Segalanya yang telah ia hasilkan dengan susah payah dan kerja keras. lenyap begitu saja. kerja keras dan masa muda yang ia tinggalkan dalam menghasilkan, harus berakhir sia-sia karena orang serakah.borang yang berada di dekatnya dan orang yang ia percayai, malah mengkhianatinya dan mengambil semua hasil jerih payahnya.
Ia pun mulai membentuk sebuah tim untuk menjalankan rencana. dan mengajak beberapa orang yang dipilihnya untuk menjalankan dengan menjanjikan beberapa hal pada mereka. Setelah itu, mengambil paksa harta yng dikumpulkan nya dari mereka.
"Aku akan mengambil semuanya dari mereka, tanpa menyisakan sedikitpun!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vandelist, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Selamat membaca
“Kamarnya sudah ku bersihkan, kamu bisa istirahat disana sekarang. Oh iya kamu belum makan kan? Kayaknya Bulek aku tadi ngirim makanan kesini, kamu bisa makan itu. Kamu mau makan sekarang?”
“Eh nggak perlu repot-repot kok mbak, aku udah ditumpangi disini aja udah bersyukur.”
“Nggak apa-apa, kita bisa saling membantu kok suatu saat nanti. Dan satu lagi, jangan panggil aku mbak. Panggil Rika aja, kayaknya kita seumuran deh.”
Sabia tersenyum mendengar ucapan Erica. Ia tak menyangka akan bertemu dengan orang sebaik Erica. Padahal tadi dirinya sudah menyerah dengan keadaan, karena sulit baginya untuk menghadapi semuanya sendirian.
Apalagi sekarang dirinya tidak ada tempat untuk berlindung. Ia sangat bersyukur ada orang yang membantunya saat ini.
Semua kehidupan yang ia jalani selama ini selalu ada kejutan yang membuatnya ingin meninggal dalam satu hari. Begitu apes hidupnya yang tak pernah mulus, dan selalu sial jika ingin melakukan sesuatu.
Sebegitu nya ia menyebut hidupnya. Tapi dirinya bukanlah orang yang gampang menyerah dengan keadaan. Ia percaya bahwa kesialan itu bisa dihilangkan dengan usaha. Walaupun harus menelan kekecewaan setelahnya. Karena ia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang ingin memanfaatkannya dalam segala hal.
Dan ia tak kuasa untuk melawan mereka. Oleh sebab itulah, dirinya selalu menyebut hidupnya penuh dengan kesialan.
Ia selalu takut akan banyak hal ketika ditinggalkan sendirian begitu saja. Dan ia tak mampu jika harus berdiri sendirian lagi. Dia tidak ingin berdiri sendiri lagi, sebab dirinya pernah benar-benar ditinggal sendiri.
Terlalu banyak yang jika dijabarkan akan membutuhkan waktu lama untuk menceritakan kisah hidupnya yang menyedihkan ini.
“Oh iya kalau boleh aku tahu kamu kerja di mana?”tanya Erica dengan memegang sekop yang dan ditangan kanannya.
“Aku kerja di perusahaan swasta, aku dibagian penghitung keuangan. Yah sebenarnya pekerjaanku ini bukanlah keahlian ku. Hanya saja karena aku sangat membutuhkan pekerjaan, jadinya pekerjaan ku disitu”jawab Sabia.
“Pasti sulit jika bekerja yang tidak sesuai dengan keahlian kita, dan ada rasa mangkel kan ketika nglakuin itu?”tanya Erica dengan penasaran.
Sabia tertawa kecil mendengar pertanyaan Erica. “Ada sih sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi kalau semua udah terpepet, maka semua yang bukan kesenangan harus dikerjakan dengan hati lega,”
“Benar,”ujar Erica. Bukan kah hal keahlian sendiri akan selalu ada? Dan dirinya mempunyai hal itu. Namun karena semua begitu mendadak dan dia tak dapat menolak hal itu. Baginya mendapat
hasil lebih penting daripada keahlian diri.
“Oh ya, kamu bukan orang asli sini ya?”tanya Erica.
“Iya, aku bukan orang asli sini. Disini aku merantau, makanya bahasa ku juga agak
belepotan kalau ngomong pakai bahasa Indonesia,”jawab Erica.
“Nggak masalah sih, karena cari pekerjaan di jaman ini juga susah. Apalagi kalau skill yang nggak cocok, jadinya harus muter otak agar tetap mendapat penghasilan."
“Iya, mau gimana lagi berada di sini kita harus pintar-pintar buat bertahan hidup di tengah krisis yang ada. Entah sampai kapan krisisnya reda, tapi yang jelas otak kita disini harus berperan banyak.”
