Nesya, seorang gadis sederhana, bekerja paruh waktu di sebuah restoran mewah, untuk memenuhi kebutuhannya sebagai mahasiswa di Korea.
Hari itu, suasana restoran terasa lebih sibuk dari biasanya. Sebuah reservasi khusus telah dipesan oleh Jae Hyun, seorang pengusaha muda terkenal yang rencananya akan melamar kekasihnya, Hye Jin, dengan cara yang romantis. Ia memesan cake istimewa di mana sebuah cincin berlian akan diselipkan di dalamnya. Saat Nesya membantu chef mempersiapkan cake tersebut, rasa penasaran menyelimutinya. Cincin berlian yang indah diletakkan di atas meja sebelum dimasukkan ke dalam cake. “Indah sekali,” gumamnya. Tanpa berpikir panjang, ia mencoba cincin itu di jarinya, hanya untuk melihat bagaimana rasanya memakai perhiasan mewah seperti itu. Namun, malapetaka terjadi. Cincin itu ternyata terlalu pas dan tak bisa dilepas dari jarinya. Nesya panik. Ia mencoba berbagai cara namun.tidak juga lepas.
Hingga akhirnya Nesya harus mengganti rugi cincin berlian tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketakutan Nesya
Pagi itu, Nesya berjalan menuju kampus bersama sahabatnya, Mitha. Udara Seoul yang dingin terasa menusuk kulit, tetapi Nesya justru lebih terganggu oleh kegelisahan yang terus membayangi pikirannya.
"Coba tenang, Nesya. Kalau kamu terus seperti ini, orang-orang malah jadi curiga," kata Mitha, mencoba menenangkan.
"Aku nggak bisa tenang, Mitha," balas Nesya dengan nada cemas. "Bayangan tentang cincin itu terus menghantuiku. Apalagi Jae Hyun bilang dia akan melapor polisi kalau aku nggak bisa mengembalikan cincin itu."
Mitha menghela napas. "Kalau begitu, setelah kuliah selesai, kita cari solusi lagi. Tapi sekarang, fokus dulu ke kelas, oke?"
Nesya mengangguk pelan.
Setibanya di kampus, perhatian beberapa mahasiswa mulai tertuju pada mereka. Tidak hanya karena Nesya terlihat lesu, tetapi juga karena penampilan mereka yang berhijab, sesuatu yang cukup jarang di Korea Selatan.
"Dari negara mana mereka? Apa mereka selalu pakai kerudung seperti itu?" terdengar bisikan dari salah satu kelompok mahasiswa.
Nesya mencoba mengabaikan pandangan dan komentar itu, meskipun hatinya terasa berat. Ia dan Mitha sudah terbiasa menjadi sorotan karena penampilan mereka, tetapi hari ini, komentar-komentar itu terasa lebih menyakitkan.
"Kenapa mereka terus menatap kita seperti itu, ya?" tanya Mitha pelan, berusaha menyembunyikan kekesalannya.
"Sudahlah, mungkin ini cuma perasaan aku aja," jawab Nesya sambil mempercepat langkahnya.
Di dalam kelas, Nesya duduk di barisan belakang, mencoba menyembunyikan diri dari tatapan orang-orang. Namun, pikirannya terus melayang-layang ke masalah cincin. Ia bahkan tidak bisa mencatat materi yang sedang dijelaskan dosen.
"Hei, kamu baik-baik saja?" bisik Mitha, menyenggol pelan lengan Nesya.
Nesya mengangguk, meski jelas terlihat dia sedang tidak baik-baik saja.
Hari itu, setiap detik terasa seperti beban berat. Nesya tahu ia tidak bisa terus menghindar dari masalah ini, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana cara menghadapi Jae Hyun, pria yang telah ia kecewakan, dan situasi yang mungkin akan menghancurkan masa depannya.
Pagi itu, Jae Hyun duduk di meja makan besar di rumahnya. Piring sarapan di depannya hampir tidak disentuh, hanya sesekali ia memindahkan makanan dengan garpu, seolah sedang memikirkan sesuatu yang jauh lebih berat daripada sekadar makanan pagi.
