Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Rencana Pulang
Kakek Sapto masuk ke dalam pondok dengan langkah tenang namun terlihat ada beban di pundaknya. Matanya yang bijak langsung menatap Satria dan Kirana yang sedang duduk di tepi tempat tidur. Kakek Sapto sudah mendengar pembicaraan mereka tadi. Suasana ruangan terasa lebih berat seolah udara ikut menahan napas. Satria pun bangkit dari duduknya dan menghadap Kakek Sapto dengan raut wajah yang serius namun penuh hormat.
"Kakek…," ucap Satria pelan sambil menundukkan kepala sedikit. "Aku… aku rencananya akan pulang. Selain agar orang tuaku tidak terlalu khawatir, aku juga perlu melakukan pengobatan untuk mataku. Ini belum pulih sepenuhnya dan aku tidak bisa terus mengandalkan kalian."
Kakek Sapto mengangguk perlahan sambil memandang Satria dengan tatapan yang dalam. "Kakek mengerti Nak. Tapi kau yakin ini langkah yang tepat? Kau tahu risikonya. Apalagi kondisinya belum pulih benar."
Satria menghela napas panjang. "Aku tahu Kek... Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak ingin membahayakan kalian… Kirana, Kakek, Ririn dan Dina. Kalian sudah terlalu banyak membantu aku. Aku tidak mau masalahku merembet ke sini."
Kirana yang duduk di belakangnya tiba-tiba berdiri dan mendekat. "Tapi Mas… kami tidak takut. Kami percaya padamu. Kami tahu kau orang baik."
Satria memandang Kirana dengan mata yang penuh rasa bersalah. "Aku tahu kalian percaya padaku Kirana... Tapi ini bukan tentang percaya atau tidak. Ini tentang keselamatan kalian. Aku tidak bisa memikul beban itu jika sesuatu terjadi pada kalian karena aku."
Kakek Sapto menghela napas dan duduk di bangku kayu dekat pintu. "Nak… kami memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu. Kenapa kau jadi sasaran pembunuhan? Kenapa hidupmu dalam bahaya? Tapi kami yakin kau bukan orang jahat. Mungkin nanti setelah semua ini selesai… kau bisa menceritakan semuanya pada kami."
Satria mengangguk pelan. "Aku janji Kek... Akan tiba waktunya aku menceritakan semuanya. Tapi sekarang… aku harus pergi. Aku tidak ingin ada yang terluka karena aku. Apalagi aku tidak tahu siapa yang mau mencelakakanku dan apa motifnya?"
Kakek Sapto memandang Satria dengan tatapan yang penuh kebijaksanaan. "Baiklah Nak… Tapi ingat satu hal… selalu berhati-hati. Dunia di luar sana tidak seindah yang kita bayangkan. Kau harus waspada setiap saat."
Satria mengangguk lagi dan kali ini lebih mantap. "Aku akan berhati-hati Kek. Aku janji…"
Entah perasaan apa yang sedang menggelayuti hati Kirana saat ini. Sejak Satria mengutarakan rencananya untuk pulang… seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya… seperti beban yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Hatinya terasa berat seolah ada tali yang perlahan ditarik dan mencabut sesuatu yang selama ini melekat erat di dalam dirinya. Padahal mereka hanya mengenal satu sama lain dalam waktu yang singkat. Tapi entah mengapa kebersamaan mereka selama ini terasa begitu berarti. Setiap detik yang mereka lewati bersama… setiap percakapan bahkan setiap keheningan yang mereka bagi seolah telah menorehkan jejak yang dalam di hatinya.
Kirana mencoba memahami perasaannya sendiri. Apakah ini sedih? Atau mungkin kekhawatiran yang terlalu besar? Dia tidak yakin. Yang dia tahu setiap kali memandang Satria ada rasa hangat yang mengalir di dalam dadanya. Seperti ada sesuatu yang membuatnya ingin melindungi pria itu meski dia tahu Satria adalah orang yang kuat dan mandiri. Tapi di balik kekuatan itu Kirana melihat kerapuhan yang tersembunyi… sebuah sisi yang hanya dia dan mungkin Kakek Sapto yang bisa melihatnya.