“Hah kehidupan orang dewasa memang selalu bikin diri jadi ingin menyerah.”
Sabia tersenyum tipis mendengarnya. “Menyerah”batinnya. Ia pernah di kata itu, menyerah pada semuanya. Berdiri sendiri dan tak ada yang menemani, semua itu melelahkan. Belum lagi tekanan batin yang dilakukan keluarga terdekat. Membuatnya tidak punya pilihan lain saat itu.
Namun ketika dirinya akan menyerah, ada sebersit pikiran bahwa itu bukanlah solusi untuk mengatasi semuanya. Menyerah, itu sama saja dirinya tidak menikmati kehidupan dewasa yang selalu ditunggu.
Kehidupan yang selalu menjadi impiannya ketika dia masih mendapatkan kebahagiaan dengan formasi lengkap.
“Sabia, kamu tenang saja. Jika ada kesulitan yang ingin kamu ungkapkan, bicaralah padaku. Aku juga pernah merasakan hal itu, dan mungkin kamu juga mengalaminya, serta kamu nggak perlu sungkan juga. Karena sejatinya orang seperti kita memang butuh teman untuk saling mendengarkan”ujar Erica pada Sabia.
Erica tahu Sabia bukanlah orang yang selalu percaya diri dengan apa yang dihadapi. Itu sangat terlihat dari cara bicaranya, dia sudah pernah bertemu dengan orang-orang seperti Sabia. Dan ia juga pernah mengalami hal sama seperti Sabia.
Sabia yang mendengar hal itu pun menatap Erica. Dengan tatapan bahagia, ia tak menyangka akan ada orang sebaik Erica yang perhatian padanya.
Sabia menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Terima kasih Erica.”
μμ
“Hari ini kamu nggak kerja?”tanya Erica yang sedang mengepak barang-barangnya ke tas.
Sabia menggelengkan kepalanya “lagi ambil cuti Rik.”
“Oh kalau gitu aku pergi kerja dulu ya, kalau kamu mau makan. Makan aja nggak usah nungguin aku dan juga nggak usah sungkan. Nanti kalau ada Bulek aku kesini bawain makanan kamu taruh di meja, kamu juga bisa memakannya”papar Erica sambil menata rambutnya.
Ia baru mengetahui kebiasaan Sabia yang menurutnya sangat tidak terbiasa baginya. Tadi malam, ketika dia menyuruhnya makan duluan. Wanita itu tidak langsung makan duluan, malah menunggunya yang masih mandi.
Dirinya yang sedang berada di kamar mandi berjam-jam lamanya pun menjadi tak enak hati. Karena membiarkan tamunya menunggu lama.
“Aku pergi dulu ya, jangan nungguin aku kalau mau makan”pamit Erica dan langsung keluar rumah untuk berangkat kerja. Sabia yang melihat itu tersenyum pada Erica. Yang dibilang Erica memang ada benarnya, dirinya selalu menunggu ketika akan makan bersama dengan orang lain.
Tak peduli seberapa lama orang itu sedang beraktivitas, dia akan tetap menunggu sampai selesai. Baginya makan bersama-sama lebih nikmat daripada makan sendirian.
“Aku harus nyari pekerjaan lagi, nggak mungkin aku harus berlama-lama disini”ucapnya. Ia baru saja mengalami pemecatan akibat manipulasi anggaran perusahaan.
Yang jelas-jelas itu bukanlah dirinya yang melakukan itu. Semua itu karena ulah rekan kerjanya, yang memanipulasi angka data untuk kebutuhan pribadi.
Alasannya sih karena untuk mengobati orang tuanya yang sedang sakit. Dan membutuhkan biaya banyak untuk membayar pengobatannya.
Rekan kerjanya terpaksa memanipulasi
data keuangan dengan mengatasnamakan dirinya sebagai pelaku. Entah alasan itu benar atau tidak dirinya tidak tahu. Ia baru mengetahui saat kemarin tempat kerjanya di audit.
Dan namanya terseret karena telah memanipulasi data keuangan. Dia sudah mengelak dengan berbagai alasan.
Namun atasannya sudah terlanjur kecewa padanya dan membuat dia dipecat dari pekerjaannya secara tidak hormat. Dia baru mengetahui bahwa dirinya adalah korban saat pelaku sebenarnya meminta maaf padanya. Setelah ia keluar dari gedung.
Sabia yang pada dasarnya adalah orang yang sulit untuk tidak memberi maaf pada orang itu pun memaafkannya. Apalagi alasan yang diberikan menyangkut orang tua. Dirinya tak kuasa untuk menolaknya.