Nyonya Kang berjalan masuk, memperhatikan putranya yang termenung. Ia duduk di kursi di seberang Jae Hyun dan memperhatikan ekspresi muram di wajahnya.
"Kau bahkan tidak menyentuh sarapanmu," ujar Nyonya Kang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. "Sejak semalam, aku melihat kau tidak bisa tenang. Apakah ini semua tentang cincin itu lagi?"
Jae Hyun menghela napas berat. "Ibu, aku masih tidak percaya semua ini terjadi. Satu kesalahan kecil menghancurkan semuanya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana menghadapi Hye Jin sekarang."
Nyonya Kang meletakkan cangkir tehnya di atas meja dengan hati-hati. "Hye Jin sudah pergi, Jae Hyun. Masalahnya sekarang bukan tentang dia lagi."
Jae Hyun mendongak, menatap ibunya dengan alis berkerut. "Apa maksud Ibu?"
Nyonya Kang menatap putranya dengan tatapan serius. "Cincin itu. Kau tahu apa artinya ketika cincin lamaranmu dipakai oleh wanita lain. Itu bukan hanya kesalahan biasa, Jae Hyun. Dalam mitos kita, itu adalah tanda takdir."
"Mitos, Bu. Itu cuma mitos," kata Jae Hyun dengan nada tidak sabar.
"Mungkin, tapi masyarakat kita tidak menganggapnya begitu. Jika kabar ini sampai keluar, kau tahu apa yang akan terjadi pada reputasi keluarga kita," tegas Nyonya Kang. "Apalagi cincin itu tidak bisa dilepas dari jarinya. Itu bukan kebetulan, Jae Hyun. Itu tanda."
Jae Hyun menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan kata-kata ibunya, tetapi dalam hatinya, ia tahu ada kebenaran dalam ucapan itu. Reputasi keluarga Kang sangat dihormati, dan skandal seperti ini bisa menjadi bahan pembicaraan yang tidak menyenangkan.
"Apa yang harus kulakukan, Bu? Aku bahkan tidak mengenal gadis itu," keluh Jae Hyun.
"Kenalilah dia," jawab Nyonya Kang singkat, dengan nada tegas. "Kau tidak perlu memutuskan apa pun sekarang, tetapi kau harus bertemu dengannya, berbicara dengannya, dan mencoba memahami siapa dia. Takdir punya cara yang aneh, Jae Hyun. Mungkin ini adalah jalan yang sudah ditentukan untukmu."
Jae Hyun terdiam, memandangi piring sarapannya yang masih penuh. Kata-kata ibunya terus terngiang di benaknya. Kenalilah dia. Tapi apakah ia benar-benar bisa menerima takdir yang tiba-tiba mengubah hidupnya secara drastis?
Sesampainya di kantor, Jae Hyun langsung menuju ruangannya. Pagi itu, ia merasa tidak fokus. Biasanya, ia selalu siap menghadapi berbagai rapat dan keputusan bisnis, tetapi hari ini pikirannya dipenuhi oleh Hye Jin dan kejadian memalukan semalam.
Ia duduk di kursinya, menatap ponsel di tangannya. Berkali-kali ia mencoba menelepon Hye Jin, tetapi panggilannya selalu masuk ke voicemail.
"Hye Jin, angkat teleponku, kumohon," gumam Jae Hyun, meskipun ia tahu tidak ada yang akan mendengarnya.
Rasa bersalah terus menghantui pikirannya. Ia mengingat bagaimana mata Hye Jin memancarkan kekecewaan yang begitu dalam sebelum pergi.
"Aku pikir kau serius dengan lamaran ini, tapi ternyata semua ini cuma lelucon bagimu," kata-kata Hye Jin kembali terngiang di telinganya.
Jae Hyun meletakkan ponselnya di meja dengan kasar, lalu menghela napas panjang. Ia mencoba membenamkan dirinya dalam pekerjaan, membuka dokumen-dokumen penting yang harus ia tandatangani. Namun, setiap kali ia mencoba membaca, pikirannya kembali melayang pada Hye Jin dan cincin yang kini berada di tangan Nesya.
