemudian meninggalkan Gendhis sendirian di ruang tamu. Gendhis terduduk lemas di lantai, air matanya terus mengalir. Ia merasa sangat sedih dan putus asa. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menghadapi Khalisa dan Marina.
****
Pedro dan Suzanna meninggalkan rumah keluarga Bimantoro dengan hati yang berat. Mereka berdua menyadari bahwa Marina dan Khalisa adalah dua orang yang sangat berbahaya. Mereka tidak akan segan-segan menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan mereka, termasuk melakukan tindakan yang di luar nalar.
"Mereka berdua adalah orang yang sangat licik dan kejam," kata Pedro, dengan nada yang khawatir. "Kita harus berhati-hati dalam bertindak."
"Aku setuju denganmu, Pa," timpal Suzanna. "Kita tidak boleh gegabah. Kita harus menyusun rencana yang matang sebelum bertindak."
Pedro dan Suzanna kemudian berdiskusi tentang apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka sepakat untuk tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Mereka ingin memastikan bahwa setiap langkah yang mereka ambil tidak akan membahayakan Gendhis.
"Kita harus mencari cara untuk mendapatkan bukti tentang kejahatan mereka," kata Pedro. "Dengan bukti yang kuat, kita bisa membawa mereka ke pengadilan dan mendapatkan keadilan untuk Gendhis."
"Tapi bagaimana caranya, Pa?" tanya Suzanna. "Mereka pasti sudah menghilangkan semua bukti."
Pedro berpikir sejenak. "Kita harus mencari bantuan dari orang-orang yang bisa kita percaya," kata Pedro. "Kita membutuhkan seseorang yang berani melawan mereka."
Pedro dan Suzanna kemudian mencari informasi tentang orang-orang yang mungkin bisa membantu mereka. Mereka mencari tahu tentang orang-orang yang memiliki pengalaman dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini.
Setelah beberapa hari mencari informasi, mereka akhirnya menemukan seseorang yang mereka yakini bisa membantu mereka. Orang itu adalah seorang pengacara yang terkenal berani dan jujur.
"Kita harus menemui pengacara ini," kata Pedro. "Dia pasti bisa membantu kita."
Pedro dan Suzanna kemudian menghubungi pengacara tersebut dan menceritakan semua yang telah terjadi. Pengacara itu bersedia membantu mereka dan berjanji akan mencari cara untuk membawa Khalisa dan Marina ke pengadilan.
"Ini adalah kasus yang sulit," kata pengacara itu. "Tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu kalian."
Pedro dan Suzanna merasa sedikit lega mendengar perkataan pengacara itu. Mereka berharap, dengan bantuan pengacara, mereka bisa mendapatkan keadilan untuk Gendhis.