Karena ia pernah ada di posisi rekan kerjanya itu. Yang kesulitan mencari dana untuk mengobati orang tuanya. Dan ia tidak ingin orang lain memiliki hal yang sama dengan dirinya. Meskipun dia harus rela kehilangan pekerjaan. Dan membuat dia dipecat secara tidak hormat.
“Ayah ibu sampai kapan penderitaan ku berakhir?”gumamnya.
μμ
“Rika nanti aku keluar dulu ya, mau ada urusan di luar.”
“Iya, emangnya kamu mau keluar jam berapa?”
“Mungkin jam 10 nanti kenapa?”
“Kalau tempatnya sejalur denganku kita bisa bareng kesana, emangnya kamu mau
kemana?”
“Eh nggak usah, kayaknya tempat yang ku tuju agak jauh.”
“Oh kalau gitu hati-hati ya.”
Sabia melanjutkan pekerjaannya setelah selesai berbicara dengan Erica. Mereka berdua saat ini sedang membersihkan taman rumah yang banyak rumput ilalang menjulang tinggi. Apalagi sekarang lagi musim hujan, dan banyak rumput liar yang bertumbuh dan bertunas baru.
Mereka berdua sebisa mungkin menghilangkan tumbuhan itu. Ditakutkan nanti ada hewan bahaya yang akan masuk rumah melalui tumbuhan itu. Butuh beberapa jam mereka untuk menyelesaikan ini semua.
Sebenarnya dalam hal ini, Erica sama sekali tidak memiliki inisiatif untuk membersihkannya. Dia sangat malas untuk membersihkan rumahnya, terutama di pekarangan rumahnya. Meskipun tergolong kecil, namun pekarangan ini bisa dibilang menjadi tempat dirinya untuk
menenangkan diri.
Apalagi ada tanaman yang ditanami Buleknya. Bertambah lah pemandangan yang ada disini. Daripada hanya ditumbuhi ilalang liar. Berbagai tanaman yang ada disini, bukanlah pekerjaan dirinya dalam menanami. Ini semua ulah Buleknya, katanya biar pekarangannya terlihat hidup. Dan nggak sepi.
Sekaligus sebagai bahan gratis buat memasak, karena yang ditanami bukanlah bunga. Melainkan tanaman buah dan sayuran. Sekaligus tanaman cabai sebagai pelengkapnya.
“Bulek kamu ternyata orangnya desa banget ya?”tanya Sabia sambil memotong rumput dengan celurit yang dipinjamnya tadi.
“Bulek kan emang dari desa, beliau disini karena ngikut suaminya. Yah seperti yang kamu lihat, kebiasaan di desa terbawa sampai ke kota. Semua pekarangan rumahnya itu ditumbuhi tanaman yang bisa dimasak. Katanya sih lebih enak nanam sendiri daripada beli. Meskipun nanamnya nggak beraturan,”jawab Erica sambil memotongi tanaman yang sudah
mati.
Sabia tertawa kecil mendengarnya. Bulek Erica, bisa dibilang seperti tetangganya yang dari luar pelosok. Menanami pekarangan dengan berbagai jenis, dan tidak beraturan.
“Tapi itu ciri khas Bulekmu tahu, jarang-jarang orang jaman sekarang ngelakuin hal kayak gini dalam memanfaatkan pekarangannya yang besar. Apalagi kehidupan di kota seperti ini, pasti sulit dalam memanfaatkannya,”celetuk Sabia dengan mengelap keringatnya yang menetes.
“Iya sih, Bulek ku emang langka dalam hal ini. Tapi kamu lihat nggak? Nggak ada satu pun bunga yang tumbuh disini, semua isinya adalah tanaman yang bisa diolah. Bahkan aku dulu pernah nanam kaktus disini,”tunjuknya ke arah tempat yang ditanami tanamannya sendiri “sekarang malah berubah jadi tanaman tomat, itu pun jika berbuah."
Sabia tertawa keras mendengarnya, Bulek Erica sangatlah unik menurutnya. “Udah syukuri aja, anggap aja tanaman yang ditanam bulekmu bisa bermanfaat bagi kalian. Apalagi kalau kayak gini udah nggak beli lagi diluar kan? Dan lebih sehat karena ditanam sendiri.”
Erica mengiyakan ucapan Sabia. Benar yang dikatakan temannya itu. Semenjak buleknya menanam berbagai tanaman yang bisa diolah disini, Erica sudah tidak pernah berbelanja di pasar. Karena semua sudah tersedia di pekarangannya. Kecuali bahan dapur yang tak ada disini. Meskipun begitu dirinya masih pergi pasar untuk melihat-lihat barang.
“Heh kalian sudah selesai belum bersih-bersih nya? Bulek bawa makanan ini!”
Erica dan Sabia memandang satu sama lain dan tertawa bersama setelahnya.