"Ini semua salah gadis itu," gumamnya dengan nada kesal. "Jika dia tidak ceroboh, aku tidak akan berada dalam situasi ini."
Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk, dan asistennya masuk dengan beberapa dokumen baru.
"Direktur Jae Hyun, ini laporan yang perlu Anda tinjau hari ini," katanya sambil meletakkan dokumen di meja.
"Taruh saja di sana," jawab Jae Hyun singkat, tanpa menatap asistennya.
Asistennya ragu sejenak sebelum berkata, "Apakah Anda baik-baik saja, Direktur? Anda terlihat... sedikit tidak fokus hari ini."
Jae Hyun hanya mengangguk pelan. "Aku baik-baik saja. Terima kasih."
Setelah asistennya pergi, Jae Hyun kembali meraih ponselnya. Ia mencoba mengetik pesan untuk Hye Jin, tetapi setelah beberapa detik, ia menghapusnya lagi.
"Aku harus bicara langsung dengannya," kata Jae Hyun pada dirinya sendiri.
Namun, ia tahu, sebelum itu, ia juga harus menyelesaikan masalah dengan Nesya dan cincin itu. Semuanya terasa seperti benang kusut yang semakin sulit untuk diurai.
Jae Hyun berdiri di depan apartemen Hye Jin dengan membawa seikat bunga mawar merah. Rasa cemas bercampur tekad memenuhi dirinya. Ia berharap bisa berbicara langsung dengan Hye Jin dan menjelaskan semuanya.
Namun, saat hendak mengetuk pintu, ia melihat seorang pria keluar dari apartemen itu. Pria tersebut mengenakan pakaian kasual, rambutnya sedikit acak-acakan seperti baru bangun tidur.
Jae Hyun terpaku. Matanya memperhatikan bagaimana pria itu dengan santai menutup pintu apartemen Hye Jin dan berjalan melewatinya tanpa menyadari keberadaannya.
"Siapa dia?" gumam Jae Hyun, dadanya mulai sesak.
Pikirannya berputar-putar. Hye Jin selalu bilang bahwa dia tinggal sendirian. Tidak pernah ada cerita tentang teman atau kerabat yang mungkin menginap di apartemennya.
Dengan hati yang diliputi curiga, Jae Hyun tetap mengetuk pintu.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Hye Jin berdiri di sana, wajahnya menunjukkan ekspresi kaget bercampur kesal.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Hye Jin dengan nada dingin.
Jae Hyun menatapnya lekat-lekat, mencoba membaca ekspresi Hye Jin. "Aku datang untuk menjelaskan semuanya. Tapi sebelum itu, aku ingin tahu... siapa pria yang baru saja keluar dari apartemenmu?"
Hye Jin terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Dia bukan urusanmu, Jae Hyun. Bukankah hubungan kita sudah berakhir? Apa yang aku lakukan atau siapa yang datang ke apartemenku, itu bukan hakmu untuk tahu."
Jawaban itu seperti tamparan bagi Jae Hyun. Ia merasa dadanya semakin sesak. "Jadi, secepat itu kau melupakan segalanya? Hye Jin, aku di sini untuk memperbaiki semuanya. Kau bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan."
Hye Jin menatap Jae Hyun dengan tatapan tajam. "Kesempatan? Kau bahkan tidak bisa menjaga cincin lamaran itu dengan benar. Bagaimana aku bisa percaya padamu? Semua sudah selesai, Jae Hyun."
Pintu apartemen ditutup dengan tegas di hadapan Jae Hyun. Ia berdiri di sana, memegang bunga yang sekarang terasa tidak berarti.
Hatinya hancur, tetapi lebih dari itu, ada rasa sakit yang datang dari pikiran bahwa Hye Jin mungkin sudah menemukan seseorang yang lain.
ceritanya bikin deg-degan
semagat terus yaa kak