Dia ingat bagaimana Satria pertama kali datang ke pondok itu dalam keadaan terluka dan hampir kehilangan harapan. Dia ingat bagaimana mereka berbincang di malam-malam yang sunyi sambil berbagi cerita tentang hidup, tentang mimpi dan tentang ketakutan mereka. Satria mungkin tidak menyadarinya tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya dan setiap senyum kecil yang dia tunjukkan telah menyentuh hati Kirana dengan cara yang tak terduga.
Dan sekarang Satria akan pergi. Meski dia bilang ini hanya sementara namun Kirana tidak bisa menahan perasaan hampa yang tiba-tiba memenuhi hatinya. Dia takut. Takut kalau sesuatu terjadi pada Satria di luar sana. Takut kalau dia tidak bisa kembali seperti yang dia janjikan. Tapi lebih dari itu… dia takut kehilangan kehangatan yang selama ini memberinya rasa nyaman… kehangatan yang hanya dirasakannya saat Satria ada di dekatnya.
Kirana yang selama ini diam tiba-tiba menggenggam tangan Satria dengan erat. "Mas… aku tahu ini harus kau lakukan. Tolong… jangan lupakan kami."
Satria memandang Kirana dengan mata yang penuh perasaan. "Aku tidak akan melupakan kalian Kirana... Kalian sudah menyelamatkan hidupku. Dan aku janji… setelah semua ini selesai aku akan kembali. Aku berutang banyak pada kalian."
Kirana tersenyum kecil meski matanya berkaca-kaca. "Kami tidak menganggapnya sebagai utang Mas.... Kami hanya ingin kau aman dan bahagia."
Kakek Sapto bangkit dari duduknya dan mendekati Satria. Dia meletakkan tangan di bahu Satria dengan erat. "Nak… ingat pesanku. Dunia ini keras tapi selama kau punya hati yang bersih dan niat yang baik maka kau akan selalu menemukan jalan. Jangan pernah menyerah."
Satria merasakan kehangatan dari tangan Kakek Sapto dan hatinya terasa lebih tenang. "Terima kasih Kek... Aku tidak akan menyerah. Aku akan menghadapi ini dan kembali dengan selamat."
Kakek Sapto mengangguk dan menarik tangannya. "Baiklah… Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Kami akan selalu mendoakanmu."
Kirana masih memegang tangan Satria dengan erat. "Mas… tolong jaga dirimu. Dan… jangan lupa, kami di sini akan selalu menunggumu."
Satria tersenyum kecil dan memandang Kirana dengan mata yang penuh rasa syukur. "Aku akan kembali Kirana… Aku janji."
Mereka berdiri dalam keheningan sejenak dengan masing-masing memendam perasaan yang sulit diungkapkan. Satria tahu ini adalah langkah yang harus diambil meski berat. Kirana dan Kakek Sapto pun tahu mereka tidak bisa menahannya lebih lama. Mereka hanya bisa berharap dan berdoa agar Satria selamat sampai bertemu dengan keluarganya.
-----
Di sebuah mansion mewah milik Keluarga Nugroho, suasana malam itu terasa lebih tenang daripada biasanya. Lampu-lampu kristal di ruang tamu memancarkan cahaya hangat yang menyelimuti ruangan namun tidak cukup untuk menghilangkan kegelisahan yang terpancar dari raut wajah Nyonya Nugroho. Dia duduk di sofa empuk sambil memegang erat secangkir teh yang sudah mulai dingin. Matanya yang biasanya penuh keanggunan kini terlihat sayu dan dipenuhi oleh bayangan kekhawatiran yang tak kunjung hilang.