“Baru juga dibicarain udah nongol aja orangnya”celetuk Erica.
μμ
“Bicaralah”ucap Sabia pada orang yang ada didepannya dengan nada datar.
“Aku… aku… aku,”ucapnya dengan gagap “aku minta maaf mbak, aku beneran kepepet saat itu. Aku nggak tahu kalau dampaknya akan seperti ini.”
Sabia menghela napasnya pelan. Orang yang ada dihadapannya ini, entah dirinya bingung harus bereaksi seperti apa. Tapi yang pasti dirinya sulit untuk marah sekarang.
“Kalau kamu nggak tahu konsekuensinya seperti ini kenapa kamu nglakuin hal ini? Dan juga apakah kamu tidak bisa menggunakan namamu sendiri dalam masalah ini? Mengapa harus pakai namaku untuk memanipulasinya?!” tanyanya dengan nada pelan.
“Maaf kak maaf seharusnya aku nggak nglakuin itu pada kakak maaf. Aku menyesal kak maaf”ucapnya dengan nada sedih.
Sabia tak tahu harus bereaksi seperti apa, ia tidak tahu ucapan orang itu benar-benar menyesal atau tidak. Selama ini, dirinya selalu menjadi boneka bagi rekan-rekan kerjanya. Termasuk orang dihadapannya ini.
Tapi, dia tidak bisa melawan mereka semua. Ia terlalu takut untuk sendirian. Lagi. “Sudahlah lupakan saja”ujar Sabia dan langsung meninggalkan rekan kerjanya itu sendirian.
Biarlah minuman yang dipesannya tadi dibayar olehnya. Saat ini dirinya benar-benar tidak memiliki uang untuk membayarnya. Entah apa yang dilakukannya tadi benar atau salah, ia tidak tahu. Terkadang dirinya selalu merasa tidak enak terhadap orang-orang disekitarnya. Dan ia takut ditinggal sendirian lagi.
Hidupnya benar-benar sepi sekarang, tak ada lagi yang menemaninya dan mensuport nya dalam segala hal. Keluarga terdekat yang pernah dibantu nya dulu, sudah tidak peduli lagi padanya. Mereka seakan lupa jasa yang pernah dilakukannya.
Mereka seakan tutup mata pada keadaanya sekarang. Terlebih, beberapa keluarga terdekatnya malah menggerogoti nya dengan alasan yang tidak masuk akal menurutnya.
Dan ia tak kuasa untuk menolak semua itu. Ketika dirinya sedang melamun di pekarangan yang tadi dibersihkan nya. Ia mendapati telepon dari keluarga terdekatnya. Dan ia sangat ingin sekali menghindari orang ini.
“Halo”sapa Sabia dengan nada pasrah.
“Kamu belum juga kirim uang Sabia?!”tanya orang itu dengan nada marah.
“Maaf nek, bulan ini Sabia belum gajian. Dan juga, Sabia baru aja dipecat dari tempat kerja Sabia”ucapnya dengan nada lemah. Berharap neneknya itu pengertian padanya.
“Huft, nenek nggak tahu harus ngomong apa. Yang jelas bulan ini nenek sangat
membutuhkan uang untuk arisan nenek. Kamu nggak lupa kan jasa nenek selama ini padamu?”
Pertanyaan yang selalu dilontarkan neneknya ketika dirinya tidak bisa mengirim uang. Hal ini lah, yang selalu membuatnya berkecil hati, dan ia tak kuasa untuk menolaknya. Jasa neneknya selama ini, selalu membuatnya berhutang banyak padanya. Karena telah rela
merawatnya hingga dia sebesar sekarang.
“Nanti Sabia cari ya nek”ucapnya dengan pasrah. Setelah itu dirinya mematikan ponselnya. Ia memeluk lututnya dan menundukkan kepalanya. Menangis. Adalah solusi dari permasalahannya ketika ia tak menemukan solusi. Dia terisak dalam tangisnya. Putus asa dengan hati terlantar. Sekarang ia benar-benar merasa sendiri. Tanpa ada yang menemaninya.
“Sabia”panggil Erica yang berdiri di dekat pintu.
“Eh kamu udah pulang Rik, maaf ya tadi nggak bukain pintu”pungkas Sabia sambil
mengusap air matanya.
Erica pun duduk di samping Sabia. Dan menatapnya tenang dengan senyum tipis.
“Menangislah Sabia, jangan pedulikan aku disini.”
Sabia yang melihat hal itu, menolehkan pandangannya ke arah Erica. Tatapan berbinar dengan mata berkaca-kaca. Sabia tidak tahu harus menyebutkan apa, dan juga ia bingung harus mendeskripsikan Erica seperti apa.
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