Tuan Nugroho yang baru saja masuk ke ruangan menghela napas dalam-dalam sebelum duduk di samping istrinya. Dia meletakkan tangannya dengan lembut di atas pundak istrinya dan mencoba memberikan ketenangan yang selama ini sulit mereka rasakan. "Dia baik-baik saja…," ujar Tuan Nugroho dengan suara yang berusaha tenang meski hatinya juga dipenuhi kecemasan. "Satria telah ditemukan. Dia berada di sebuah desa di pinggiran kota. Ada seorang kakek dan seorang gadis yang merawatnya."
Nyonya Nugroho mengangkat wajahnya dengan matanya berbinar campur antara harapan dan kelegaan. "Benarkah? Dia... dia tidak apa-apa?" tanyanya dengan suara bergetar seolah takut jawaban suaminya akan menghancurkan harapannya yang baru saja tumbuh.
Tuan Nugroho mengangguk perlahan. "Dia baik-baik saja. Tapi... dia belum mau pulang. Dia merasa belum yakin keadaan sudah aman setelah kejadian itu. Selain itu dia masih trauma. Dia butuh waktu untuk memulihkan diri." Kemudian suaminya menceritakan kembali ada yang terjadi pada Satria. Bagaimana mobil Satria ditabrak, kemudian Satria diculik, disiksa dan hampir dibunuh. Kemudian Satria diselamatkan oleh seorang gadis dan sekarang sedang dirawat di sebuah desa bersama seorang Kakek.
Nyonya Nugroho menundukkan kepala dan mencoba menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. "Mama... mama bersyukur dia ditemukan. Setelah beberapa hari hilang dan mama hampir putus asa. Tapi... kenapa dia tidak mau pulang? Kenapa dia tidak mau kembali ke sini… ke rumahnya… ke keluarganya?"
Tuan Nugroho menarik napas lagi dan mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan istrinya. "Dia hanya ingin memastikan semuanya aman. Dia tidak ingin membawa masalah ke sini. Dan... dia merasa nyaman di sana dan setidaknya untuk sementara. Ada orang-orang baik yang merawatnya."
Nyonya Nugroho mengangguk pelan meski hatinya masih dipenuhi oleh rasa sedih dan keraguan. "Mama mengerti... tapi mama ingin melihatnya. Mama ingin memastikan dengan mataku sendiri bahwa dia baik-baik saja. Mama tidak tahan hanya duduk di sini dan menunggu."
Tuan Nugroho memandang istrinya dengan mata yang penuh pengertian. "Papa tahu perasaanmu. Papa juga ingin dia pulang. Tapi kita harus menghormati keputusannya. Dia butuh waktu. Dan kita harus percaya padanya."
Nyonya Nugroho menghela napas panjang dan mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Mama hanya... Mama takut kehilangannya. Setelah semua yang terjadi… Mama tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia."
Tuan Nugroho merangkul istrinya dengan erat dan memberikan kehangatan yang selama ini mereka butuhkan. "Kita tidak akan kehilangan dia. Dia akan kembali. Dia hanya butuh waktu untuk menyembuhkan lukanya… baik yang terlihat maupun yang tidak."
Nyonya Nugroho menutup matanya dan menikmati pelukan suaminya yang memberikan sedikit ketenangan. "Mama berharap begitu. Mama hanya ingin dia tahu bahwa kita selalu ada untuknya… tidak peduli apa yang terjadi."
Tuan Nugroho mengangguk. "Dia tahu Sayang…. Dia tahu kita mencintainya. Dan suatu hari nanti, dia akan kembali ke rumah ini… ke tempat di mana dia seharusnya berada."
Mereka duduk dalam keheningan dan saling berbagi kehangatan serta kekuatan di tengah kegelisahan yang masih menggelayuti hati mereka. Malam itu mansion mewah itu terasa lebih sunyi dari biasanya namun di balik kesunyian itu ada harapan yang perlahan mulai tumbuh… harapan bahwa suatu hari nanti keluarga mereka akan kembali utuh.
bukankah SDH ajarkan beladiri bertahun2 kenapa kok Thor abaikan tentang kecerdasan si cewek.
cuma kok pingsannya sampai 3 hari ?
gimana pelajaran beladiri yg bertahun tahun apa guna